Tantangan Jangka Panjang Industri Rokok Semakin Berat

Jumlah penduduk yang besar menjadikan Indonesia sebagai pasar yang prospektif bagi industri rokok. Meskipun dewasa ini berbagai kebijakan dilakukan dalam upaya membatasi konsumsi rokok, di antaranya kenaikan tarif cukai rokok, larangan merokok di tempat umum, undang-undang kesehatan, dan rancangan peraturan pemerintah tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif, tak dapat dipungkiri, pasar industri rokok di Indonesia masih besar. Sifat permintaan produknya yang cukup inelastis terhadap harga ikut memperkuat tingginya permintaan rokok di Indonesia. Di saat terjadi penurunan daya beli masyarakat pun, volume permintaan rokok diperkirakan masih cukup besar dan hanya cenderung terjadi switching down pembelian rokok dari kelas yang lebih tinggi ke kelas yang lebih rendah.

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008 mencatat bahwa jumlah perokok di Indonesia adalah yang terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Konsumsi rokok Indonesia tahun 2010 diperkirakan menembus angka 260 miliar batang. Pertumbuhan penjualan rokok sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat yang meningkat cenderung berkorelasi positif terhadap konsumsi rokok. Selain itu, tingginya konsumsi rokok Indonesia ikut dipicu oleh pertumbuhan perokok baru di kalangan generasi muda dan peningkatan angka konsumsi rokok pada wanita. Adanya pergeseran perilaku konsumen dari perokok batang besar (umumnya Sigaret Kretek Tangan/SKT) ke batang kecil (mild and slim) juga mendorong volume konsumsi lebih besar.

Dari sisi produksi, Kementerian Perindustrian memperkirakan produksi rokok nasional tahun ini naik 3%-4% menjadi 255,8 miliar batang. Sementara itu, Gabungan Perserikatan Produsen Rokok Indonesia (Gappri) memproyeksikan produksi rokok secara nasional hingga akhir 2011 lebih tinggi lagi mencapai 300 miliar batang. Proyeksi itu didasarkan pada perhitungan produksi rokok hingga Agustus 2011 yang telah mencapai 199,77 miliar batang. Apabila angka ini benar terealisasi, berarti produksi rokok tahun ini telah melebihi batas dalam roadmap industri pengolahan tembakau dimana produksi ditetapkan sebesar 240 miliar batang untuk sasaran jangka menengah (2010-2014) dan 260 miliar batang untuk sasaran jangka panjang (2015-2025). Berdasarkan jenisnya, segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM) masih menjadi kontributor terbesar (61,7%) pasar rokok nasional, diikuti Sigaret Kretek Tangan SKT (30,5%), dan Sigaret Putih Mesin SPM (7,8%). Dalam jangka panjang, pertumbuhan daya beli masyarakat diperkirakan menggeser pola konsumsi rokok dari SKT ke SKM. Hal tersebut disebabkan kandungan tembakau yang lebih rendah dan penggunaan filter memungkinkan SKM untuk dikonsumsi dalam frekuensi yang lebih sering daripada SKT meskipun dengan harga yang lebih lebih tinggi. Frekuensi merokok sendiri merupakan hal penting bagi perokok terkait addictive characteristic yang ditimbulkannya. Industri rokok didominasi beberapa pemain utama, seperti Sampoerna (29%), Gudang Garam (22%), Djarum (19,6%), dan Bentoel/BAT (8,8%). Jumlah industri rokok di Indonesia pada tahun 2010 diperkirakan sebanyak 2.600 perusahaan dimana sebagian besar (>95%) perusahaan rokok tersebut merupakan perusahaan rokok berskala kecil dengan jumlah produksi rokok di bawah 500 juta batang per tahun. Persainganpun semakin ketat dengan masuknya pemain asing. Peran pemain asing dalam industri rokok nasional beberapa tahun terakhir ini cenderung meningkat. Masuknya pemain asing tersebut terutama melalui akuisisi perusahaan rokok utama lokal. Philip Morris, misalnya, masuk pasar rokok Indonesia lewat akuisisi terhadap produsen rokok papan atas, yaitu PT. HM. Sampoerna. Di tengah kondisi perkembangan industri rokok dunia yang semakin terhimpit dengan banyaknya negara yang telah meratifikasi dan menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau yang diinisiasi WHO, perusahaan rokok asing tersebut berusaha memperluas pasar baru guna mempertahankan pangsa pasarnya, terutama di negara-negara berkembang dan memiliki populasi aktif merokok cukup besar, termasuk Indonesia.

