Paham Komunis Tidak Boleh Tumbuh Kembali di Indonesia

 

Oleh: Zakiy Zakaria Rahman S.Sos, Pemerhati Masalah Sosial

        PKI adalah singkatan dari Partai Komunis Indonesia,  semula merupakan organisasi sosial politik/orsospol, bentukan para aktivis Partai Komunis Belanda yaitu : SDP dan SDAP, serta berada di bawah kontrol Pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan PKI di tahun 1917 dan tahun 1926-1927 bukan  untuk kemerdekaan RI, tapi semata-mata hanya untuk membentuk Pemerintah Komunis Hindia Belanda.  Sejak PKI didirikan tidak ada  sedikit pun Kontribusi PKI dalam perjuangan Kemerdekaan RI.  Sejak awal berdiri PKI selalu mengeksploitasi kaum buruh dan tani serta mengorbankan mereka dalam sepak terjangnya untuk mencapai tujuan-tujuan politik komunismenya.  Kiblat Perjuangan PKI adalah Uni Sovyet sekarang Rusia, sehingga PKI tidak memiliki ruh kebangsaan Indonesia.

         Sejarah  gerakan PKI   pasca Indonesia merdeka terkenal kejam, memanfaatkan kaum tani dan buruh menyerang dan membunuh  kepada kelompok yang tidak sepaham, tidak terkecuali dengan tokoh agama/ulama, ormas, pejabat daerah, sampai kepada perwira tinggi TNI. Gerakan PKI  resmi dibubarkan, pada tanggal 5 Juli 1966 atau  dengan Terbitnya TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang ditanda-tangani Ketua MPRS – RI Jenderal TNI AH Nasution tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan penyebaran paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme.

          Pasca reformasi, atau tepatnya pada pemerintahan Presiden Jokowi, ada desakan dan tekanan kuat dari kalangan Liberal atas nama HAM (Hak Asasi Manusia) agar Presiden RI Joko Widodo sebelum HUT Kemerdekaan RI ke-70 pada 17 Agustus 2015, meminta maaf secara resmi atas nama Negara RI kepada Keluarga Besar PKI. Namun  tidak jadi dilaksanakan karena banyaknya penolakan dari elemen masyarakat. Wacana permohonan maaf Presiden RI atas nama Negara RI kepada PKI pertama kali muncul di zaman Presiden Abdurrahman Wahid,  namun tidak terjadi karena saat itu gelombang penolakan dari Kelompok Islam sangat besar, khususnya FPI yang sempat menurunkan 10.000 Laskar mengepung Istana Presiden dalam Aksi Anti PKI di Jakarta.

           Wacana tersebut kembali muncul di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan sempat ada pengajuan dan pembahasan RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di DPR RI yang beraroma ”Pemutihan PKI”, namun lagi-lagi gagal karena mendapat penolakan keras dari Ormas dan Orsospol Islam di DPR RI. Kini, infonya   RUU KKR yang sudah ditolak tersebut, diajukan kembali ke DPR RI dengan sedikit modifikasi, sehingga masuk dalam daftar Prolegnas DPR RI tahun 2015. .

     Betulkah PKI tidak bersalah, sehingga Negara harus minta maaf,  Betulkah PKI hanya menjadi korban fitnah, lalu, siapa yang memfitnah PKI, dan siapa pula yang bersalah kalau bukan PKI, bagaimana pula sikap TNI dan NU (Nahdhotul Ulama) yang pada tahun 1965 terlibat langsung dalam penumpasan PKI, dan banyak lagi pertanyaan-pertanyaan apabila pemerintah mau meminta maaf kepada PKI.

        Kutipan dari, Media Informasi Front Pembela Islam (FPI), Imam Besar FPI Alhabib Rizieq Syihab berpesan agar umat islam berhati-hati dan waspada dengan segala indikasi dan pergerakan PKI, jangan biarkan mereka bangkit kembali. Panjimas.com, postingan 6 juli 2015, memberitakan Mayor Jenderal (Purn) TNI Kivlan Zen SIP MSi mengatakan, rencana pemerintah Jokowi-JK, yang akan meminta maaf kepada eks PKI merupakan lampu hijau akan kebangkitan PKI. Jika hal ini benar  terjadi, maka negara ini akan menjadi bulan-bulanan orang lain, dan kita akan dipecah belah seperti di Yugoslavia dan Uni Soviet, orang-orang yang dituduh terlibat ditangkap.
         Dengan demikian, nantinya orang-orang PKI itu akan melakukan balas dendam secara terbuka, kepada tentara dan tokoh-tokoh yang dulu terlibat menghabisi pemberontakan PKI, karena dianggap pembunuhan massal. Jika tuntutannya adalah permintaan maaf, rehabilitasi nama mereka, dan kompensasi Rp 2,4 miliar per orang, maka Negara akan membayar besar kepada mereka. Tuntutan ini bisa jadi  bukti bahwa  PKI akan  bangkit lagi, karena tahun 2010 sudah terbentuk pengurus PKI yang baru di Grabag, dan strukturnya sudah terbentuk hingga desa.

