NERACA
Jakarta - Namanya ada telepon ya seyogyanya diangkat. Tapi kalo yang nelpon ternyata orang agen asuransi yang menawarkan produk dan bicara tiada henti dengan alasan presentasi produk, tentunya akan membuat tidak nyaman. Maka tidak heran, bila agen asuransi masih dianggap profesi yang dibenci oleh sebagian mayarakat. Dibenci karena mengganggu waktu si calon nasabah dan ditambah citra buruk prilaku oknum agen asuransi karena kebanyakan obral janji tapi kemudian tidak ditepati.
Tahukah, dahulu seorang agen asuransi banyak didominasi oleh orang orang 'buangan', dalam arti kata mereka tidak diterima di sejumlah pekerjaan yang lain. Sehingga daripada menganggur mereka bekerja sebagai agen, dimana saat itu perusahaan asuransi boleh dikatakan menerima siapa saja yang mau menjadi agen. Kondisi ini memperparah citra perusahaan asuransi melalui agen agen yang tidak profesional. Dengan kemampuan yang terbatas, mereka menjual tidak dengan presentasi yang tepat, namun lebih ke arah minta dikasihani. Sehingga timbul nasabah yang membeli produk asuransi karena kasihan pada agennya, atau tidak tahan didatangi agen asuransi terus menerus. Jadi kedatangan agen asuransi lebih banyak mengganggu aktivitas orang lain. Pekerjaan yang dilakukan tidak dilandasi visi jangka panjang, melainkan hanya merupakan kerjaan lompatan atau hanya sekedar pekerjaan sampingan yang menyebabkan mereka tidak berpikir ke arah pelayanan yang terbaik.
Saat itu agen asuransi hanya berpikir untuk mendapatkan premi nasabah, yang otomatis mereka mendapat komisi. Sehingga pada saat nasabah membutuhkan bantuan sehubungan dengan polisnya sang agen susah untuk dihubungi, bahkan banyak yang menghilang tanpa berita. Disadari atau tidak pendekatan yang tidak baik oleh agen asuransi kepada nasabahnya, membuat masyarakat selalu menghindari bertemu atau berbicara dengan agen asuransi. Kondisi ini diperburuk masih rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya berasuransi. Asuransi masih dianggap pos pengeluaran sehingga terkesan membebani keuangan keluar. Tak heran, bila saat ini penetrasi asuransi di Indonesia masih rendah atau tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga.
Berdasarkan Hasil Survei Nasional Literasi Keuangan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di 2013, diketahui hanya 18 dari 100 penduduk yang paham manfaat asuransi, alias baru 17,84% saja. Lebih mengkhawatirkan, hanya 12 dari 100 penduduk yang menggunakan produk dan jasa asuransi, alias baru 11,81% saja. Menurut Ketua Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliman D. Hadad, rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia dikarenakan minimnya literasi asuransi. "Untuk melakukan penetrasi asuransi di kalangan masyarakat Indonesia cukup sulit. Apalagi ditawarkan kepada orang yang pernah klaim asuransi, tapi tidak dibayar akan lebih sulit” ujarnya.
Karena itu, OJK meminta kepada pelaku industri asuransi untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Mereka juga harus meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Salah satunya terkait kekurangan tenaga aktuaris. Namun demikian, peningkatan literasi keuangan untuk asuransi guna mengurangi kesenjangan proteksi, dinilai tidak efektif tanpa ada kerjasama dengan pelaku industri asuransi. Berangkat dari situlah, keberadaan agen asuransi disadari atau tidak dirasakan penting untuk meningkatkan jumlah penetrasi asuransi di Indonesia. Hanya saja, agen asuransi harus menunjukkan profesionalitas dan pendekatan yang baik. Pasalnya, bila kehadiran seorang agen asuransi diterima masyarakat, tentunya dinilai menjadi tempat yang sangat membantu bagi nasabahnya karena bisa langsung menjadi konsultan yang tepat untuk perencanaan keuangan.
Bagi Ketua AAJI, Hendrisman Rahim, profesi sebagai agen asuransi menjadi ujung tombak untuk menyokong pertumbuhan industri asuransi. Oleh karena itu, dirinya menaruh harapan besar jumlah agen asuransi bisa terus mengalami pertumbuhan sejalan dengan masih rendahnya tingkat penetrasi asuransi di Tanah Air."Agen merupakan salah satu aset terpenting bagi industri asuransi jiwa. Agen asuransi jiwa memiliki peranan yang sangat besar dalam pertumbuhan industri,"ujarnya.
Selain itu, agen masih menjadi kontributor terbesar terhadap total pendapatan premi. Setidaknya sekitar 60% pendapatan premi industri asuransi jiwa masih ditopang oleh jalur keagenan, sedangkan 40% sisanya berasal dari jalur distribusi alternatif lainnya. Namun ironisnya jumlah agen asuransi di Indonesia, khususnya berlevel internasional masih kalah dibandingkan Filipina dan Singapura. Tengok saja, tahun 2014 ini jumlah agen di Indonesia yang terdaftar di Million Dollar Round Table (MDRT) yang merupakan standar internasional hanya 763 agen, itu peringkat ketiga setelah Filipina 1.000 agen dan Singapura 800 agen.
