BPOM Sita 188.640 Item Produk Pangan Ilegal Selama Ramadhan

NERACA

Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyita 188.640 item produk pangan tidak memenuhi syarat keamanan dan mutu yang beredar di pasaran selama periode Ramadhan 1445 H/2024 M.

"Jumlah total temuan pangan tidak memenuhi syarat keamanan dan mutu sebanyak 188.640 item, yang diperkirakan bernilai lebih dari Rp2,2 miliar,” kata Plt Kepala BPOM Rizka Andalusia dalam konferensi pers di Gedung BPOM RI Jakarta, Senin (1/4).

Ia mengatakan pengawasan dilakukan 76 petugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM yang menyasar 2.208 sarana, terdiri atas 920 sarana ritel modern, 867 sarana ritel tradisional, 386 gudang distributor, 28 gudang importir, dan tujuh gudang e-commerce sejak 4 Maret 2024.

"Kegiatan akan terus dilanjutkan hingga sepekan setelah Idul Fitri," katanya.

Kegiatan pengawasan tersebut berfokus pada produk pangan olahan terkemas yang tidak memenuhi ketentuan (TMK), yaitu tanpa izin edar (TIE)/ilegal, kedaluwarsa, rusak, dan pangan takjil buka puasa yang mengandung bahan dilarang.

“Dari hasil pemeriksaan, kami menemukan 628 sarana atau 28,44 persen yang menjual produk TMK berupa pangan TIE, kedaluwarsa, dan rusak," katanya.

Rizka mengatakan hasil pengawasan memperlihatkan hasil yang positif, yaitu terjadinya penurunan jumlah sarana TMK sebesar 13,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 723 sarana.

Jenis temuan pangan terbesar merupakan pangan TIE sebesar 49,03 persen. Produk ini banyak ditemukan di wilayah kerja UPT Tarakan Kalimantan Utara, Pekanbaru, Palopo Sulawesi Selatan, Banda Aceh, dan DKI Jakarta.

Produk TIE ini berupa cokelat olahan, bumbu, permen, minuman serbuk, dan biskuit. Kemudian temuan pangan kedaluwarsa sebesar 31,89 persen di wilayah kerja UPT Manado Sulawesi Utara, Palopo Sulawesi Selatan, Belu, Kupang, dan Ende Nusa Tenggara Timur.

Produk kedaluwarsa berupa jeli, puding, minuman serbuk, bumbu, bahan tambahan pangan (BTP), dan mi atau pasta.

Sementara untuk temuan pangan rusak sebesar 19,09 persen banyak ditemukan di wilayah kerja UPT Semarang (Jawa Tengah), Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Belu (NTT), Sofifi (Maluku Utara), dan Palopo (Sulawesi Selatan).

Produk pangan rusak ini berupa ikan olahan dalam kaleng, mi, produk kental manis, susu ultra high temperature (UHT).

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan sebanyak 9.262 sampel pangan olahan untuk menu takjil yang beredar di pasaran selama Ramadhan 1445 Hijriah/2024 terdeteksi mengandung sejumlah senyawa kimia yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen.

"Penjual takjil sangat banyak. Beberapa ada yang berpotensi bahaya pada pangan siap saji, misalnya pewarna Rhodamin B, formalin agar tidak mudah basi atau rusak, terutama pangan mengandung banyak air seperti agar-agar dan mi," kata Rizka.

Rizka memaparkan data pengawasan takjil yang digelar serentak di seluruh kantor cabang BPOM di daerah melibatkan 3.749 pedagang takjil di 1.057 titik lokasi pengawasan.

Hasilnya, kata dia, dari total 9.262 sampel yang diperiksa, 48,04 persen mengandung formalin pada sampel mi kuning, teri, tahu, cincau, agar-agar, cumi, ikan peda, dan terasi.

Sebanyak 25,49 persen mengandung Rhodamin B pada produk takjil cendol, mutiara, kerupuk pasir, jeli merah, jenang merah, pacar cina, dan mi pelangi.

Kemudian sekitar 27,45 persen jajanan takjil diketahui mengandung boraks berdasarkan pemeriksaan pada sampel kerupuk, cao, cendol, cilok, otak-otak, sate usus, kerang, udang, tahu, dan teri. Sedangkan 0,98 persen diketahui mengandung kuning Metanil pada produk tahu oranye.

Rizka mengatakan senyawa boraks umumnya disalahgunakan oknum pedagang pada produk pangan bertekstur kenyal seperti bakso dan cendol. Sedangkan pewarna kuning umumnya terjadi pada tahu.

"Senyawa ini bukan yang aman untuk dikonsumsi. Senyawa ini digunakan untuk pewarna tekstil bukan untuk pangan. Formalin bahkan untuk pengawet jenazah, bisa dibayangkan dampaknya pada manusia," katanya.

Dampak dari mengonsumsi pangan mengandung zat kimia berbahaya, kata Rizka, bisa berkategori ringan hingga berat.

"Kalau berat karsinogenik atau bisa menyebabkan kanker. Kalau ringan, biasanya mual, muntah, dan pusing, seperti keracunan pada umumnya," kata Rizka. Ant

 

 

BERITA TERKAIT

Golden Visa Semakin Pertegas Posisi Strategis Indonesia - Menkumham:

NERACA Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly mengatakan bahwa Golden Visa yang resmi…

Polri Tekankan Pentingnya Upaya Kontra Radikal - Cegah Radikalisme

NERACA Jakarta - Polri menekankan pentingnya upaya kontra radikal guna mencegah penyebaran paham yang berpotensi memberikan ruang berkembangnya radikalisme. Hal…

Kejagung Raih Opini WTP ke-8 Secara Berturut-turut

NERACA Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI ke-8 kali secara berturut-turut atas…

BERITA LAINNYA DI Hukum Bisnis

Golden Visa Semakin Pertegas Posisi Strategis Indonesia - Menkumham:

NERACA Jakarta - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly mengatakan bahwa Golden Visa yang resmi…

Polri Tekankan Pentingnya Upaya Kontra Radikal - Cegah Radikalisme

NERACA Jakarta - Polri menekankan pentingnya upaya kontra radikal guna mencegah penyebaran paham yang berpotensi memberikan ruang berkembangnya radikalisme. Hal…

Kejagung Raih Opini WTP ke-8 Secara Berturut-turut

NERACA Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI ke-8 kali secara berturut-turut atas…