LP3ES dan Universitas Paramadina menyelenggarakan diskusi bertema etika dan politik kenegaraan pada Selasa (16/1) dengan para Pembicara: Hamid Basyaib (Aktivis), Titi Anggraini (Dewan Pembina Perludem), Sidratahta Mukhtar (Dosen PTIK/Pengamat Militer) dipandu Moderator: Swari Utami Dewi (Pegiat Sosial dan Lingkungan, Alumni Sekolah Demokrasi LP3ES). Berikut resume diskusi oleh Prof Dr Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina sebagai berikut:
Tema etika menjadi sangat penting terlebih dalam konteks sekarang menjadi yang terpenting. Sebuah bangsa yang tidak mempunyai landasan etika hanya menjadi satu gerombolan. Padahal gerombolan juga mempunyai “etika”nya sendiri.
Bangsa Yahudi Israel di dunia saja sekarang ini banyak yang mengecam tindakan brutal dari zionisme Israel yang membalas dengan berlebihan terhadap Hamas dan warga Gaza. Kaum Yahudi dunia menjadi begitu perduli karena takut jika pemerintahan Netanyahu dibiarkan begitu keji dan bengis, maka ke depan landasan etika negara yahudi akan hancur. Bangunan etika negara Israel pelan-pelan akan tergerogoti habis dan tidak dipandang tidak lagi punya hak moral.
Dalam contoh masalah etika yang paling dekat, adalah ketika pengesahan cawapres 02 Gibran yang cacat namun dianggap sah, maka nanti para pendukungnya tidak lagi punya hak moral untuk mengatakan hal-hal ideal tentang Indonesia ke depan. Apalagi bicara tentang generasi emas Indonesia, yang menjadi tidak bemakna apa-apa. Hal itu karena sudah dicemari oleh tindakan anti hukum, anti etika yang benar-benar telanjang.
Barisan panjang rakyat Indonesia yang bukan pendukung paslon cacat moral harus ikut bersuara, karena negara ini bukan milik kaum yang tidak menghormati hukum dan cacat etika, khususnya Joko Widodo dan keluarga serta kroninya. Indonesia adalah milik seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai hak moral berbicara kebenaran dan etika hukum.
Indonesia masih memiliki peluang untuk menegakkan etika dan hukum dengan mengambil pelajaran dari para founding father dulu yang menjalankan proses politik bernegara dengan penuh etika dan ketaatan terhadap hukum, Meski tidak semua.
Masalahnya, apakah para pelaku politik terkini di Indonesia mengerti sejarah etika itu. Misalnya biografi bung Hatta, Syahrir, Soekarno dan tokoh lain. Di mana kehidupan perpolitikannya amat jauh dari kepentingan pribadi dan keluarganya.
Bisa dibayangkan jika betapa luhurnya perilaku politik dan sosial para founding father dulu amat berbeda jauh dengan para pejabat sekarang. Meski bandingannya hanya selevel anak bupati/walikota di daerah yang dengan mudah dapat mengangkangi hukum dan nir etika.
Indeks Demokrasi
Data the Economist Intelligent Unit (EIU) dalam menilai indeks demokrasi di Indonesia tahun 2022 mempunyai score 6,71. Di dunia berada pada posisi 54, di regional ASEAN pada peringkat 10 dan masih dikategorikan sebagai negara demokrasi yang tidak sempurna atau cacat (Flawed Democracy).
Paling lemah ada di dua variabel yakni Political Culture dan Civil Lyberties. Ironisnya, Political Culture kita ada di score 4,38 dan teryata dikontribusi oleh praktik politik yang tidak bersih, tidak anti korupsi, amat pragmatis dan transaksional.
Temuan Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada 3-5 Desember 2023 menyebutkan ternyata problem kultur politik yang buruk dan soal etika kehidupan politik dan bernegara Indonesia mayoritas disumbang oleh para elit politisi. Contoh kecil dalam soal pemilu, responden ketika ditanya pihak mana yang paling potensial melakukan kecurangan, pertama Partai Politik, Kedua tim sukses capres, dan ketiga penyelenggara pemilu, dan calon presiden dan wakil presiden, Pemerintah pusat, Jokowi, Polri TNI dan lainnya.
