Laga PPI vs IKT

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Sudah bukan rahasia lagi, antara pengelola Pelabuhan Patimban, PT Pelabuhan Patimban Internasional (PPI) dan operator terminal kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok, PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk (IKT). atau sering juga disebut IPCC, bersaing di lini usaha terminal kendaraan. Sejauh ini, pemerintah – dalam hal ini Kementerian Perhubungan – lebih mendukung perusahaan swasta tersebut dibanding cucu usaha Pelindo.

Kini pelabuhan itu sudah beroperasi penuh, terutama terminal kendaraannya. Fasilitas ini dioperasikan oleh sebuah entitas usaha bentukan perusahaan logistik Jepang, Toyota Tsusho. Toyota Tsusho sendiri merupakan anak usaha pabrik mobil Toyota. Entitas bentukannya diberi nama Patimban International Car Terminal (PICT). Ini perusahaan sepenuhnya berisi kepentingan Jepang. Perusahaan ini mendapat hak mengelola terminal kendaraan dari Pelabuhan Patimban Internasional atau PPI, pemegang konsesi atas pelabuhan tersebut.

Tidak jelas berapa setoran yang harus bayarkan oleh PICT kepada PPI untuk memperoleh hak  mengelola terminal kendaraan itu. Dengan melakukan pendelegasian pengelolaan terminal yang mereka kuasai, PPI sudah menjadi landlord. Diperkirakan model bisnis seperti ini akan diulang kembali penerapannya untuk pengelolaan terminal peti kemas dan terminal/dermaga lain yang ada dalam area pelabuhan Patimban.

Lazimnya konsesi di Indonesia, penerimanya menanggung semua biaya yang telah dikeluarkan oleh negara ketika membangun sebuah pelabuhan. Atau, biaya atas pemanfaatan aset negara untuk kepentingan usaha. Namun hal ini tidak berlaku buat PPI. Perusahaan ini tidak membayar konsesi sama sekali. Parahnya, konsesi ini selanjutnya dilimpahkan kembali oleh perusahaan itu kepada pihak ketiga.

Intervensi atau cawe-cawe Kemenhub dalam bisnis PPI tidak hanya sampai di situ. Instansi ini juga mengeluarkan sejumlah kebijakan/regulasi yang mendukung perusahaan dimaksud berikut mitranya, dalam hal ini PICT. Karenanya, bisnis terminal kendaraan di Indonesia berjalan tidak sesuai dengan mekanisme pasar. Maksudnya begini. Di samping PICT, ada pengelola terminal kendaraan lain, yaitu PT Indonesia Kendaraan Terminal atau IKT. Ambil contoh, tidak lama setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada Desember 2020, Ditjen Hubla mulai meminta dengan halus kepada perusahaan otomotif yang selama ini mengirimkan produknya – ekspor maupun antarpulau – melalui terminal kendaraan Pelabuhan Tanjung Priok agar mengalihkan pengapalannya dari dan ke Pelabuhan Patimban. Yang terkena oleh kebijakan itu adalah operator pelayaran kendaraan (car carrier) yang melayani pabrikan otomotif yang sebagian besar merupakan perusahaan pelayaran Jepang maupun afiliasinya.

Perusahaan pelayaran domestik seperti ASDP dan Pelni juga dihimbau agar mengalihkan rutenya. Tanpa berpanjang lebar, kedua perusahaan sudah mengalihkan kapal-kapal mereka ke Pelabuhan Patimban dan melayari beberapa rute tertentu seperti Panjang dan Pontianak. Sementara car carrier Jepang masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan mengikuti himbauan Ditjen Hubla agar memindahkan operasi kapalnya ke Pelabuhan Patimban. Itu dulu. Sekarang sudah berubah. Dengan hadirnya PICT di terminal kendaraan mereka sepertinya siap hengkang dari terminal IKT di Tanjung Priok. Plus, Kemenhub terus memberlakukan regulasi yang “menggergaji angin” cucu usaha Pelindo tersebut. Hal ini membuat persaingan IKT dengan Patimban menjadi tidak fair.

Padahal, biaya logistik yang ditawarkan oleh IKT sangat kompetitif. Jika sentra mobil yang ada di Sunter dan Karawang hendak mengirim barang ke Pelabuhan Patimban, ongkosnya Rp450 ribu/unit. Sementara bila dikirim dari Karawang ke Tanjung Priok biayanya Rp250 ribu/unit. Untuk alat berat yang saat ini terkonsentrasi di area Cakung-Cilincing dan Kalideres, biaya angkut ke Pelabuhan Patimban sekitar Rp5 juta hingga Rp8 juta/unit.

Selayaknya Pengguna jasa diberikan kesempatan untuk memilih mana layanan yang terbaik dan biaya yang lebih efisien. Hal ini sangat penting dalam rangka mendorong ekspor mobil yang dicanangkan oleh Pemerintah dengan ambisi 1 juta unit pertahun supaya bisa terwujud, mengejar ketertinggalan dengan Thailand yang ekspornya mencapai sekitar 1,2juta unit/tahun. Saat ini ekspor mobil Indonesia masih di sekitaran angka 500ribu unit/tahun.

Sebagian besar kegiatan bongkar-muat dilakukan oleh perusahaan bongkar-muat (PBM) yang bekerja sama dengan perusahaan pelayaran/car carrier. PBM mengenakan biaya berdasarkan tarif resmi dari IKT ditambahkan margin tertentu, hal ini juga menambah logistics cost. IKT menerima revenue dari pelayanan jasa cargo handling, penumpukan, dermaga dan kebersihan. Biaya cargo handling dan penumpukan sekitar Rp 805 ribu/kendaraan/7 hari. Tidak ada kewajiban bagi operator kapal pengangkut kendaraan untuk memakai jasa bongkar-muat IKT. Gergaji angin itu perlu dibenahi.

BERITA TERKAIT

Pembelian Hutchison Ports

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Proses akuisisi saham CK Hutchison di 43 pelabuhan atau…

Inovasi Bisnis LKMS

  Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Pengembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) seperti koperasi sebenarnya memiliki potensi yang…

Potensi Keberagaman

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo   Keberagaman kekayaan alam – budaya yang dimiliki…

BERITA LAINNYA DI

Pembelian Hutchison Ports

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Proses akuisisi saham CK Hutchison di 43 pelabuhan atau…

Inovasi Bisnis LKMS

  Oleh: Agus Yuliawan Pemerhati Ekonomi Syariah   Pengembangan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) seperti koperasi sebenarnya memiliki potensi yang…

Potensi Keberagaman

  Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo   Keberagaman kekayaan alam – budaya yang dimiliki…