Lapangan Banteng yang berlokasi di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat, memang memiliki sekelumit sejarah yang menarik. Dikenal dengan nama Waterlooplein sejak zaman pemerintahan Belanda, lapangan ini memang tidak memiliki ukuran yang lebih besar dari Lapangan Monumen Nasional (Koningsplein). Namun demikian, Lapangan Banteng juga bersinggungan dengan banyak peristiwa sejarah.Catatan De Haan tahun 1935 mengungkap, Lapangan Banteng sempat beberapa kali berpindah kepemilikan. Awalnya pada masa JP Coen membangun kota Batavia di dekat muara Ci Liwung , Lapangan Banteng dan daerah disekitarnya masih berupa hutan belantara.
Kemudian pada 1632, menurut catatan resmi, kawasan hutan belantara ini menjadi milik Anthony Paviljoen. Terinspirasi dengan nama pemiliknya, lapangan ini kemudian diberi nama Paviljoensveld atau Lapangan Paviljoen.Paviljoen kemudian menyewakan beberapa lahan miliknya kepada orang Tiongkok untuk ditanami tebu dan sayur-sayuran. Sementara dirinya sendiri, hanya menyisakan hak untuk beternak sapi.
Pada masa-masa berikutnya, Lapangan Banteng sempat dimiliki oleh seorang anggota Dewan Hindia, yang bernama Cornelis Chastelein. Di bawah kepemilikannya, Chastelein memberi nama lapangan ini dengan sebuat Waltevreden. Setelah berganti-ganti kepemilikan, termasuk Justinus Vinck, tanah Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal van der Parra.
Pada awal abad ke-19, Weltevreden semakin berkembang. Di sekitarnya banyak dibangun gedung. Hingga di pertengahan abad itu, Lapangan Banteng menjadi tempat berkumpulnya golongan elite Kota Batavia. Tiap sore menjelang malam selalu digelar pertunjukan musik yang ditonton kalangan elite Jakarta.
Menurut buku “Asal-usul Nama Tempat di Jakarta” karya Rachmat Ruchiat, , pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Lapangan Banteng disebut dengan Lapangan Singa. Sebutan tersebut dipakai karena di tengah lapangan tersebut terpancang tugu peringatan kemenangan peran di Waterloo dengan patung berbentuk singa di bagian tengahnya. Namun tugu ini dirobohkan saat Indonesia diduduki Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, nama Lapangan Singa diganti dengan sebutan Lapangan Banteng. Selain pertimbangan nasionalisme, mengingat Singa erat kaitannya dengan simbol penjajah, nama Lapangangan Banteng dipakai juga dengan pertimbangan bahwa di kawasan ini dahulu banyak dijumpai satwa liar, seperti macan, kijang, dan banteng.
Awalnya Lapangan Banteng hanyalah rawa dan hutan belantara, kemudian menjadi kawasan padang rumput untuk ternak mencari makan, sampai berubah menjadi terminal bus yang ramai. Tapi perlu juga kita ketahui, lapangan ini adalah saksi bisu sejarah peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Eropa dan juga zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia.
NERACA Jakarta - Vila mewah Xerana Resort siap untuk dibangun di kawasan Pantai Pengantap, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan luas…
NERACA Jakarta – Caffè Vergnano 1882, salah satu merek kopi paling bergengsi dari Italia, resmi membuka outlet pertamanya di Indonesia, menandai…
NERACA Jakarta - Selebriti Mikha Tambayong didaulat menjadi duta pariwisata Taiwan pertama di Indonesia. Dihadapan para awak media Mikha menceritakan…
NERACA Jakarta - Vila mewah Xerana Resort siap untuk dibangun di kawasan Pantai Pengantap, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan luas…
NERACA Jakarta – Caffè Vergnano 1882, salah satu merek kopi paling bergengsi dari Italia, resmi membuka outlet pertamanya di Indonesia, menandai…
NERACA Jakarta - Selebriti Mikha Tambayong didaulat menjadi duta pariwisata Taiwan pertama di Indonesia. Dihadapan para awak media Mikha menceritakan…