Kecurangan yang muncul adalah pertanda dari moralitas etik yang rendah. Ada 6 (enam) sebab mengapa Problem etik demokrasi Indonesia sebagai negara demokrasi cacat punya problem pada kultur politik dan kebebasan sipil yang rendah, yakni Pertama, adanya barrier to entry ke arena kompetisi yang adil dan setara, Kedua, Melemahnya check and balances yang mengakibatkan tendensi mayoritas, di mana parlemen hanya jadi tukang stempel bagi eksekutif.
Ketiga, Kooptasi partisan pada insititusi peradilan dan lembaga-lembaga negara, Keempat, Absennya demokrasi internal partai, Kelima, Praktik politik transaksional di Pemilu berupa suap, vote buying, candidacy buying. Keenam, Lemahnya etika politik yang mengakibatkan hyper regulasi Karena semua didekati dengan “Harus ada aturan untuk patuh”. Muncul “autocratic legalism” di mana aturan dibuat untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan.
Adanya politisasi yudisial dalam dunia peradilan kita terbaca jelas dalam trajectory putusan MKMK yang penuh problem etika ketika mengabulkan gugatan syarat umur pada salah satu cawapres dalam Pemilu 2024.
Agenda Reformasi Partai Politik harus benar-benar serius dilaksanakan untuk Pertama, meletakkan kedaulatan berada di tangan anggota, bukan dibajak oleh elit atau sekelompok orang yang berada di struktur parpol. Hulunya ada di demokasi internal partai. Kedua, Harus dilakukan juga penghapusan barrier to entry, misalnya penghapusan ambang batas calon presiden. Ketiga, Memfungsionalisasi kaderisasi yang demokratis di internal partai, sehingga rekrut politik tidak menjadi karpet merah bagi petualang politik. Keempat, masa jeda politisi untuk mengisi jabatan yudisial guna menghindari politisi yudisial dan menjaga independensi peradilan. Kelima, Fungsionalisasi parpol melalui model keserentakan pemilu yang efektif.
Etika Politik
Sorotan terhadap etika politik harus didasarkan pada tiga hal Pertama, Mengapa etika itu penting, Kedua, cakupan-cakupan etika seperti apa dan Ketiga, Bagaimana proses modalita etika, dibangun dengan cara apa.
Ada satu konstruksi etika yang standar jika mengambil contoh Amerika Serikat, yakni nilai-nilai etik yang berkembang betul-betul terbangun dari protestan ethics, dan spirit of capitalism (Max Weber).
Jadi pada 100 tahun pertama Amerika menjadi sangat agamis, pada 100 tahun kedua, dia tidak lagi menyebut agamanya, tapi nilai-nilai global (hukum, demokratis, dan lain-lain) yang dia bangun kemudian menjadi nilai yang universal karena kapabilitas atau modalitas di dalam masyarakatnya dalam membangun etika betul-betul berjalan dengan baik.
Di Indonesia timpang, di mana nilai-nilai baru tidak terbangun sejak awal (nilai demokrasi) sementara masyarakat belum siap. Padahal, perangkat nilai demokrasi harus terlebih dulu terbangun dengan kuat.
Oleh :Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan transaksi judi daring (online) secara signifikan…
Oleh : Nancy Dora, Pengamat Pendidikan Pemerintah kembali menunjukkan komitmennya dalam memutus rantai kemiskinan melalui sektor pendidikan…
Oleh: Herwin Kurniawati, Penyuluh KPP Pratama Wates, DIY Musim haji telah tiba. Jamaah haji Indonesia kloter pertama sudah memasuki…
Oleh :Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan transaksi judi daring (online) secara signifikan…
Oleh : Nancy Dora, Pengamat Pendidikan Pemerintah kembali menunjukkan komitmennya dalam memutus rantai kemiskinan melalui sektor pendidikan…
Oleh: Herwin Kurniawati, Penyuluh KPP Pratama Wates, DIY Musim haji telah tiba. Jamaah haji Indonesia kloter pertama sudah memasuki…