Seperti telah disinggung di atas, industri rokok saat ini dihadapkan pada tantangan yang berat dengan diterbitkannya beberapa regulasi. Meskipun dalam jangka pendek pengaruh regulasi diperkirakan belum akan berdampak signifikan, namun dalam jangka panjang hal tersebut berpotensi mempengaruhi kinerja perusahaan rokok. Beberapa regulasi tersebut adalah Pertama, Undang-Undang No.36/2009 tentang Kesehatan, dimana Ayat 2 pasal 113 UU Kesehatan tersebut yang sering disebut sebagai ayat tembakau sempat menjadi topik hangat. Pada intinya ayat ini menyebutkan bahwa pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif (meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya) diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Kedua, Peraturan daerah mengenai larangan merokok di tempat umum, misalnya Perda DKI Nomor 2 tahun 2005 dan SK Gubernur Nomor 75 Tahun 2005.

Untuk masa mendatang, tantangan akan semakin berat dengan adanya rencana penerbitan draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif yang saat ini masih dalam tahap pembahasan dan sosialisasi. Peraturan ini merupakan tindak lanjut Undang-undang No 36/2009 tentang Kesehatan. Melihat sekilas point-point dalam RPP ini, disadari bahwa ruang gerak para pelaku industri rokok memang akan semakin terbatas, di antaranya pembatasan iklan, promosi, dan kegiatan sponsorship di berbagai media dan tempat. Hal ini terutama ditujukan untuk membatasi konsumsi rokok pemula dengan kisaran umur 5-14 tahun seiring makin tingginya konsumsi rokok di kisaran usia tersebut. Gencarnya promosi, iklan, dan sponsor kegiatan diperkirakan menjadi salah satu penyebab tingginya konsumsi rokok di kalangan anak berumur 5-14 tahun. Produsen rokok juga harus melakukan pemuatan gambar larangan merokok sebesar 50% dari bungkus rokok dan tidak boleh menggunakan logo atau merek pada produk atau barang bukan rokok. Pembagian secara cuma-cuma, potongan harga, dan hadiah produk tembakau juga tidak diperbolehkan. Bahkan, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) tidak boleh dilakukan jika bertujuan mempromosikan atau mengenalkan produk tembakau. Keempat, di masa mendatang, pemerintah juga berencana mengenakan pajak rokok. Dalam hal ini pajak rokok akan ditetapkan sebagai pajak provinsi. Hasil penerimaan pajak rokok tersebut sebesar 70% dibagihasilkan kepada kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Pajak rokok daerah rencananya akan diterapkan mulai Januari 2014. Besaran yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR adalah sebesar 10-15% dari besaran tarif cukai yang ditetapkan. Kelima, tarif cukai rokok yang mengalami kenaikan tiap tahun.

Khusus mengenai cukai, pada awal November lalu pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 167/2011 melakukan kenaikan tarif cukai rokok rata-rata sebesar 16% yang akan diberlakukan efektif per 1 Januari 2012. Dari sudut para pelaku industri rokok, besarnya kenaikan tarif cukai rokok tersebut dinilai terlalu tinggi, khususnya bagi perusahaan rokok skala kecil. Dalam hal ini, persentase kenaikan cukai di atas 30% terjadi untuk hasil tembakau produksi dalam negeri jenis SPM Golongan I dengan harga jual eceran (HJE) paling rendah Rp375 per batang, yaitu sebesar 49%, kemudian jenis SKM Golongan II dengan HJE paling rendah Rp374 sampai dengan Rp430 per batang, yaitu sebesar 38,2%, dan jenis SKT Filter atau SPT Filter Golongan II dengan HJE lebih dari Rp374 sampai dengan Rp430 per batang, yaitu sebesar 38,2%. Jika dilihat berdasarkan golongannya, komposisi persentase kenaikan tarif cukai rokok untuk produsen SKM berskala besar (Golongan I) lebih kecil dibandingkan produsen rokok SKM berskala kecil. Hal ini diperkirakan merupakan salah satu cara pemerintah menahan upaya produsen rokok skala besar menghindarkan beban cukai yang lebih tinggi dengan memecah perusahaan menjadi beberapa perusahaan berskala kecil. Kenaikan tarif cukai rokok selalu mengundang polemik. Reaksi kontra, terutama dari para produsen rokok dapat dipahami mengingat kenaikan tarif cukai rokok secara langsung akan meningkatkan beban pokok penjualan dimana beban cukai dan pajak pertambahan nilai (PPN) saat ini menyumbang sekitar 55%-70% dari total beban pokok penjualan beberapa emiten rokok. Produsen rokok sendiri memiliki strategi masing-masing dalam merespons kenaikan tarif cukai rokok. Opsi pertama, produsen dapat membebankan kenaikan beban cukai rokok kepada konsumen melalui kenaikan harga jual rokok, namun hal ini akan mempengaruhi price competitiveness terhadap produk pesaing. Alternatif lain adalah produsen tidak membebankan kenaikan cukai rokok kepada konsumen untuk mempertahankan harga produknya, dengan konsekuensi beban pokok penjualan yang ditanggungnya meningkat sehingga berpotensi menggerus margin. Dalam hal ini, produsen dituntut untuk lebih jeli membaca kondisi pasar dan persaingan, termasuk mencermati action yang dilakukan kompetitornya, apakah menaikkan atau mempertahankan harga serta melakukan inovasi produknya. Kenaikan tarif cukai rokok yang dibarengi kondisi meningkatnya harga raw material seperti saat ini terkadang memaksa produsen untuk menaikkan harga jual produknya. Harga tembakau sebagai raw material utama industri rokok pada sembilan bulan pertama tahun 2011 tercatat telah mengalami kenaikan di atas 30% sedangkan harga cengkeh sebagai bahan campurannya telah naik di atas 100%.

