KENAIKAN UMP 2025 DILAKSANAKAN SETELAH BERBAGAI KAJIAN - Ketua PHRI: Berisiko Ketidakseimbangan pada Pekerja

Jakarta-Keputusan pemerintah melalui Kemnaker yang menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 6,5% pada 2025 dilakukan setelah berbagai kajian yang melibatkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, serta tren kenaikan upah dalam beberapa tahun terakhir. Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B. Sukamdani, mengatakan kenaikan UMP ini dapat berisiko menciptakan ketidakseimbangan dalam pasar tenaga kerja dan berdampak buruk bagi pencari kerja di sektor tersebut.

NERACA

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menjelaskan bahwa kajian ini juga melibatkan masukan dari pengusaha, dengan tujuan utama untuk meningkatkan daya beli masyarakat.

"Kami telah melakukan beberapa kajian, yang pertama kita membaca pertumbuhan ekonomi, inflasi, kita melihat tren kenaikan upah dalam 3-4 tahun terakhir, dan sebenarnya kajian itu sudah kami sampaikan ke pengusaha, atas dasar itulah kami usulkan ke pak Presiden," ujarnya, Rabu (11/12).

Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dampak kenaikan UMP ini terhadap daya saing usaha, terutama di tengah tantangan ekonomi global yang terus berkembang?

Indah menilai, kenaikan upah minimum tersebut dapat meningkatkan biaya tenaga kerja bagi perusahaan, terutama di sektor-sektor dengan proporsi biaya upah yang tinggi, seperti manufaktur dan ritel.

Sementara, bagi perusahaan kecil dan menengah (UKM), kenaikan ini bisa menjadi beban tambahan, mengingat mereka mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan biaya ini. Namun, bagi perusahaan besar yang sudah terbiasa dengan fluktuasi ekonomi, kenaikan ini mungkin tidak terlalu berdampak besar, terutama jika mereka memiliki efisiensi operasional yang baik.

Meskipun begitu, dampak terhadap daya saing usaha tetap bergantung pada kemampuan perusahaan untuk menyerap atau mengalihkan biaya tambahan ini, misalnya melalui inovasi atau otomatisasi yang dapat meningkatkan produktivitas.

Kenaikan UMP 6,5% ini adalah kebijakan sementara untuk 2025. Pemerintah menyatakan akan terus melakukan kajian bersama pengusaha dan serikat pekerja untuk merumuskan formula yang lebih jangka panjang. "Kita perhatikan bahwa Peraturan ini hanya berlaku untuk tahun 2025, ini respon kita ketika sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian kami melakukan kajian," ujarnya seperti dikutip Liputan6.com.

Menurut Indah, pemerintah dan pihak terkait akan merumuskan formula yang lebih berkelanjutan untuk mengatur kenaikan upah, dengan mempertimbangkan banyak variabel, termasuk tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Proses ini diperkirakan memerlukan waktu untuk mendapatkan rumusan yang lebih stabil dan tidak membebani pihak manapun secara berlebihan.

Penting untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya bermanfaat bagi pekerja dalam jangka pendek, tetapi juga mendukung keberlanjutan usaha dalam jangka panjang. Oleh karena itu, diskusi lebih lanjut antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja akan terus dilakukan untuk mencapai keseimbangan yang optimal.

"Bersama teman-teman pengusaha dan serikat pekerja bagaimana kita bisa memiliki rumus yang lebih longterm dan ini tentu membutuhkan waktu, kita harus duduk bersama, banyak variabel-variabel dan sejauh mana variabel itu signifikan dan seterusnya dan itu memerlukan waktu," ujarnya.

Berisiko Ketidakseimbangan

Secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B. Sukamdani, menyampaikan pandangannya mengenai dampak kenaikan UMP 6,5% terhadap pekerja sektor pariwisata. Menurut dia, kenaikan ini dapat berisiko menciptakan ketidakseimbangan dalam pasar tenaga kerja dan berdampak buruk bagi pencari kerja di sektor tersebut.

Hariyadi menjelaskan bahwa ketidakseimbangan antara lapangan kerja yang tersedia dengan jumlah pekerja yang ingin bekerja semakin lebar. Hal ini menyebabkan kebijakan kenaikan UMP yang relatif tinggi dapat mengurangi penyerapan tenaga kerja, terutama dalam sektor pariwisata.

"Karena supply dan demandnya tenaga kerja itu nggak berimbang. Gapnya terlalu lebar antara lapangan kerja yang tersedia dengan pekerja yang mau bekerja itu sangat lebar sekali," kata Hariyadi.

Dia menilai perbedaan yang terlalu besar antara supply dan demand tenaga kerja memicu respon negatif dari pelaku industri, yang mungkin lebih memilih mengurangi jumlah karyawan tetap dan beralih menggunakan pekerja harian atau magang.

Dalam sektor pariwisata, selain upah, para pekerja juga menerima service charge. Namun, kenaikan UMP yang terus-menerus tanpa memperhatikan faktor-faktor lain seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta biaya lemburan, memaksa pelaku industri untuk mempertimbangkan cara-cara penghematan biaya.