Waspadai Gaya Baru

          Di lingkaran atas (elit) juga sudah mulai terlihat siapa-siapa yang pro PKI, dari cara-cara berfikirnya, karena pada saat kejadian mereka baru berumur balita, termasuk konsep-konsep dari yayasan korban 65 yang didalam pengurusnya ada Gerwani. Kini saatnya Indonesia harus mewaspadai bangkitnya bahaya komunis. Gejala Komunis Gaya Baru (KGB) telah ada sejak era reformasi, bahkan tokoh2nya kini telah berhasil menduduki kursi empuk di pemerintahan dan parlemen dengan memanfaatkan setiap situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia.
            Ketahuilah para penganut komunis sengaja menebar pengaruh di tengah masyarakat bahwa seolah paham komunis tidak lagi berbahaya atau sudah tidak ada, itu yang mereka kembangkan di tengah masyarakat, satu persatu mereka  masuk di dalam pemerintahan, sudah saatnya agar masyarakat dan para tokoh serta aparat berwenang segera sadar dan mewaspadai kebangkitan komunis ini karena mereka sudah ada dimana-mana.
             Ketua umum Gerakan Pemuda Ansor Nusron Wahid menengarai beberapa peristiwa akhir-akhir ini ada kaitannya dengan pergerakan PKI. Rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) agar pemerintah membentuk peradilan HAM guna mengungkap kasus pembantaian atas ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI pada 1965 salah satu indikasinya.  Sudah jelas di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak boleh ada ideologi lain sebagai pandangan hidup dasar negara selain Pancasila.
          Warga Negara Indonesia yang pernah merasakan pendidikan dasar mau pun menengah dalam kurun waktu pemerintahan Orde Baru antara 1965 hingga 1998, telah sangat akrab dengan kurikulum tentang Sejarah Pengkhianatan PKI, sehingga sikap Anti PKI menjadi terlembagakan dalam kepribadian Bangsa dan Rakyat Indonesia. Apalagi Stasiun TVRI sebagai media nasional selama hampir dua dekade yaitu di tahun 1980-an hingga 1990-an, tiap tahunnya selalu memutar ulang film Pemberontakan G30S / PKI, sehingga disaksikan secara meluas dan rutin tahunan oleh seluruh rakyat Indonesia.

          Namun setelah Reformasi 1998, sedikit demi sedikit, informasi tentang Sejarah Pengkhianatan PKI mulai hilang dari kurikulum pelajaran sekolah, sehingga generasi muda yang baru merasakan pendidikan di era ini banyak yang tidak tahu menahu tentang Sejarah Pengkhianatan PKI. Bahkan mulai muncul buku-buku yang memposisikan PKI sebagai pahlawan yang sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal itu, salah dan ingin memutar balikan sejarah, generasi muda harus mengetahuinya.

     Wawasan kebangsaan merupakan pokok-pokok  pikiran tentang cita-cita dan tujuan nasional suatu bangsa, yang lahir dari kesadaran segenap masyarakat untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan, kesejahteraan, dan kedamaian bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan Indonesia perlu digalakkan atau ditingkatkan kembali  dengan tujuan menghidupkan kembali semangat kebangsaan, mendorong terwujudnya hidup yang harmonis, menjaga keutuhan bangsa serta mendorong pencapaian cita-cita  nasional .   

              Sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional  yaitu menjaga keutuhan dalam bingkai NKRI  dapat berjalan dengan sukses. Jadi kita harus mewaspadai kebangkitan komunis, karena tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan bangsa kita yang ber-ideologi Pancasila dan akan dapat mengganggu kedamaian bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan dan Ketahanan Nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara agar tetap jaya dan berkembang seterusnya tanpa dimasuki ideologi selain Pancasila.

 

BERITA TERKAIT

Meningkatkan Transparansi Koperasi Merah Putih

    Oleh: Indriani Nova, Pengamat Perkoperasian   Transparansi menjadi salah satu fondasi utama dalam tata kelola kelembagaan yang sehat…

Pembaruan KUHAP Dukung Supremasi Hukum Nasional

    Oleh: Aryo Wijaya, Pemerhati Hukum dan Kemasyarakatan Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat supremasi hukum nasional melalui pembaruan…

Sinergi Kebijakan Fiskal dan Perdagangan Hadapi Tarif Trump

    Oleh: Sidya Wiratma, Pengamat Ekonomi Internasional Pemerintah Indonesia menunjukkan kesiapan menghadapi kebijakan proteksionis Amerika Serikat melalui pendekatan yang…

BERITA LAINNYA DI Opini

Meningkatkan Transparansi Koperasi Merah Putih

    Oleh: Indriani Nova, Pengamat Perkoperasian   Transparansi menjadi salah satu fondasi utama dalam tata kelola kelembagaan yang sehat…

Pembaruan KUHAP Dukung Supremasi Hukum Nasional

    Oleh: Aryo Wijaya, Pemerhati Hukum dan Kemasyarakatan Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat supremasi hukum nasional melalui pembaruan…

Sinergi Kebijakan Fiskal dan Perdagangan Hadapi Tarif Trump

    Oleh: Sidya Wiratma, Pengamat Ekonomi Internasional Pemerintah Indonesia menunjukkan kesiapan menghadapi kebijakan proteksionis Amerika Serikat melalui pendekatan yang…