Kenaikan tarif cukai rokok yang terjadi setiap tahun dalam beberapa tahun terakhir ini sebenarnya bukan menjadi suatu hal yang mengejutkan lagi. Seperti diketahui bersama, sesuai dengan roadmap industri rokok jangka menengah (2010-2014), pemerintah akan memfokuskan pada aspek penerimaan negara, kemudian kesehatan, dan tenaga kerja. Dengan prioritas aspek tersebut, besar kemungkinan pemerintah akan melakukan kenaikan tarif cukai rokok kembali secara berkala untuk beberapa tahun ke depan.  Dengan adanya kenaikan tarif cukai rokok, penerimaan pemerintah dari cukai rokok juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk tahun ini, penerimaan cukai rokok ditargetkan sebesar Rp65 triliun, atau 95% dari penerimaan cukai sebesar Rp68,075 triliun.

Melihat laporan keuangan para emiten rokok di tanah air untuk periode sembilan bulan pertama tahun ini, dapat dikatakan bahwa kinerja keuangan beberapa big player dalam industri ini seperti GGRM dan HMSP masih bagus dengan pertumbuhan sales dan laba operasi yang positif serta margin laba operasi maupun laba bersih yang meningkat dan selalu double digit. Namun perlu diingat lagi bahwa emiten-emiten yang disebutkan di atas adalah para big player dengan pangsa dan bargaining power yang besar di industri rokok. Lalu bagaimanakah kinerja perusahaan-perusahaan rokok lainnya yang sebagian besar berskala kecil dan bersifat lokal, yang dari sisi jumlah perusahaan justru lebih mendominasi? Kondisinya dapat saja berbeda jauh. Yang jelas, diperlukan upaya lebih dan strategi khusus bagi pemain skala kecil menengah guna menghadapi persaingan yang semakin berat dalam industri ini, di antaranya dengan melakukan langkah efisiensi untuk mempertahankan harga jual yang cukup rendah, mengingat tipologi kosumen yang disasar produsen kelas kecil menengah biasanya masih didominasi oleh konsumen yang sensitif terhadap kenaikan harga. Efisiensi dapat dilakukan dengan mencari sumber bahan baku yang lebih murah dan menerapkan strategi pemasaran yang low cost namun tepat sasaran kepada target market mereka. Langkah lain adalah mencari pasar baru dengan menggarap pasar-pasar pinggiran yang biasanya terdapat di daerah pedesaan dan luar Jawa (terutama buruh-buruh di sentra perkebunan luar Jawa) mengingat “porsi kue” pasar modern biasanya telah dikuasai para pemain besar.

BERITA TERKAIT

Kontraktor Diajak Garap Carbon Capture

NERACA Tangerang - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas…

Ekosistem Industri Minyak Atsiri

NERACA Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia dan memiliki kekayaan biodiversitas flora atsiri…

Di Forum BRICS, Indonesia-Brasil Sepakat Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara

NERACA Jakarta – BRICS bukan sekadar forum ekonomi biasa, tetapi aliansi ini juga mencerminkan tatanan dunia baru di mana negara-negara berkembang membangun solidaritas…

BERITA LAINNYA DI Industri

Kontraktor Diajak Garap Carbon Capture

NERACA Tangerang - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengajak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas…

Ekosistem Industri Minyak Atsiri

NERACA Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri terbesar di dunia dan memiliki kekayaan biodiversitas flora atsiri…

Di Forum BRICS, Indonesia-Brasil Sepakat Kembangkan Bioenergi hingga Industri Dirgantara

NERACA Jakarta – BRICS bukan sekadar forum ekonomi biasa, tetapi aliansi ini juga mencerminkan tatanan dunia baru di mana negara-negara berkembang membangun solidaritas…

Berita Terpopuler