NERACA
Jakarta – Dunia usaha meminta suku bunga kredit perbankan yang lebih berdaya saing dibanding negara-negara tetangga lainnya. Artinya, sesuai dengan harapan pemerintah, suku bunga pinjaman harus turun dari dua digit di era sekarang ini menjadi satu digit agar modal untuk sektor industri lebih mudah diakses.
Menteri Perindustrian Saleh Husen mengatakan, dunia usaha masih mengeluhkan bunga bank yang cukup tinggi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Vietnam. “Tentu yang selalu saya sampaikan saat pertemuan dengan dewan gubernur (Bank Indonesia), salah satu yang diinginkan pengusaha adalah bunga bank yang bersaing,” ujar Menteri Saleh usai bertemu Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo di Jakarta, Rabu (2/3).
Meski enggan menyebutkan tingkat bunga bank yang diharapkan pelaku usaha, Saleh menyampaikan hanya ingin angkanya tidak terlampau jauh dengan negara-negara tersebut. “Paling tidak bersaing lah. Pokoknya jangan terlalu jauh dari negara tetangga kita. Sehingga orang tidak mencari pinjaman ke luar negeri, apalagi usaha kecil,” jelasnya.
Menteri Perindustrian dan Gubernur Bank Indonesia melakukan koordinasi pelaksanaan kewajiban penggunaan rupiah pada kegiatan transaksi di sektor industri. Koordinasi tersebut diharapkan mampu menstabilkan nilai tukar rupiah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional di tengah perlambatan ekonomi global.
“Industri merupakan penggerak utama perekonomian nasional. Untuk itu, kami lakukan koordinasi dalam penerapan aturan kewajiban penggunaan rupiah khususnya untuk kegiatan di sektor industri,” kata Menperin.
Menperin mengatakan penggunaan uang rupiah dalam transaksi bisnis dapat menstabilkan nilai tukar mata uang Indonesia itu. “Pelaku usaha kan mengharap nilai tukar yang stabil karena mereka dapat memperhitungkan, kalkulasi, strategi finansial usaha mereka. Nah kestabilan ini turut membantu keputusan ekspansi dan investasi ke Indonesia,” paparnya.
Di samping itu, Menteri Saleh mengapresiasi Bank Indonesia yang menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate ke level 7% pada awal 2016. Sementara dengan turunnya BI Rate, Agus Martowardojo berharap agar perbankan segera menghitung biaya dana atau cost of fund untuk melakukan penyesuaian. “Tetapi, kami mengerti kalau misalnya BI menyesuaikan dengan BI Rate itu kan mungkin depositonya jatuh waktu tiga bulan lagi ada yang satu bulan lagi, jadi mereka perlu waktu,” jelasnya.
Jika melihat The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat), sambung Agus, yang menaikkan suku bunga disusul adanya stabilitas di ekonomi dunia, maka akan ada peluang untuk melakukan penyesuaian bunga kredit tersebut. “Kami hanya melakukan itu setelah melihat data, jadi kami mengkaji data baru kami respons,” ujar Agus.
Senada dengan Gubernur BI, pada kesempatan terpisah, Direktur Keuangan Negara dan Analisa Moneter Bappenas Sidqy LP Suyitno menilai kebijakan suku bunga acuan (BI Rate) oleh bank sentral masih tergantung oleh faktor global, khususnya rencana kenaikan Fed Fund Rate (FFR). “Ini kan tergantung The Fed (bank sentral AS) bagaimana. Minggu lalu data AS mulai menunjukkan tampaknya masih bisa menaikkan tahun ini. Itu kan berarti (BI Rate) harus ditahan dulu, perlu dilihat dulu lagi,” ujar Sidqy.
Sidqy menjelaskan, porsi kepemilikan asing yang cukup besar di pasar saham dan surat berharga negara (SBN) menjadikan risiko arus modal keluar (capital outflow) juga semakin tinggi. Porsi asing di pasar saham sendiri mencapai 60 persen, sedangkan di SBN asing menguasai sekitar 40 persennya. “China yang 10 persen asing saja bisa 'collapse', apalagi kita,” kata Sidqy.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada kesempatan sebelumnya, menyebut, tingginya suku bunga kredit selama ini menjadi salah satu penyebab terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Kita akui bunga kredit Indonesia saat ini tertinggi di Asia. Suku bunga kita sekitar 10-12 persen. Untuk itu, pemerintah menargetkan pada tahun 2017 suku bunga kredit di Indonesia mencapai single digit. Agar lebih efisien, kami punya program, tahun depan harus single digit,” kata Wapres JK, baru-baru ini. munib
Jakarta-Polemik seputar Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) kembali mencuat, memantik kekhawatiran akan potensi intervensi pihak tertentu. Perjanjian internasional…
NERACA Jakarta — Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam mendorong industrialisasi dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam nasional melalui kebijakan…
NERACA Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengaku khawatir negara tidak akan sanggup menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi…
Jakarta-Polemik seputar Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) kembali mencuat, memantik kekhawatiran akan potensi intervensi pihak tertentu. Perjanjian internasional…
NERACA Jakarta — Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam mendorong industrialisasi dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam nasional melalui kebijakan…
NERACA Jakarta - Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Muhammad Sarmuji mengaku khawatir negara tidak akan sanggup menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi…