Kesadaran pelaku industri mengunakan energi bersih dan ramah lingkungan terus tumbuh seiring dengan komitmen perusahaan menerapkan praktik Environment, Social, and Governance (ESG) untuk bisnis berkelanjutan. Apalagi, penerapan ESG sudah menjadi norma bagi sektor industri, termasuk yang bergerak pada pengembangan energi baru terbarukan.
Oleh karena itu, penggunaan atau menghasilkan energi bersih bukan lagi sekedar tren kekinian tetap menjadi kebutuhan untuk selamatkan bumi dan juga dampaknya mampu menekan efisiensi bisnis. Bicara energi tidak hanya dinikmati hari ini tetapi juga untuk anak cucu kedepannya, maka tak heran investasi teknologi di sektor energi ramah lingkungan tidaklah kecil.
Berangkat dari hal tersebut, PT Perusahaan Listrik Negara (Perseroan) mempunyai perhatian besar dalam menggunakan teknologi ramah lingkungan di era transisi energi dari energi berbasis fosil ke sumber energi non fosil yang lebih bersih atau lebih dikenal sebagai energi baru terbarukan untuk memasok kebutuhan listrik pada masyarakat dan juga pelaku industri.
Apalagi, perseroan memegang peranan penting bagi kesuksesan Indonesia dalam mencapai Net Zero Emissions (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat. Menjadi lokomotif transisi energi di Indonesia, PLN terus mengakselerasi transisi energi di setiap proyek pembangkit tenaga listrik dengan berbagai inovasi seperti pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan teknologi co firing berupa pemanfaatan biomassadari serbuk kayu, serpihan kayu, cangkang sawit, sekam padi, tempurung kelapa, dan limbah pertanian serta kehutanan lainnya sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam pembuat uap air panas.
Salah satu keunggulan implementasi co-firing adalah, tidak ada tambahan biaya investasi untuk peralatan khusus. Untuk campuran biomassa sebanyak maksimum 5%, tidak diperlukan modifikasi pembuat uap air panas. Co-firing akan mengurangi emisi sulfur dioksida karena biomassa kayu mengandung sulfur yang jauh lebih sedikit daripada batubara.
Kata analis kebijakan ahli madya Sekjen Dewan Energi Nasional, Fitri Astuti Firman, mengimplementasikan teknologi co-firing salah satu strategi jitu dalam penyediaan energi yang lebih bersih untuk mendukung transisi energi. “Teknologi co-firing merupakan salah satu solusi menuju karbon netral bagi negara-negara yang masih mempunyai PLTU. Selain sebagai salah satu alternatif solusi untuk pemanfaatan PLTU yang lebih ramah lingkungan, strategi untuk mengimplementasikan teknologi co-firing juga memberikan dampak ekonomi yang positif,”ujarnya.
Teknologi co-firing, lanjutnya, memberikan peluang untuk negara-negara berkembang yang berbasis industri pertanian dan kehutanan untuk memanfaatkan potensi ekonominya secara optimal melalui pendekatan ekonomi sirkular. Melalui pendekatan ekonomi sirkular, implementasi teknologi co-firing dapat menumbuhkan ekonomi kerakyatan dengan keterlibatan masyarakat dalam penyediaan biomassa dan konservasi lahan.
Fitria Astuti yang juga anggota dari Indonesia Strategic Management Society (ISMS)mengungkapkan, strategi jitu co firing bukan berarti tanpa tantangan. Beberapa tantangan utama, yaitu: keberlanjutan pasokan, harga biomassa dan jarak antara produsen biomassa ke lokasi PLTU yang dapat menambah biaya juga harus diperhatikan.
Diakui Vice President Pengembangan Bisnis, Pemasaran & Perencanaan Biomassa PT PLN EPI, Anita Puspita Sari, penerapan co-firing biomassa sangat kompetitif dilakukan dalam mengejar target dekarbonisasi di Indonesia. Sebab, co-firing biomassa memiliki Levelized Cost of Electricity (LCOE) terendah dibanding akselerasi ke EBT lainnya.“Co-firing biomassa berkontribusi sebesar 3,6% dari total target bauran EBT 23% di tahun 2025. Langkah ini sangat kompetitif untuk dilakukan, mengingat LCOE-nya terendah dibanding EBT lain seperti energi surya, air, angin, geotermal, serta energi terbarukan lainnya,”ungkapnya.
