HASIL PENELITIAN CELIOS: - Sekitar 90% Provinsi Belum Siap Transisi Energi

 

Jakarta-Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar mengungkapkan, kesiapan transisi energi di Tanah Air masih masih jauh dari kemerataan. Ada sejumlah wilayah yang sudah siap tetapi lebih banyak wilayah yang belum siap menjalankan transisi energi. "90 persen provinsi di Indonesia belum memiliki kesiapan yang memadai, yakni sekitar 70 persen (24 provinsi) berstatus sedang dan 20 persen (7 provinsi) berstatus rendah,” ujarnya di Jakarta, Senin (15/1).

NERACA

Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai kesiapan Indonesia masih rendah dalam pemanfaatan sumber-sumber energi ramah lingkungan. Ini terungkap oleh CELIOS dalam peluncuran laporan "Indeks Kesiapan Transisi Energi Indonesia,” yang merupakan hasil pengolahan data potensi desa seluruh Indonesia.

Menurut Media, belum meratanya kesiapan daerah dalam transisi energi juga bergantung pada tingkat konsumsi per kapita, signifikansi keterlibatan perempuan, dan tingkat kerentanan iklim dan energi di tiap daerah.

Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira juga mengatakan bahwa belum meratanya fasilitas pendukung ketrampilan membuat daerah sulit mandiri energi terutama ketrampilan yang berkaitan dengan operator dan instalasi energi terbarukan baik mikro-hidro, hingga tenaga surya.

Sekolah Keterampilan

Maka dari itu, dia menyarankan, Pemerintah dan swasta perlu mendorong lebih banyak lagi sekolah ketrampilan, sekolah vokasi, perguruan tinggi yang bisa mempersiapkan keahlian masyarakat dalam transisi energi.

Selain masalah ketrampilan, tren kesiapan transisi energi sejalan dengan postur anggaran pemerintah yang lebih besar, rendahnya tingkat korupsi, dan keberpihakan melalui kredit ketahanan energi.

"Menariknya dari temuan studi semakin tinggi kerentanan suatu daerah justru memiliki indeks kesiapan transisi energi yang lebih baik. Hal ini didasarkan pada pengalaman menghadapi kerugian finansial yang besar akibat bencana menjadi pembelajaran untuk lebih cepat melakukan transisi ke energi bersih,” ujar Media.

Selain itu, laporan CELIOS juga menyoroti, perempuan menjadi figur rentan dalam konteks risiko kebencanaan.  “Perempuan memiliki hubungan erat dengan sektor-sektor pekerjaan yang terdampak langsung oleh krisis iklim,” ungkap organisasi tersebut.

Keterlibatan perempuan dalam agenda transisi akan memperkaya pemahaman mendalam tentang kebutuhan energi di level rumah tangga dan komunitas.

Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Kadin Indonesia Anindya Bakrie menyebutkan potensi biodiversitas atau keanekaragaman hayati darat dan laut Indonesia sangat tinggi sehingga kita memerlukan kebijakan Green Diplomacy.

Hal itu diungkapkan dalam diskusi dengan tema Green and Blue Energy: Big Push for the Future yang digelar Komunitas Discordia. “Dalam Forum COP 28 yang saya hadiri, saya hitung nilai investasi dekarbonisasi Indonesia bisa mencapai USD 1 triliun yang sangat besar,” ujarnya, pekan lalu.

Menurut Anin, sapaan akrabnya, dana sedemikian besar tersebut seharusnya digunakan untuk hilirisasi tidak hanya untuk nikel, tetapi juga sumber daya seperti tembaga dan lain-lain sehingga bermanfaat meningkatkan nilai tambah ekonomi Indonesia. “Dan sumber-sumber energi baru tersebut kebanyakan berada di Indonesia Timur sehingga kebijakan hilirisasi akan memeratakan pembangunan kita,” tutur Anindya seperti dikutip Liputan6.com.

Selain itu, dia menyebutkan perkembangan teknologi dan kapital menyebabkan renewable energy yang sebelumnya sub scale seperti wind, geothermal, hydro pada 5-10 tahun lalu sekarang berpotensi sangat besar secara bisnis. “Oleh karena itu, kami perusahaan Bakrie yang sebagian besar sumber energinya berbahan bakar fosil, siap melakukan transisi energi menggunakan sumber daya baru dan terbarukan,” ujarnya.

Sementara itu, Chairman Discordia Khalid Zabidi menyebutkan bahwa acara ini dimaksudkan sebagai wadah alumni-alumni muda ITB untuk menyampaikan gagasan dengan cara berbeda pendapat, berselisih dan bertengkar, tentunya dengan cara adu pikiran yang baru.

“Diskusi kali ini bertema transisi energi fosil menuju green and blue energy yang potensinya berlimpah di Indonesia, kuncinya adalah proses hilirisasi yang perlu diberi dorongan kuat atau Big Push untuk mewujudkan ketahanan energi,” tutur Khalid.

Dadan mengatakan program transisi energi juga sejalan dan medukung program pemerintah yang lain. "Misalkan untuk hilirisasi yang presiden terus dorong. Perusahaan minerba mencoba untuk melalukan itu," ujarnya.

