Jakarta-Menteri Luar Negeri RI Sugiono mengumumkan bahwa Indonesia tengah menjajaki keanggotaan bersama kelompok Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Hal itu berbeda arah dengan rencana Presiden Jokowi, bahwa Indonesia terus berkomitmen menjadi anggota Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
NERACA
Langkah mengejutkan diumumkan Menlu RI Sugiono tersebut, yakni proses negara ini untuk bergabung menjadi anggota BRICS telah dimulai. Disebut mengejutkan karena hal ini terjadi dalam hitungan hari setelah pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto berkuasa dan sikap hati-hati yang ditunjukkan oleh pemerintahan sebelumnya.
"Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif," tutur Menlu Sugiono via pernyataan tertulis 24 Oktober 2024. "Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum. Kita juga melihat prioritas BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih, antara lain terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan ataupun pemajuan sumber daya manusia."
KTT BRICS di Kazan, Rusia, yang berlangsung pada 22-24 Oktober menjadi tujuan lawatan perdana Menlu Sugiono sejak dilantik pada Senin (21/10).
BRICS dan OECD adalah dua kelompok negara yang berbeda dalam tujuan, latar belakang, dan karakteristik anggotanya. Menurut Sugiono, bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. "Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum," ujarnya.
Bergabung dengan BRICS atau OECD membawa berbagai keuntungan bagi negara anggotanya, terutama dalam bidang ekonomi, politik, dan pembangunan sosial.
Pertama, dari sisi kerja sama ekonomi dan investasi. BRICS menyediakan platform bagi negara anggotanya untuk mengembangkan kerja sama ekonomi, termasuk perdagangan, investasi, dan proyek pembangunan. Melalui lembaga seperti New Development Bank (NDB), negara anggota dapat mengakses pendanaan untuk proyek infrastruktur dan pembangunan tanpa ketergantungan pada institusi keuangan barat seperti Bank Dunia atau IMF.
Penguatan posisi di arena internasional. Negara-negara BRICS dapat memanfaatkan kekuatan kolektif mereka untuk menyeimbangkan pengaruh negara-negara maju dalam politik global dan keuangan internasional. Misalnya, BRICS sering mendorong reformasi dalam institusi seperti IMF agar lebih inklusif terhadap kepentingan negara berkembang.
Buka Akses Pasar
Keuntungan lainnya, adalah inovasi dan teknologi. Negara-negara BRICS sering bekerja sama dalam bidang riset dan inovasi. Misalnya, kerja sama dalam proyek kesehatan, teknologi, dan energi dapat memberikan akses pada pengetahuan dan teknologi baru yang mungkin tidak tersedia secara lokal.
Kelompok ini juga memiliki pasar yang lebih luas. Bergabung dalam BRICS membuka akses ke pasar negara berkembang lainnya, memungkinkan peningkatan ekspor dan perdagangan antarnegara anggota. Dengan populasi besar dan pertumbuhan konsumsi di negara-negara BRICS, ini menjadi peluang besar untuk ekspansi bisnis.
BRICS adalah kelompok negara berkembang yang fokus pada kerja sama ekonomi dan politik di antara negara-negara berkembang dengan tujuan mengurangi ketergantungan pada negara maju, sementara OECD adalah organisasi yang anggotanya didominasi negara maju dan fokus pada analisis kebijakan dan peningkatan kerja sama ekonomi global.
BRICS beranggotakan lima negara, yaitu Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kelompok ini dibentuk untuk menciptakan kerja sama ekonomi di antara negara-negara berkembang yang memiliki pengaruh signifikan dalam ekonomi global. BRICS terdiri dari negara-negara yang memiliki potensi ekonomi besar tetapi berbeda dari negara-negara maju.
Sementara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) merupakan organisasi internasional yang beranggotakan 38 negara, sebagian besar negara maju dari Amerika Utara, Eropa, dan Asia Pasifik. OECD dibentuk pada tahun 1961 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, perdagangan bebas, dan stabilitas keuangan di antara negara-negara anggota yang cenderung lebih maju secara ekonomi.
Tujuan utama keduanya juga berbeda. BRICS lebih fokus pada kerja sama ekonomi dan politik antar negara-negara berkembang, khususnya dalam melawan dominasi negara-negara maju dalam sistem keuangan global. Mereka juga berusaha untuk menciptakan sistem alternatif, seperti New Development Bank (NDB), untuk mendukung proyek-proyek pembangunan di negara berkembang.
Sementara OECD memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kerja sama antar negara anggota dalam bidang ekonomi, perdagangan, pendidikan, serta kebijakan sosial dan lingkungan. OECD juga berfungsi sebagai forum untuk membahas dan mengembangkan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan stabilitas sosial.
Lewat BRICS, kata Sugiono, Indonesia ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang (Global South). "Kita lihat BRICS dapat menjadi kendaraan yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama Global South," kata Menlu Sugiono.
"Namun kita juga melanjutkan keterlibatan atau engagement kita di forum-forum lain, sekaligus juga terus melanjutkan diskusi dengan negara maju."
