Skema Bail Out Tak Efektif Selamatkan Perbankan

 

 

NERACA

 

Jakarta - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan skema dana talangan atau "bail-out" tidak lagi menjadi opsi pilihan utama dalam penyelamatan bank sistemik, karena kebijakan itu tidak efektif dan menghabiskan uang negara. "Tunjukkan ke saya, 'bail-out' yang berhasil. Di 2008, ada tidak yang berhasil?" kata Menkeu mengenai kelemahan skema "bail-out" yang tidak tercantum dalam UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Menurut dia, skema penyaluran dana talangan untuk membantu bank lebih banyak memiliki sisi negatif, karena membuat bank menjadi tidak mandiri dan hasilnya belum tentu meningkatkan daya tahan bank terhadap krisis. Untuk itu, pemerintah menghapus pasal pendanaan menggunakan dana APBN dalam UU PPKSK, karena skema "bail-in" atau pencegahan menjadi pilihan utama untuk mencegah jatuhnya sistem perbankan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

"Kita harus memahami semangat pemerintah dengan parlemen (yang menghapus pasal pendanaan APBN dalam pembahasan UU PPKSK), karena kita tidak ingin APBN cepat-cepat terekspose," ujarnya. Menkeu menjelaskan, dalam UU PPKSK, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menjadi garis depan pengawasan bank sistemik, terutama yang berpotensi mengalami masalah solvabilitas, yang didukung oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Skema "bail-in" tersebut diharapkan bisa berjalan efektif melalui koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) serta keinginan dari para pemilik bank agar mau merelakan asetnya untuk menyelamatkan bank. "UU ini fokusnya pada 'bail-in' dan kita menginginkan pemilik modal itu yang berjuang mempertahankan banknya. Jangan hanya mau ambil untungnya saja, tapi dia juga harus menjaga kelangsungan banknya," ucap Menkeu.

Ia mengharapkan skema "bail-in" ini bisa memberikan rasa aman karena dana nasabah di bank saat ini lebih terjamin dibandingkan krisis finansial pada 1998 dan pengawasan bank lebih baik dibandingkan krisis keuangan pada 2008. "Sekarang kita punya LPS, jadi deposan tidak harus panik seperti krisis 1998. Sekarang OJK juga sudah ada, waktu krisis 2008 belum ada, sehingga waktu itu pengawasan bank tidak bisa intensif seperti biasanya," jelas Menkeu.

Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (17/3) menyetujui RUU PPKSK menjadi UU, terdiri atas delapan bab dan 55 pasal, yang isinya mencakup pemantauan dan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan dan penanganan permasalahan bank sistemik dalam kondisi normal maupun krisis. Pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik menjadi penting karena bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran serta tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung ke perekonomian.

Komisi XI DPR RI menolak skema bail-out ataupun pinjaman menggunakan dana penyertaan pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (RUU PPKSK) untuk menyelamatkan bank sistemik, dan lebih mengutamakan skema suntikan dana dari sang pemilik modal atau bail-in. Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti menjelaskan dengan mengubah nama aturan dari yang semula jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) menjadi (PPKSK) memiliki filosofi bahwasanya skema bail-in harus diperkuat.

Destry menjelaskan, sebenarnya skema bail-in ini sudah diterapkan di negara-negara lain. Dengan bail-in mengisyaratkan, jika pemilik modal berani membuat atau mendirikan bank, maka dia pun harus berani memperkirakan risikonya. Lagi pula, biasanya, bank yang mengalami masalah sistemik merupakan bank yang sudah punya nama besar. "Itu umumnya bank besar yang pemiliknya jelas, masa sih bank-nya jatuh dia enggak bail-in. Itu yang akan dikejar dulu," kata Destry.

Lebih jauh dia menjelaskan dengan adanya skema bail-in sebenarnya mendorong perbankan untuk melakukan konsolidasi atau penggabungan aset. Dengan tujuan memperbesar size perbankan Indonesia. Pasalnya, size perbankan di Indonesia masih kalah dibandingkan size perbankan lain di regional ASEAN. "Sebenarnya mendorong bank untuk konsolidasi. Juimlah bank kita 118. Jadi bank yang modalnya kurang bisa gabung dengan bank lain," pungkas Destry.

BERITA TERKAIT

Bank Butuh Komite AI untuk Awasi Tata Kelola

Bank Butuh Komite AI untuk Awasi Tata Kelola NERACA Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan, industri perbankan perlu untuk…

Laba Bersih Bank Raya Tumbuh 84,7%

Laba Bersih Bank Raya Tumbuh 84,7% NERACA Jakarta - PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO) atau Bank Raya membukukan laba…

Kredit UMKM Tetap Selektif Di Tengah Potensi Perlambatan Konsumsi

Kredit UMKM Tetap Selektif Di Tengah Potensi Perlambatan Konsumsi NERACA Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) menyampaikan,…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Bank Butuh Komite AI untuk Awasi Tata Kelola

Bank Butuh Komite AI untuk Awasi Tata Kelola NERACA Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan, industri perbankan perlu untuk…

Laba Bersih Bank Raya Tumbuh 84,7%

Laba Bersih Bank Raya Tumbuh 84,7% NERACA Jakarta - PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO) atau Bank Raya membukukan laba…

Kredit UMKM Tetap Selektif Di Tengah Potensi Perlambatan Konsumsi

Kredit UMKM Tetap Selektif Di Tengah Potensi Perlambatan Konsumsi NERACA Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) menyampaikan,…