"Nah seperti di sektor saya misalnya ya, sektor saya itu di sektor pariwisata. Nah kebetulan pariwisata itu kita mengenal yang namanya service charge. Jadi, pekerja itu tidak semata-mata menerima upah tapi juga menerima service charge," ujar Hariyadi.

Hal ini, menurut dia, bisa mengarah pada perampingan signifikan di sektor pariwisata, yang pada akhirnya menyulitkan pencari kerja, terutama yang menginginkan status pekerja kontrak. "Begitu dilakukan upah minimum yang terus-terusan naik seperti itu, maka direspons oleh dunia sektor pariwisata ini dengan melakukan perampingan yang sangat signifikan dan mereka lebih kepada menggunakan pekerja yang sifatnya adalah daily worker atau magang," ujarnya.

Di sisi lain, ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Celious Nailul Huda menilai, kenaikan UMP sebesar 6,5% yang ditetapkan pemerintah untuk 2025 masih lebih rendah dari yang seharusnya didapatkan oleh pekerja dan buruh. Menurut dia, seharusnya kenaikan UMP 2025 berada di kisaran 8%-10%, yang lebih sesuai dengan laju inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Nailul menjelaskan bahwa meskipun UMP naik 6,5 persen, namun dengan prediksi inflasi yang mencapai 3,5 persen (tanpa adanya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai/PPN), kenaikan upah riil pekerja hanya berkisar sekitar 3 persen. Ini berarti daya beli buruh kelas menengah ke bawah akan sangat terbatas.

Terlebih lagi, kelompok ini memiliki pengeluaran terbesar untuk barang-barang kebutuhan pokok yang harganya cenderung volatile (fluktuatif), seperti pangan. Inflasi volatile food diperkirakan dapat mencapai 5-6 persen, sehingga dampak kenaikan upah riil bagi mereka menjadi lebih kecil lagi.

"Kelas menengah ke bawah (konsumsi paling banyak adalah volatile food) akan lebih rendah lagi kenaikan upah riil-nya karena inflasi volatile food bisa mencapai 5-6 persen. Jadi, saya rasa belum sesuai kenaikan UMP ini," kata Nailul.

Dia juga memperingatkan bahwa jika pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen pada tahun depan, inflasi diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 4,1 persen (tanpa adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)).

Hal ini akan semakin menggerus kenaikan upah riil yang diterima pekerja. Dengan inflasi yang terus meningkat, daya beli buruh dan kelas menengah ke bawah diperkirakan akan terus tertekan, sehingga mereka mungkin tidak dapat lagi menabung, bahkan harus menghabiskan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Pekerja tidak bisa menabung lagi, bisa jadi malah mantab alias makan tabungan," ujarnya.

Di sisi lain, dengan tingkat inflasi yang tinggi, permintaan agregat dalam perekonomian akan cenderung turun. Menurunnya daya beli masyarakat akan berdampak negatif pada dunia usaha. "Dunia usaha bisa lesu karena permintaan yang terbatas," ujarnya.

Maka permintaan yang terbatas berpotensi menyebabkan pelambatan ekonomi, bahkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih tinggi. Hal ini menambah kompleksitas permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi negara. "Ancaman bagi PHK juga akan semakin meningkat," katanya.

Melihat situasi tersebut, Nailul mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan untuk menaikkan UMP lebih tinggi lagi, setidaknya seiring dengan prediksi inflasi yang ada. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kebijakan kenaikan tarif PPN yang dapat memperburuk daya beli masyarakat. Sebaliknya, jika tarif PPN tidak dinaikkan, konsumsi rumah tangga dapat didorong untuk kembali meningkat, yang pada gilirannya dapat memberikan dorongan bagi dunia bisnis untuk kembali bergeliat.

Dengan kata lain, kebijakan yang berimbang antara peningkatan UMP yang cukup dan pengendalian tarif PPN dapat menjadi kunci dalam menjaga daya beli masyarakat sekaligus mendukung pemulihan ekonomi. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

KALANGAN PENGUSAHA KELAPA SAWIT: - Tunda, Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor CPO

  Jakarta-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyoroti kenaikan tarif pungutan ekspor produk minyak sawit mentah ( crude palm oil-CPO).…

Wamenkum: Iklim Investasi Bergantung pada Hukum yang Berlaku

NERACA Jakarta – Hukum dan investasi merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya ternyata saling mempengaruhi satu sama lain. Hal…

Brigade Pangan Tingkatan Produksi Pangan

NERACA Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) terus memperkuat ketahanan pangan nasional dengan mengedepankan optimalisasi lahan sebagai strategi utama…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

UPAYA PERLUAS BASIS PAJAK: - Tidak Perlu Turunkan Ambang Batas PTKP

  Jakarta-Akademisi  dan Manajer Riset CITA tidak menyarankan penurunan ambang batas PTKP untuk memperluas basis pajak seperti yang disarankan Organization…

MENKO PANGAN: - Modal Awal Koperasi Merah Putih Rp3 Miliar per Unit

NERACA Bandung - Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengungkapkan, koperasi desa merah putih akan diberi modal awal dari pemerintah…

Pemerintah Pastikan MBG Bebas Kontaminasi

NERACA Jakarta – Pemerintah menegaskan komitmennya dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan memastikan bahwa makanan yang disediakan aman,…

Berita Terpopuler