Contoh konkret keberlanjutan sebut Sugiono antara lain, "Bulan depan bapak presiden akan ikuti KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil, sementara saya juga diundang menghadiri pertemuan tingkat Menlu kelompok negara maju G7 expanded session di Fiuggi, Italia. Hal ini menegaskan peran penting Indonesia sebagai bridge builder atau jembatan antara negara berkembang dan negara maju."
Lantas, bagaimana pengamat membaca situasi tersebut?
"Jadi, dari segi timing sebenarnya Indonesia memastikan bahwa kita tidak ketinggalan kereta terlalu jauh dengan segala yang berkembang di BRICS. BRICS itu dianggapnya sebagai opsi lain. Pak Prabowo itu pola pikirnya, kalau saya lihat sejauh ini, tidak mau ditutup kemungkinannya, tidak mau ditutup peluangnya, tidak mau ditutup jalannya. Jadi, bagi beliau itu punya beberapa opsi jauh lebih baik daripada hanya kerja sama dengan pihak Barat," ujar pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja seperti dikutip Liputan6.com, Jumat (25/10).
BRICS adalah kelompok informal yang awalnya beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Kelompok ini pertama kali diinisiasi pada tahun 2006 untuk membahas isu-isu terkini global. Keanggotaannya diperluas pada tahun 2023 dengan bergabungnya Ethiopia, Iran, Mesir, dan Uni Emirat Arab.
"Dari sisi perbandingan dengan negara-negara lain, sebenarnya momen sekarang itu memang belum ada negara yang terlalu commit pada satu organisasi. Bahkan, yang sudah lama hidup dalam organisasi, seperti di Uni Eropa atau bahkan di ASEAN sekalipun, itu sudah mulai lirik-lirik mencari kemungkinan jalan yang lebih baik, situasi keuntungan yang lebih baik, coba juga join ke perkumpulan yang lain. Jadi, ini sedang dalam proses pembentukan era baru di tingkat global, di mana negara-negara dunia itu sedang dalam proses pembentukan grup-grup baru," tutur Dinna.
"Memang kalau ditengok lagi, selama lima tahun terakhir, bahkan 10 tahun terakhir, keadaan yang hari ini bukan tiba-tiba muncul. Namun, lahir dari satu situasi internasional, di mana organisasi-organisasi yang ada itu tidak bisa menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan buat semua negara. Jadi, ada negara-negara yang terpinggirkan dan di situlah akhirnya kumpul negara-negara BRICS. Kemudian, negara BRICS juga merepresentasikan negara-negara yang kalau tidak disukai oleh Barat maka mereka akan menemukan jalan sulit, dikunci jalannya, ditutup jalannya. Dengan mereka punya jalan alternatif bersama-sama maka ada solusinya."
Dinna lebih lanjut menggarisbawahi hubungan Indonesia dengan Eropa maupun Amerika Serikat (AS) secara ekonomi belum mengalami perkembangan yang cukup menguntungkan. "Prospeknya itu belum kelihatan baik. Sejumlah hal justru kita malah mengalami kebuntuan negosiasi, seperti contohnya Indonesia-EU CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement). Dan dengan AS, kita juga belum jelas komitmen AS dari segi ekonomi, perdagangan, itu akan seperti apa," ujar Dinna.
"Keterlibatan di BRICS ini bukan melulu soal perdagangan dan ekonomi atau investasi saja sih sebenarnya, namun buat negara yang situasinya sangat penting untuk terus berkembang secara ekonomi, seperti Indonesia, itu menjadi salah satu faktor yang tidak bisa dinafikan."
Pengamat Hubungan Internasional Teuku Rezasyah menandai potensi yang mesti diwaspadai Indonesia bila bergabung dengan BRICS. "Barat berpotensi menekan secara tidak langsung, antara lain di sektor investasi dan akses menuju pasar mereka," ungkap Rezasyah kepada Liputan6.com pada Jumat.
Di lain sisi, Rezasyah menyebut peluang percepatan dalam mengisi unsur kerja sama strategis yang selama ini tertunda dapat menjadi potensi keuntungan keanggotaan Indonesia di BRICS. bari/mohar/fba
NERACA Jakarta -Guna menjaga daya beli masyarakat dan stimulus ekonomi, pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo bakal memberikan…
Jakarta-Indonesia dan China memperkuat kerja sama. Hal ini ditunjukkan dengan penandatangan empat nota kesepakatan (Memorandum of Understanding-MoU) dan delapan…
Jakarta- Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memperkirakan jumlah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mencapai 280…
NERACA Jakarta -Guna menjaga daya beli masyarakat dan stimulus ekonomi, pemerintah melalui Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo bakal memberikan…
Jakarta-Indonesia dan China memperkuat kerja sama. Hal ini ditunjukkan dengan penandatangan empat nota kesepakatan (Memorandum of Understanding-MoU) dan delapan…
Jakarta- Dewan Pengawas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memperkirakan jumlah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akan mencapai 280…