Mendorong hilirisasi di era ini sangat penting kaitannya dengan daya saing dari produk yang dihasilkan. Jika perusahaan di Indonesia tidak mampu menunjukkan produknya dihasilkan dengan cara-cara hijau (green), akan dikenalan pajak karbon yang tentu membuat harga produk semakin tinggi.

"Jadi ke depan produk akan ditanya proses energi seperti apa. Nanti ada batas maksimal sekian bisa dilewati tapi hasilkan pajak karbon sehingga barang tambah biayanya, harganya tambah. Misalkan ada barang sama keluar dari Vietnam dia sudah terapkan prinsip-prinsip ESG dan green sudah sesuai jadi tidak ditambah biayanya dengan barangnya sama. Jadi sudah tahu yang mana yang akan dipilih, ini kaitannya tadi dengan daya saing," jelas Dadan.

Transisi energi juga mendukung TKDN. Pada awalnya impor semua untuk membangin. Namun itu semata untuk menciptakan market. “Ketika market sudah terbentuk baru industri bisa dibangun,” ujarnya. Selain itu transisi energi juga mendorong pemerataan pembangunan. Dengan EBT bisa dibangun industri berbasis green.

Dadan menjelaskan di kawasan Papua misalnya yang memiliki potensi hidro terbesar tapi hingga kini belum digarap. Ini padahal bisa jadi peluang untuk bangun industri rendah emisi.

"Potensi PLTA terbesar di sana (Papua) dari dulu ada cuma belum ada yang pakai. Lalu di Marauke potensi angin besar. Kalau kita kembangkan, Papua memang untuk menuju seperti Jawa lama , karena itu dorongannya supaya ada industri di sana," ujar Dadan.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menuturkan, pihaknya memang fokus taksonomi berkelanjutan. Tujuan awalnya untuk mendukung transisi energi yang meliputi aspek upaya pengurangan energi fosil oleh perusahaan dan bertransisi menuju ke energi terbarukan.

"Ini meliputi aspek dari bagaimana pengurangan dari fosil ke energi terbarukan tapi juga termasuk sejumlah bidang atau industri yang dibuktikan mendukung dari transisi energi ini seperti yang ada dalam industri mineral critical. Ini adalah sektor-sektor dan industri utama yang akan menjadi perhatian kami,” kata Mahendra di Jakarta, Selasa (2/1).

Dia melanjutkan, dari sisi OJK dan pasar modal sebenarnya sudah dilakukan pemberian insentif bagi perusahaan-perusahaan yang masuk dalam sektor energi berkelanjutan. “Dalam hal itu memang untuk bentuk insentifnya kami kalau dari kacamata OJK dan pasar modal sudah dilakukan dan akan terus dilakukan dari segi untuk pendaftaran lebih ringan, kemudian bagaimana memberikan pengelompokan yang masuk dalam energi sektor berkelanjutan,” ujarnya.  

Dengan demikian, dia berharap agar proses pemberian insentif ini lebih lengkap dan lebih mudah proses administrasinya dengan berkoordinasi. Hal ini tentu sedang dibahas oleh OJK bersama pemerintah. "Nanti akan kami sampaikan (progres insentifnya). Sesuai dengan P2SK, selain OJK ada komite nasional berkelanjutan, ini dipimpin Kemenkeu," ujarnya. bari/mohar/fba

BERITA TERKAIT

Prabowo Tekankan Pentingnya Pengelolaan Danantara Secara Transparan

  NERACA Jakarta – Presiden Prabowo Subianto, mengungkapkan pentingnya pengelolaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan prinsip…

KEPALA BPS: STANDAR KEMISKINAN BANK DUNIA - Tidak Sesuai dengan Realitas di Indonesia

  Jakarta-Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menilai, standar yang digunakan Bank Dunia pada perhitungan angka kemiskinan itu…

Kopdes Merah Putih Akomodir Kebutuhan Dasar Masyarakat

NERACA Surabaya, Jawa Timur - Menteri Koordinator (Menko Pangan) Zulkifli Hasan (Zulhas) menyatakan koperasi desa (kopdes) merah putih akan mengakomodir…

BERITA LAINNYA DI Berita Utama

Prabowo Tekankan Pentingnya Pengelolaan Danantara Secara Transparan

  NERACA Jakarta – Presiden Prabowo Subianto, mengungkapkan pentingnya pengelolaan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan prinsip…

KEPALA BPS: STANDAR KEMISKINAN BANK DUNIA - Tidak Sesuai dengan Realitas di Indonesia

  Jakarta-Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menilai, standar yang digunakan Bank Dunia pada perhitungan angka kemiskinan itu…

Kopdes Merah Putih Akomodir Kebutuhan Dasar Masyarakat

NERACA Surabaya, Jawa Timur - Menteri Koordinator (Menko Pangan) Zulkifli Hasan (Zulhas) menyatakan koperasi desa (kopdes) merah putih akan mengakomodir…

Berita Terpopuler