Disampaikannya, tak hanya biayanya yang paling rendah. Namun yang lebih penting adalah, penerapan co-firing dapat berkontribusi signifikan dalam menggerakkan perekonomian nasional dengan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal tanpa harus menghentikan PLTU yang sudah ada.”Masyarakat lokal akan memainkan peran penting dalam hal ini menyediakan bahan baku biomassa. Jadi ini akan banyak membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sejalan dengan prinsip ESG (Environmental Social and Government) yang kami jalankan,” kata Anita.
Apalagi, kata Anita, sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim, kebutuhan biomassa ke depan makin meningkat tajam. Total 10,2 juta ton biomassa dibutuhkan hingga tahun 2025. Sementara Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menegaskan, besarnya manfaat program co-firing untuk transisi energi akan terus ditingkatkan.
Sejak pertama kali uji coba dan implementasi teknologi ini di beberapa PLTU pada tahun 2019, kini PLN berhasil mengimplementasikan pada 41 PLTU dengan memanfaatkan biomassa sebanyak 668.869 ton."Program co-firing langkah nyata PLN untuk menekan emisi karbon guna mempercepat transisi energi menuju Net Zero Emissions pada 2060. Melalui program ini PLN bisa menurunkan emisi karbon hingga 717.616 ton CO2," ujar Darmawan.
Disampaikannya, penggunaan biomassa untuk program ini ditargetkan mencapai 1,08 juta ton pada akhir tahun. Penggunaan biomassa ini akan terus ditingkatkan hingga mencapai 10,2 juta ton pada tahun 2025. Selain itu, kata Darmawan, penerapan co-firing ditargetkan mampu menghasilkan listrik hijau hingga 942 ribu MWh pada akhir 2023.
Darmawan menambahkan, PLN optimistis dekarbonisasi sebesar 954 ribu ton CO2 pada tahun 2023 bisa tercapai. Apalagi, PLN juga telah merancang peta jalan nasional program co-firing hingga tahun 2025 mendatang. “Ke depan PLN akan lebih trengginas lagi mengimplementasikan program co-firing dari 41 PLTU yang sudah terealisasi ke PLTU lainnya sehingga secara bertahap target 52 PLTU di 2025 nanti bisa tercapai dan terus menyumbang kontribusi peningkatan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT),” kata Darmawan.
Berdasarkan data PLN, pemanfaatan implementasi co firing pada 52 PLTU milik PLN dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 11 juta ton C02e. Oleh karena itu, PLN sangat gentol untuk meningkatkan co firing di beberapa PLTU. Selain tidak memerlukan investasi untuk pembangunan pembangkit baru juga memberikan dampak bagi ekonomi bagi masyarakat.
Gerakkan Ekonomi Kerakyatan
Darmawan menegaskan program co-firing bukan hanya upaya dalam mengurangi emisi karbon, tetapi juga mendukung ekonomi kerakyatan. Dalam pelaksanaannya, co-firing juga melibatkan masyarakat dalam penyediaan biomassa sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi kerakyatan sebagaimana prinsip Environmental, Social and Governance (ESG).
Untuk itu, Darmawan mengajak masyarakat untuk terlibat aktif dalam menyediakan rantai pasok biomassa program co-firing ini. Biomassa yang dipergunakan di antaranya sawdust atau serbuk gergaji, serpihan kayu, cangkang sawit, bonggol jagung, dan bahan bakar jumputan padat."Dalam menyediakan rantai pasok ini, kami menjalin kerja sama dengan berbagai pihak mulai dari pemerintah daerah hingga kelompok masyarakat. Sehingga program ini memiliki dampak ekonomi untuk masyarakat secara langsung,”kata Darmawan.
Disebutkan, program ini mampu memberdayakan masyarakat karena telah menyerap 2.032 tenaga kerja dengan penerima manfaat mencapai 5.231 orang. Alhasil, masyarakat dapat merasakan peningkatan pendapatan mencapai Rp 1,1 miliar. Di sisi lain, PLN juga mendapatkan efisiensi dari ekonomi kerakyatan cofiring tersebut karena membantu penurunan biaya operasi sebesar Rp 13,7 miliar.“Tentunya, upaya ini juga sesuai dengan pemenuhan Sustainable Development Goals (SDGs) poin 1 tanpa kemiskinan, 3 kehidupan sehat dan sejahtera, 7 energi yang bersih dan terjangkau, 8 pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta 13 memerangi perubahan iklim dan dampaknya,” ujar Darmawan.
