Pelabuhan Umum

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Yang dimaksud dengan pelabuhan umum sebenarnya adalah fasilitas tambat-labuh kapal dan bongkar-muat barang yang kita semua sudah mafhum adanya. Namun, dalam konteks yang lebih spesifik, pelabuhan umum dapat dimaknai sebagai tempat pelayanan kapal maupun kargo nonpeti-kemas. Wujud konkretnya bisa berupa sebuah kawasan pelabuhan maupun hanya secarik terminal di dalam area pelabuhan.

Adapun kargo/barang yang dilayani di pelabuhan umum, seterusnya akan disebut sebagai pelabuhan atau terminal nonpeti-kemas, biasanya terdiri dari curah kering –semen, pupuk, batu bara, beras, biji jagung, dll– dan curah cair yang meliputi CPO, BBM, dsb. Termasuk juga komoditas yang menggunakan kemasan karung atau bag, acap juga disebut general cargo. Last but not least, pelabuhan nonpeti kemas juga melayani kendaraan atau otomotif, dikenal dengan istilah neo bulk cargo (Talley, 2018).

Bisnis pelabuhan umum di Indonesia ditandai dengan banyaknya pemain sehingga sampai derajat tertentu sektor ini muncul situasi yang tumpang tindih. Dari catatan yang ada, saat ini terdapat lebih dari 2.370 pelabuhan umum di Nusantara. Fasilitas ini dioperatori oleh berbagai entitas bisnis; ada BUMN kepelabuhanan, ada badan usaha swasta yang bergerak di bidang pertambangan, energi, pertanian/kehutanan dan lain sebagainya. Pelabuhan atau terminal yang dijalankan oleh entitas selain perusahaan pelat merah pelabuhan (baca: Pelindo) dikenal dengan istilah terminal untuk kepentingan sendiri atau TUKS dan terminal khusus alias Tersus. Tidak ada perbedaan kasta antara perusahaan BUMN dan swasta dalam bisnis pelabuhan, semuanya diperlakukan sama oleh UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Disebut tumpang tindih karena untuk komoditas atau kargo bertipe dry bulk, liquid, dstnya, pelayanan bongkar-muatnya sejatinya dapat dilakukan di terminal/pelabuhan yang sudah dibangun terlebih dahulu namun pemilik komoditas (cargo owner) malah membangun fasilitas tersendiri untuk itu. Celakanya, lokasinya tidak terlalu jauh atau berdekatan dengan pelabuhan eksisting. Karena dioperasikan oleh pemilik barang yang bisnis intinya pertambangan, perkebunan, atau lainnya selain sektor pelabuhan, jelas tata kelolanya sedikit di bawah pelabuhan eksisting yang sudah berpengalaman puluhan tahun dan kini diperkuat dengan sistem operasi berbasis TI yang cukup handal.

Situasi tadi melahirkan overcapacity yang pada giliran selanjutnya bisa mendegradasi kondisi kesehatan bisnis secara keseluruhan. Pukulan terberat jelas amat dirasakan oleh operator pelabuhan eksisting, dalam hal ini Pelindo. Memang jumlah pelabuhan umum yang berada dalam kendali operasional mereka tidak banyak. Dari 2.370 pelabuhan yang ada, Pelindo hanya mengelola 74. Seusai penggabungan Pelindo I, II, III dan IV ke dalam Pelindo, 35 di antaranya di bawah manajemen Subholding Pelindo Multi Terminal (SPMT), anak usaha grup Pelindo yang membidangi bisnis nonpeti kemas. Dalam beberapa kali pertemuan empat mata dengan Ari Henryanto, direktur utama SPMT, terungkap bahwa keberadaan TUKS dan Tersus menghadirkan peluang sekaligus ancaman pada saat yang bersamaan.

Keberadaan pelabuhan/terminal yang dikelola mitra tersebut, urai Ari, menjadi peluang bagi SPMT untuk menawarkan berbagai sistem TI yang saat ini diimplementasikan di berbagai pelabuhan yang dikelola korporasi di seluruh Indonesia. Sehingga, mutu pelayanan TUKS dan Tersus menjadi reliable, efisien dan transparan karenanya. Hal ini pada akhirnya dapat mendongkrak citra pelabuhan nasional di mata penggunanya, baik di dalam maupun luar negeri. Sementara ia menjadi ancaman, terutamanya bagi SPMT sebagai market leader dalam bisnis pelabuhan umum, karena akan memicu overcapacity.

Overcapacity pelabuhan umum sebetulnya sudah terjadi dan makin dalam kondisinya dengan adanya kebijakan obral izin badan usaha Pelabuhan (BUP) oleh Kementerian Perhubungan. Hal yang sama juga berlaku dalam bisnis terminal peti kemas dalam negeri. Hampir setiap jengkal pantai di Pulau Jawa hari ini ada terminal peti kemasnya sementara kargonya relatif kecil. Jadi, bisa jadi benar bisnis pelabuhan umum di Indonesia memang prospektif hanya saja untuk mewujudkannya bukanlah sesuatu yang mudah.

BERITA TERKAIT

Kebijakan Pro-Industri

Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…

Survei Global Fourishing Harvard

Oleh: Pande K. Trimayuni  Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI   Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…

Kopdes Merah Putih Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sosialisasi program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih kini mulai gencar disosialisasikan ke berbagai daerah…

BERITA LAINNYA DI

Kebijakan Pro-Industri

Oleh: Febri Hendri Antoni Arief Juru Bicara Kementerian Perindustrian Kondisi industri manufaktur di dalam negeri terbukti menghadapi pukulan berat dari…

Survei Global Fourishing Harvard

Oleh: Pande K. Trimayuni  Ketua Forum Komunikasi Alumni (FOKAL) UI   Barusan saya membaca kiriman artikel di sebuah WA group…

Kopdes Merah Putih Syariah

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Sosialisasi program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih kini mulai gencar disosialisasikan ke berbagai daerah…

Berita Terpopuler