NERACA
Jakarta – Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan April 2025 tercatat sebesar 51,90, menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur nasional masih berada di fase ekspansi. Namun demikian, laju ekspansi mengalami perlambatan dibandingkan bulan Maret 2025 yang sebesar 52,98 atau menurun sebesar 1,08 poin. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, nilai IKI juga mengalami koreksi sebesar 0,40 poin.
Perlambatan kinerja IKI pada bulan laporan terutama disebabkan oleh penurunan signifikan pada variabel pesanan baru, yang turun 4,05 poin ke level 49,64 dan masuk ke zona kontraksi. Di sisi lain, terjadi percepatan pada variabel produksi, yang naik 3,31 poin ke angka 54,52.
“Nilai IKI variabel pesanan baru mengalami penurunan sebesar 4,05 poin sehingga mengalami kontraksi yaitu 49,64. Namun, percepatan ekspansi terjadi pada nilai IKI variabel produksi sebesar 3,31 poin menjadi 54,52,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief di Jakarta.
Sebanyak 20 dari 23 subsektor industri pengolahan nonmigas tercatat tumbuh positif, dengan kontribusi terhadap PDB triwulan IV 2024 mencapai 91,9 persen. Subsektor dengan nilai IKI tertinggi adalah Industri Pencetakan dan Reproduksi Media Rekaman (KBLI 18) dan Industri Barang Galian Bukan Logam (KBLI 23).
Adapun tiga subsektor yang mengalami kontraksi adalah Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki (KBLI 15), Industri Kayu dan Barang dari Kayu (KBLI 16), serta Industri Kendaraan Bermotor, Trailer, dan Semi Trailer (KBLI 29). Sejalan dengan kondisi tersebut, kegiatan usaha secara umum masih tergolong stabil. Sebanyak 74,1 persen responden menyampaikan bahwa kegiatan usahanya membaik atau tetap stabil.
"Meskipun IKI April 2025 menunjukkan ekspansi yang melambat, kondisi kegiatan usaha industri secara umum masih tergolong baik. Sebanyak 74,1 persen responden melaporkan bahwa kegiatan usahanya membaik atau stabil. Proposi industri yang menyatakan kondisi usahanya membaik sebanyak 26,2% dan stabil sebanyak 47,9 persen," papar Febri.
Dari sisi struktur produksi, sekitar 20 persen produk industri nasional dialokasikan untuk pasar ekspor, sementara 80% lainnya diserap oleh pasar domestik yang mencakup belanja pemerintah, swasta, dan rumah tangga. Ketergantungan sebagian industri terhadap pasar global membuat sektor ekspor sangat rentan terhadap gejolak eksternal.
Kemenperin mencatat bahwa perang tarif dan dampak negatifnya terhadap penurunan pertumbuhan Amerika Serikat, Tiongkok, dan ekonomi dunia memicu peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global serta mendorong perilaku risk aversion pemilik modal. Hal ini tercermin pada penurunan nilai IKI ekspor yang dipengaruhi oleh dampak perang tarif global, yang menyebabkan turunnya permintaan dari negara mitra dagang utama.
“Kinerja industri yang berorientasi pasar domestik juga menunjukkan perlambatan. Selain disebabkan oleh menurunnya permintaan dalam negeri, pelaku usaha mulai mengkhawatirkan potensi limpahan produk manufaktur dari negara lain akibat perang tarif global yang berisiko meningkatkan tekanan persaingan di pasar nasional,” ungkap Febri.
Febri Kemenperin juga menyebut bahwa saat ini IKI yang berorientasi pasar ekspor dan IKI yang berorientasi pada pasar domestik sama-sama mencatakan penurunan. “Saat ini, kami merilis IKI ekspor dan IKI domestik, yang merupakan pengembangan IKI sebelumnya. Tren kedua IKI ini menurun dari bulan Februari 2025,” jelas Febri.
Pada Februari 2025, IKI ekspor berada di level 53,95, turun menjadi 53,33 poin di Maret 2025, kemudian merosot hingga 52,26 poin pada April 2025. Sementara itu, IKI domestik pada bulan Februari berada di level 53,10, turun menjadi 52,90 poin di Maret 2025, dan merosot hingga 51,40 pada April 2025.
“Kami mendapat masukan dari pelaku industri bahwa perang tarif global membuat persepsi pelaku industri tertekan, karena perang tarif ini bisa menghambat akses produk-produk mereka ke pasar internasional Amerika dan adanya distrubsi rantai pasok global,” sebut Febri.
Sementara itu, pada Maret 2025, impor Indonesia tercatat sebesar USD18,92 miliar. Nilai ini naik 0,38 persen dibandingkan Februari 2025 (MoM) dan naik 5,34 persen dibandingkan Maret 2024 (YoY).
“Bila dibandingkan dengan Februari 2025, kenaikan impor Maret 2025 hanya terjadi pada sektor migas sebesar 9,07 persen, sementara impor nonmigas turun sebesar 1,18 persen (MoM). Secara tahunan, impor nonmigas naik sebesar 7,91 persen, sementara impor migas turun 5,98 persen (YoY),” jelas Menteri Perdagangan Budi Santoso.
Lebih lanjut, kinerja impor Maret 2025 masih didominasi bahan baku dan penolong dengan pangsa 71,23 persen, diikuti barang modal 19,56 persen dan barang konsumsi 9,21 persen.
Pada Maret 2025, impor barang konsumsi dan barang modal meningkat masing-masing sebesar 18,73 persen dan 7,28 persen (MoM).
Pemanfaatan Teknologi Jadi Kunci Utama Kemajuan Koperasi Jakarta - Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi mendorong seluruh koperasi di Indonesia untuk…
Pengembangan SDM Kunci Pengembangan Iandustri Hijau Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menegaskan bahwa pengembangan…
Industri Pengolahan Kelapa Siap Utamakan Kesejahteraan Petani Jakarta – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menerima audiensi Himpunan Industri Pengolahan Kelapa…
Pemanfaatan Teknologi Jadi Kunci Utama Kemajuan Koperasi Jakarta - Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi mendorong seluruh koperasi di Indonesia untuk…
Pengembangan SDM Kunci Pengembangan Iandustri Hijau Jakarta – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menegaskan bahwa pengembangan…
Industri Pengolahan Kelapa Siap Utamakan Kesejahteraan Petani Jakarta – Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menerima audiensi Himpunan Industri Pengolahan Kelapa…