NERACA
Jakarta - Pemerintah berencana mengahpuskan biaya bea masuk kakao impor, adanya rencana ini terang saja mendapat protes keras dari para petani. Alasan penolakan mengingat nantinya harga kakao impor akan jauh lebih murah dan kualitasnya lebih baik daripada kakao lokal.
"Kakao impor biasanya dari tampilan luar lebih bagus dari pada produk lokal. Harusnya pemerintah lebih fokus untuk membuat standar nasionalnya dulu, sehingga petani mengikuti standarisasinya sehingga mampu bersaing dengan produk impor,” kata Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang di Jakarta, Selasa (15/04).
Dia menilai kebijakan pembebasan bea masuk impor kakao akan menekan harga kakao di tingkat petani lokal. Apalagi dengan harga dan kualitas kakao yang jauh lebih baik membuat kakao lokal kalah bersaing. "Apa yang terjadi kalau bea masuk kakao dibebaskan Kalau ini sampai terjadi, kakao petani lokal akan dinomorduakan, harganya akan ditekan sehingga petani tidak ada motivasi lagi menanam kakao. Petani kita akan beralih ke sawit, karet, cengkeh, sama jagung," imbuhnya.
Bahkan bila kebijakan ini direalisasikan, para pelaku industri pengolahan kakao di dalam negeri semakin diuntungkan. Bahkan dampak negatifnya bisa jadi para pelaku industri melakukan tindakan nakal seperti menimbun pasokan kakao impor dalam jumlah besar. "Kalau bea masuk kakao dibebaskan, siapa pun lebih suka impor, mendapatkannya gampang, kualitasnya bagus lagi. Daripada ke lokal, susah mengumpulkannya. Yang saya khawatir, begitu keran impor dibuka, akan ada importir-importir buka gudang di Indonesia, mereka yang menyetok barang yang nantinya dapat menghancurkan harga di pasaran" jelasnya.
Dia juga mengatakan masih banyak para petani kakao di Indonesia memilih untuk mengekspor biji kakao di dalam negeri. Di tahun 2013 tercatat Indonesia masih mengekspor biji kakao mencapai 188.000 ton dari total produksi mencapai 620.000 ton. Padahal industri pengolahan kakao di dalam negeri sudah berkembang cukup pesat.
Cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menahan laju ekspor biji kakao di dalam negeri adalah dengan membuat aturan mewajibkan petani agar ekspor minimal dalam bentuk kakao berfermentasi. Di sisi yang lain, industri pengolahan di dalam negeri harus mampu membeli biji kakao petani dengan harga yang kompetitif.
"Kalau memang kita butuhnya fermentasi, ya lakukan fermentasi. Nggak boleh lagi jual mentah. Silakan bikin aturannya. Di dunia ini, hanya Indonesia yang jual biji kakao non fermentasi," imbuhnya.
Indonesia seharusnya bisa mencontoh kebijakan perdagangan kakao yang sudah dilakukan oleh Papua Nugini. Pemerintah PNG sukses melarang petani kakao mengekspor kakao dalam bentuk mentah, namun harus difermentasi dahulu atau masuk hilirisasi industri sehingga mempunyai nilai yang lebih tinggi. [agus]
NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, rencana konsolidasi BUMN-BUMN…
NERACA Jakarta – Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) Otok Kuswandaru mengatakan bahwa…
NERACA Jakarta - PT PLN (Persero) mencatatkan kinerja positif sepanjang tahun 2024 dengan mencetak pendapatan sebesar Rp545,4 triliun…
NERACA Jakarta - Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, rencana konsolidasi BUMN-BUMN…
NERACA Jakarta – Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) Otok Kuswandaru mengatakan bahwa…
NERACA Jakarta - PT PLN (Persero) mencatatkan kinerja positif sepanjang tahun 2024 dengan mencetak pendapatan sebesar Rp545,4 triliun…