Kata perencana Strategis dan Analis Rantai Pasokan PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI), Akhmad Kunio Fadlullah Pratopo, guna memenuhi kebutuhan biomassa yang terus meningkat, pihaknya secara agresif terus mengembangkan ekosistem biomassa dengan menggandeng komunitas lokal maupun usaha mikro kecil (UMK) yang berada di sekitar lokasi sumber biomassa berada.”Baru-baru ini misalnya, kami bekerja sama dengan Kesultanan DI Yogyakarta dalam mengembangkan Green Economy Village (GEV) untuk mendukung langkah NZE 2060 berdasarkan keterlibatan masyarakat lokal. Tujuan utama Pengembangan GEV adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal sekaligus mengurangi emisi CO2 dari menggunakan pupuk organik dan menyediakan biomassa untuk proses co-firing biomassa pembangkit listrik,” ujar Kunio.
Namun demikian, Kunio mengatakan, saat ini keberadaan biomassa masih terbilang lebih mahal dibanding harga batu-bara. Sehingga menurutnya dukungan dari sisi regulasi sangat dibutuhkan dalam memasifkan pengembangan ekosistem biomassa.”Pasokan biomassa yang ada sebagian besar memiliki harga lebih tinggi dibandingkan batubara, target co-firing biomassa PLN pada tahun 2024 dan tahun 2025 cukup tinggi dan merupakan tantangan besar, sehingga dukungan regulasi sangat diperlukan untuk hal ini,” ungkap Kunio.
Sebelumnya, PLN juga menggandeng kerjasama Perum Perhutani dan PT Sang Hyang Seri (SHS) untuk memasok kebutuhan bahan bakar biomassa bagi dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Kedua PLTU tersebut adalah PLTU Pelabuhan Ratu, Jawa Barat dan PLTU Rembang, Jawa Tengah.
Dalam kerjasama tersebut, Perhutani akan memasok kebutuhan biomassa dua PLTU PLN untuk PLTU Pelabuhan Ratu sebesar 11.500 ton per tahun. "Untuk bisa meningkatkan efisiensi juga, kami membangun pabrik pengolahan tanaman kaliandra dan gamal menjadi serbuk kayu di wilayah Sukabumi untuk mendekati PLTU,"kata Direktur Utama Perhutani, Wahyu Kuncoro
Sementara untuk PLTU Rembang, Perhutani akan memasok 14.300 ton per tahun serbuk kayu kaliandra dan gamal. Melalui skema bisnis yang sama, Perhutani akan membangun pabrik pengolahan kayu di wilayah Rembang. “Secara rencana jangka panjang kami siap memasok kebutuhan biomassa bagi PLN mengingat ke depan kami menargetkan pengelolaan lahan untuk biomassa ini mencapai 64 ribu hektare,” tandas Wahyu.
Sementara Barwan, salah satu distributor biomassa serbuk kayu yang digunakan untuk co firing PLTU Jeranjang Nusa Tenggara Barat (NTB) seperti dikutip suara NTB mengaku, menuai berkah dari program co firing karena berhasil meningkatkan ekonomi keluarga lantaran dalam satu bulan dapat menyediakan hingga 300 ton serbuk kayu di PLTU Jeranjang. “Kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga kami dapat berpartisipasi dalam program transisi energi”, ucap Barwan.
Disampaikannya, berkat PLN pihaknya dapat berkontribusi dan membawa dampak positf bagi dirinya dan masyarakat sekitar. Dalam proses penyediaan serbuk kayu atau woodchip, kata Barwan harus melewati beberapa tahapan agar serbuk kayu siap digunakan untuk co firing. Dimulai dari mencari serbuk di tempat penimbunan atau pemotongan kayu, kemudian dikarungi dan dibawa ke shelter untuk pengeringan terlebih dahulu hingga pengiriman ke PLTU Jeranjang.