Ujung Tombak
Tercatat pada kuartal I 2016, jumlah agen asuransi jiwa di Indonesia bertumbuh 13,7% dan rata-rata pertumbuhan agen asuransi jiwa dalam tiga tahun 19,9%. Dengan total agen per Juni 2016 yang mencapai 513.000 agen berlisensi. Angka tersebut terbilang rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga. Menyadari sebagai tulang pungung dan ujung tombak industri asuransi, kata Hendrisman, agen asuransi mengemban tugas mulia untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya asuransi jiwa dan membantu mereka memiliki perencanaan keuangan dan meraih kesejahteraan di masa depan. Oleh karena itu, AAJI mengajak seluruh pelaku industri dan khususnya bagi para agen asuransi jiwa untuk selalu memiliki jiwa dan semangat muda untuk terus mengukir prestasi dengan berbagai inovasi.
Bagaimanapun juga semakin banyak jumlah agen asuransi, penetrasi asuransi di Indonesia semakin meningkat. Di Singapura, setiap satu agen bisa melayani sampai 396 orang. Maka agar setiap satu agen bisa melayani 250-300 orang, diperlukan sampai 1 juta agen. Kedepan guna memperluas penetrasi industri asuransi lebih besar lagi, AAJI menargetkan 10 juta agen asuransi dan untuk mewujudkan target tersebut, pihak asosiasi asuransi akan ikut aktif meningkatkan jumlah agen. Salah satunya melakukan sosialisasi profesi agen. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang belum paham soal profesi tersebut. Padahal pekerjaan agen asuransi dapat dilakukan sebagai pekerjaan penuh atau sampingan.”Memang menggenjot agen sebanyak itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, seorang agen harus melalui pelatihan dan proses sertifikasi. DAI menilai masih perlu lima sampai 10 tahun target itu bisa tercapai,”kata Hendrisman Rahim yang juga menjabat Ketua Umum Dewan Asuransi Indonesia (DAI).
Bila tidak ada aral melintang, program untuk merekrut agen secara besar-besaran ini ditargetkan mulai akhir tahun ini. Penggunaan teknologi online pun bisa untuk mendukung program tersebut. Nah, setelah melewati pelatihan dasar dan ujian sertifikasi, nantinya perusahaan asuransi bisa merekrut agen tersebut melamar ke perusahaan asuransi. Menurut Muliaman D Hadad, target menjaring 10 juta agen asuransi bukan sesuatu yang mustahil. Melalui kecanggihan teknologi, semua hal bisa dijangkau.
Selama ini, kata Muliaman, perekrutan agen asuransi cenderung sangat konvensional, kadang-kadang meminta kehadiran fisik dan cenderung administrasinya bertele-tele. Bahkan kadang-kadang proses pendidikan untuk menjadi agen juga membutuhkan waktu yang cukup lama, penyelesaian sertifikasinya karena memang tidak dilakukan secara terintegrasi.”Kemudian apa yang sekarang terjadi di asuransi dan pembiayaan, metode pemasaran masih sangat konvensional, apalagi asuransi yang jauh kalah sama bank dan juga perusahaan pembiayaan, makanya kita ingin tingkatkan kapasitasnya,"ungkapnya.
Melalui perekrutan 10 juta agen asuransi, Muliaman menyebutkan, diharapkan masyarakat Indonesia dapat lebih mudah melakukan akses layanan keuangan yang tentu saja nantinya tidak hanya asuransi tapi layanan keuangan lainnya. Lebih jauh Muliaman menjelaskan, nantinya pola perekrutan agen asuransi dilakukan melalui pendidikan pelatihan yang standar sehingga diharapkan generasi muda khususnya mahasiswa atau wiraswasta bisa memanfaatkan peluang ini. Maka dengan cara ini, target 10 juta agen asuransi diyakini Muliaman akan mudah tercapai dan diharapkan melalui cara ini bisa menjadi suatu gebrakan di industri jasa keuangan sehingga masyarakat Indonesia bisa lebih melek keuangan. (Bani)
NERACA Jakarta — Dihantui perang dagang Amerika Serikat dan Cina, emiten furniture PT Integra Indocabinet Tbk. (WOOD) masih optimis menargetkan pertumbuhan penjualan…
NERACA Jakarta – Emiten properti, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) menargetkan pra-penjualan tahun ini sebesar Rp5 triliun dengan kontribusi dari…
NERACA Jakarta – Kejar pertumbuhan bisnisnya, PT Hartadinata Abadi Tbk. (HRTA) menyiapkan anggaran belanja modal atau capital expenditure (capex) tahun ini senilai Rp150 miliar.…
NERACA Jakarta — Dihantui perang dagang Amerika Serikat dan Cina, emiten furniture PT Integra Indocabinet Tbk. (WOOD) masih optimis menargetkan pertumbuhan penjualan…
NERACA Jakarta – Emiten properti, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) menargetkan pra-penjualan tahun ini sebesar Rp5 triliun dengan kontribusi dari…
NERACA Jakarta – Kejar pertumbuhan bisnisnya, PT Hartadinata Abadi Tbk. (HRTA) menyiapkan anggaran belanja modal atau capital expenditure (capex) tahun ini senilai Rp150 miliar.…