Kerja, Kerja, Kerja

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Kerja setahun dengan perolehan bonus, gaji ke-13 dan THR sudah dihabiskan seminggu kemarin selama lebaran dan kini tiba saatnya untuk kembali ke perantauan dan pastinya dengan semangat kerja, kerja, kerja untuk kembali memupuk pundi-pundi pendapatan di perantauan selama setahun mendatang untuk kembali dibawa ke tanah asal pada lebaran mendatang. Pastinya ada banyak keluh kesah dan jerih payah yang tiada terkira dan pasti itu semua tidak bisa terlepas dari tuntutan kerja keras, termasuk juga kerja cerdas.

Fakta ini tidak bisa terlepas dari realitas persaingan hidup yang semakin ketat dan tentunya hal ini juga menuntut adanya kesiapan dan kesigapan. Bahkan, perilaku saling menjilat dan menghujat terkadang juga harus dipraktekan dan dipertunjukan demi mengejar karir di perantauan untuk bisa tetap survive sehingga mendatangkan banyak cuan.

Fakta arus balik yang selalu lebih tinggi dibanding arus mudik sejatinya menjadi realitas tantangan yang semakin pelik dan ironisnya hal ini cenderung terjadi setiap tahun. Di era Otda yang katanya untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah ternyata juga tidak dapat memacu taraf kesejahteraan. Ironisnya yang terjadi justru semakin banyak muncul kasus korupsi di daerah, baik secara mandiri maupun berjamaah, termasuk juga kian merebak dinasti politik dan politik dinasti di daerah.

Hal ini menjadi pembenar terkait hipotesis keberagaman raja-raja kecil di daerah. Praktik culas yang ditampilkan melalui dinasti itu sendiri sejatinya mencederai demokrasi, sementara era reformasi sejak 1998 dimaknai untuk mereduksi praktek KKN di semua lini birokrasi dan demokrasi.

Dualisme dibalik arus mudik, balik dan era Otda menjadi catatan penting terkait tujuan di balik pelaksanaan pembangunan. Secara harfiah tujuan pembangunan adalah mereduksi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan. Ironisnya, kemiskinan seolah menjadi nilai penting dalam balutan bansos demi kepentingan sesaat.

Oleh karena itu, menjadi benar adanya jika kemudian muncul kritikan bahwa kemiskinan sengaja dipertahankan sebagai bagian dari strategi kemenangan dan pemenangan di setiap hajatan pesta demokrasi. Hal ini tidak lain berkaitan dengan kepentingan mencuri suara berdalih kepedulian rakyat di daerah, terutama di kantong-kantong kemiskinan.

Ketimpangan dibalik gagalnya pembangunan menjadi celah untuk terciptanya gap yang kemudian berdampak sistemik terhadap kemiskinan di sejumlah daerah, terutama untuk kasus di daerah pinggiran, pedesaan dan daerah terpencil. Imbasnya, masyarakat yang di daerah tersebut akhirnya melakukan migrasi ke perkotaan untuk melakukan perubahan dan perbaikan hidup melalui kegiatan perantauan.

Migrasi sebagai bagian keperilakuan perantauan menjadi celah untuk memicu konflik horizontal, terutama antara pendatang vs warga asli. Jadi jika para perantau merasa berhasil di perantauan sementara warga asli kalah bersaing maka akan muncul kesenjangan dan akhirnya berdampak sistemik untuk memicu riak konflik sosial. Kasus ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di berbagai perkotaan daerah tujuan perantauan.

Konflik horizontal itu bukan hanya karena rebutan kue ekonomi tapi juga lahan sebagai bagian dari kebutuhan perumahan dan permukiman. Betapa tidak, semakin banyak terjadi arus balik tentu berdampak sistemik terhadap kebutuhan perumahan dan permukiman di perkotaan yang kemudian mereduksi dan memarginalkan warga aslinya. Secara perlahan tapi pasti akhirnya akan terjadi riak konflik horizontal. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah seharusnya bisa mereduksi arus mudik dan juga balik dengan memakmurkan daerah melalui otda, termasuk alokasi dana desa. Memang tidak mudah karena besaran kue pembangunan terlanjur mekar di perkotaan dan pastinya menarik laron-laron kota di perantauan untuk memperebutkannya.

Terkait ini bahwa data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mempersiapkan 33.369 sarpras mudik – balik meliputi 30.780 unit bus (113 terminal), 213 unit kapal (8 lintas, 16 pelabuhan, dan 50 dermaga), 420 unit pesawat (51 bandar udara domestik dan 16 bandar udara internasional), 26 kapal penumpang, 107 kapal perintis, 1.208 kapal swasta dan 264 pelabuhan, serta 615 kereta api antar kota per hari dan 192 stasiun. Selamat datang di perkotaan dan perantauan yang pastinya harus selaras dengan etos kerja, kerja, kerja agar bisa mudik di lebaran tahun 2025 nanti.

BERITA TERKAIT

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…

BERITA LAINNYA DI Opini

Putusan MK Mengikat dan Final, Semua Pihak Harus Lapang Dada

  Oleh : Arizka Dwi, Pemerhati Sosial Politik   Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyelesaikan sidang sengketa hasil pemilihan presiden dan…

Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global

  Pengantar: Sebuah diskusi publik kalangan ekonom perempuan yang diselenggarakan Indef yang berlangsung di Jakarta, belum lama ini, menampilkan Pembicara:…

Ketahanan Ekonomi Indonesia Solid Tak Terdampak Konflik di Timur Tengah

    Oleh: Eva Kalyna Audrey, Analis Geopolitik   Kalangan pakar mengungkapkan bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sangat solid dan bahkan…