Hal senada disampaikan oleh Lalu Sultansyah, distributor sekam padi untuk co firing PLTU Jeranjang. Pihaknya menyebut sekam padi yang dihasilkannya kini bernilai ekonomi yang mendatangkan manfaat.“Sekam padi ini kami sudah menganggapnya sebagai limbah. Namun setelah kami diberikan pemahaman bahwa ternyata limbah sekam padi ini masih bisa digunakan untuk co firing di PLTU Jeranjang. Terima kasih PLN, kami merasa sangat terbantu, yang bisa memutar perekonomian kami terutama masyarakat sekitar dan pengelola sekam padi ini,” kata Sultansyah.
Produksi sekam padi yang disuplai oleh Sultansyah sendiri ke PLTU Jeranjang per bulan mencapai 400 sampai 600 ton yang diperolehnya dari beberapa produsen sekam padi di Lombok Tengah. Sudjarwo, General Manager PLN NTB menuturkan, dalam menuju transisi energi bersih, PLN tidak berjalan sendiri. PLN berkolaborasi dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. Program ini memberikan dampak yang luar bisa bagi PLN, lingkungan dan masyarakat. “Melalui program ini, kami tidak hanya bermaksud mengganti batu bara dengan biomassa, tetapi juga membangun rantai pasok biomassa yang andal dengan melibatkan masyarakat yang dalam penyediaannya memiliki dampak ekonomi untuk masyarakat secara langsung,” ucap Djarwo.
Kemudian untuk terus menjaga keberlangsungan pasokan biomassa, PLN juga telah merintis pembangunan rantai pasok melalui program pendampingan, pilot project pengembangan skala kecil sampai dengan komersialisasi biomassa yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.“Co-firing bukanlah upaya untuk mengurangi emisi saja, namun kami sadar ada unsur ekonomi sirkular yang bisa membentuk ekosistem energi kerakyatan melalui pemberdayaan masyarakat”, jelas Djarwo.
Asal tahu saja, program sampah menjadi energi ini telah disiapkan di lokasi tersebar, yakni Bengkayang Kalimantan Barat, Cilegon Banten, Pangkalan Susu Sumatra Utara, Tenayan Riau, dan Balikpapan Kalimantan Timur. Sebelumnya, program TJSL pengelolaan sampah menjadi energi ini telah dilaksanakan di Ende, NTT dan Pulau Tinggi, Bangka Belitung.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif resmi menerbitkan beleid yang spesifik mengatur ihwal pengembangan co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara sebagai bahan bahan bakar PLTU di dalam negeri. Beleid itu mengatur luas soal target bauran biomassa di PLTU batu bara, landasan kewajiban pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO), dan pengaturan harga biomassa untuk menopang program co-firing tersebut.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa Sebagai Campuran Bahan Bakar Pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang disahkan pada 27 November 2023. Lewat Pasal 6 Permen ini, Menteri ESDM Arifin Tasrif menerangkan, peningkatan kapasitas bauran co-firing bakal dilakukan secara bertahap setiap tahunnya. Secara terperinci, target pelaksanaan co-firing akhir tahun ini dipatok di level 1,05 juta ton. Selanjutnya, pada 2024 dan 2025, target realisasinya diharapkan mencapai masing-masing 2,83 juta ton dan 10,20 juta ton. Target yang disusun hingga 2030 itu tidak terpengaruh oleh penyesuaian rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN nantinya.
Bank DKI terus berupaya melakukan proses pemulihan sistem layanan secepat mungkin. Setelah membuka layanan ATM Off-Us, layanan transfer antarbank melalui…
NERACA Jakarta- Performance kinerja keuangan emiten produsen bata ringan PT Superior Prima Sukses Tbk. (BLES) berhasil tumbuh positif di awal…
NERACA Jakarta – PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) membukukan laba Rp149,75 miliar (Rp32,52 per saham) pada kuartal pertama 2025, melonjak…
NERACA Jakarta- Performance kinerja keuangan emiten produsen bata ringan PT Superior Prima Sukses Tbk. (BLES) berhasil tumbuh positif di awal…
NERACA Jakarta – PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) membukukan laba Rp149,75 miliar (Rp32,52 per saham) pada kuartal pertama 2025, melonjak…
NERACA Jakarta – Dorong pertumbuhan investor pasar modal dan juga kemudahan transaksi saham, beberapa perusahaan sekuritas marak melakukan edukasi, merilis…