CPPI 2023

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Plabuhan utama di Indonesia, Tanjung Priok, berhasil menempati posisi ke-23 di dunia dalam Container Port Performance Index (CPPI) versi 2023. Sebelumnya, di tahun 2022, pelabuhan tersebut berada di peringkat 281. Yang mengeluarkan klasemen merupakan lembaga internasional: Bank Dunia. CPPI merupakan indeks baru yang diperkenalkan kepada publik transportasi internasional pada 2021 di mana edisi pertamanya dirilis 2022. Tidak seperti produk Bank Dunia lainnya, Logistics Performance Index (LPI), yang sudah diintroduksi sejak 2010 dan dipublikasikan setiap dua tahun sekali.

Hanya pada tahun 2020 LPI tidak dirilis karena Covid-19 sedang bersimaharajalela. Pada 2018 kita bercokol di posisi ke-45. Kontras sekali dibanding beberapa negara yang mengalami perbaikan performa seperti Filipina yang naik 17 peringkat (dari 60 ke 43), Malaysia yang naik 11 peringkat (dari 41 ke 30), India yang tercatat naik 6 peringkat (dari 44 ke 38), serta Singapura yang naik 6 peringkat (dari 7 ke 1).

Data LPI dihimpun dari sekitar 600 lebih profesional logistik yang ditanyai soalan “negara paling penting manakah yang menjadi destinasi ekspor”. Dari responden sebanyak itu, hanya sekitar 80 orang lebih yang berasal dari kawasan Asia Timur dan Pasifik. Pertanyaan utama itu kemudian diikuti dengan berbagai turunannya yang pada ujungnya terbentuklah indeks yang selalu menjadi headline dalam media massa nasional tersebut. Di sisi lain, Container Port Performance Index (CPPI) lumayan bertolak belakang dengan LPI, atau kontradiktif, kata pakar kepelabuhan/logistik internasional. Menurut Daniel van Tuijl, sang pakar yang sering di-hired oleh Bank Dunia untuk melakukan studi-studi perlogistikan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, ada beberapa hal yang bisa dicatat dari CPPI.

Pertama, pencatatan CPPI dimulai saat kapal sandar atau anchorage di sebuah pelabuhan dan berhenti manakala kapal meninggalkan pelabuhan, dalam hal ini pelabuhan/terminal peti kemas. Sekadar perbandingan, LPI memulai pencatatannya tatkala peti kemas dibongkar dari kapal dan setop saat kotak baja itu meninggalkan area penumpukan atau terminal. Waktu pemrosesan peti kemas dari awal hingga akhir dikenal dengan istilah dwelling time. Dalam kalimat lain, CPPI lebih fokus kepada kapal sementara LPI bekonsentrasi terhadap muatan atau kontainer yang diangkut kapal.

Kedua, CPPI bertujuan mengetahui performansi pelabuhan, khususnya turn round time-nya, yaitu waktu kedatangan kapal berlabuh jangkar di dermaga serta waktu keberangkatan kapal setelah melakukan kegiatan bongkar muat barang. Hanya saja, dalam indeks ini hanya sepuluh besar pelayaran dunia saja yang dipantau via automated identification system (AIS) yang dipasang di atas kapal mereka. Sementara data LPI dikumpulkan melalui wawancara dengan responden. Boleh dibilang, data CPPI amat sangat faktual sedangkan data LPI bercorak persepsi atau subyektif.

Ada pula beberapa poin kritik terhadap CPPI. Misalnya, tidak menilai kemampuan sebuah pelabuhan dalam menggunakan dan mengalokasikan sumberdayanya secara ekonomis dan efisien. Sebaliknya, ia sangat terfokus kepada aspek teknis (perairan pelabuhan dan kinerja dermaga) dalam melayani kapal-kapal dari sepuluh perusahaan pelayaran yang menjadi obyek amatan.

CPPI 2022 mencatat, hanya 834 call di pelabuhan Tanjung Priok padahal ada lebih 8.000 kunjungan kapal setiap tahunnya di fasilitas ini. Terkait sepuluh global liner yang dimonitor, hampir sebagian besar di antaranya tidak sesuai dengan sepuluh pelayaran yang sandar di Tanjung Priok. Adapun dalam CPPI 2023 jumlah call sebanyak 879 yang berarti hanya sebagian kecil dari pelayaran internasional yang menyediakan data mereka.

Lainnya, kepentingan para pemilik kargo atau shipper tidak diperhatikan sama sekali dalam CPPI; apakah pelayanan kepada peti kemas mereka sudah dilakukan dengan baik. Yang juga luput, sisi transportasi darat dan daerah belakang/hinterland yang acapkali menjadi pemicu kongesti di pelabuhan. Last but not least, CPPI meranking pelabuhan ketimbang terminal (peti kemas) dan pada saat bersamaan juga fokus terhadap dermaga dan perairan pelabuhan dan karenanya agak sulit untuk menginterpretasikan hasil perankingan maupun penyusunan strategi operasional yang baik dan rekomendasi.

Yang jelas, investasi dalam sektor kepelabuhanan tetap saja masif. (Karena memang nature-nya ia capital intensive). Pada akhirnya semua terpulang kepada investor itu sendiri: apakah dia akan membenamkan uangnya untuk membuka rute pelayaran baru, misalnya. Bisa pula ditanamkan ke dalam Pembangunan terminal kontainer baru. Singkat cerita, untuk siapa sesungguhnya Container Port Performance Index? Lagi, tidak jelas.

BERITA TERKAIT

Ide Ngawur

   Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi kembali melontarkan gagasan kontroversial dalam…

Potensi Ekonomi Haji & Umroh

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pada 2 Mei 2025 adalah kloter pertama pemberangkatan haji Indonesia ke Tanah Suci. Dimana…

Prospek Perbankan 2025

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro,  MSi Dosen Pascasarjana  Universitas Muhammadiyah Solo   Kinerja perekonomian nasional tidak bisa terlepas dari…

BERITA LAINNYA DI

Ide Ngawur

   Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi kembali melontarkan gagasan kontroversial dalam…

Potensi Ekonomi Haji & Umroh

Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah Pada 2 Mei 2025 adalah kloter pertama pemberangkatan haji Indonesia ke Tanah Suci. Dimana…

Prospek Perbankan 2025

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro,  MSi Dosen Pascasarjana  Universitas Muhammadiyah Solo   Kinerja perekonomian nasional tidak bisa terlepas dari…