Oleh: Donny Kurniawan, Penyuluh Pajak di KPP Madya Jakarta Utara *)
Sebuah hal yang wajar apabila pada saat wajib pajak (WP) melakukan kesalahan pada saat memenuhi kewajiban perpajakannya. Baik pada saat melakukan perhitungan, pembayaran, dan atau pelaporan Karen WP pada dasarnya adalah seorang manusia yang memang tidak sempurna karena sering melakukan kesalahan dan juga lupa. Direktorat Jenderal Pajak sebagai suatu institusi pelayanan publik yang selalu berusaha untuk menjadi penyelenggara pelayanan yang baik maka sudah hal yang wajar terdapat aturan yang dibuat oleh Ditjen Pajak untuk mengakomodasi atas kesalahan WP yang bersifat manusiawi tersebut.
Aturan yang diterbitkan tidak lepas dari visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak yang telahditetapkan. Visi dan misi tersebut adalah:
Visi : Menjadi Mitra Tepercaya Pembangunan Bangsa untuk Menghimpun Penerimaan Negara melalui Penyelenggaraan Administrasi Perpajakan yang Efisien, Efektif, Berintegritas, dan Berkeadilan dalam rangka mendukung Visi Kementerian Keuangan: "Menjadi Pengelola Keuangan Negara untuk Mewujudkan Perekonomian Indonesia yang Produktif, Kompetitif, Inklusif dan Berkeadilan"
Misi : -Merumuskan regulasi perpajakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia;
-Meningkatkan kepatuhan pajak melalui pelayanan berkualitas dan terstandardisasi, edukasi dan pengawasan yang efektif, serta penegakan hukum yang adil; dan
-Mengembangkan proses bisnis inti berbasis digital didukung budaya organisasi yang adaptif dan kolaboratif serta aparatur pajak yang berintegritas, profesional, dan bermotivasi.
Sehingga atas dasar agar dapat memberikan pelayanan yang lebih baik pada tahun 2014 diterbitkan PMK. Nomor. 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara PP pada bagian ketiga yaitu tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak Melalui Pemindahbukuan.
Wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban penyetoran atau pembayaran pajak dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP sesuai dengan Pasal 11 PMK-242/PMK.03/2014. Pembayaran tersebut atau biasa dikenal dengan BPN dianggap sah apabila sudah mendapatkan validasi berupa NTPN. Atas kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak tersebut WP dapat mengajukan permohoan pemindahbukuan, yang bisa diajukan diantaranya karena :
Tetapi ada juga kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak yang tidak dapat dilakukan pemindahbukuan, diantaranya yaitu :
PPhpasal 23 adalah jenis pemotongan pajak yang dikenakan oleh pembeli atau pihak yang melakukan pembayaran suatu jasa kepada pemberi jasa. Ada beberapa tarif yang dikenakan untuk pemotonganPPh 23 ini diantaranya adalah 15% untuk dividen,bunga, royalty dan hadiah sesuai dengan UU nomor 7 tahun 1983 sttdUU No.36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Dan ada juga yang menggunakan tarif 2% terhadap jenis jasa lain yang secara detail diatur di Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-141/PMK.03/2015. Dan Jika penerima penghasilan atau pihak yang dipotong tidak memiliki NPWP, maka tarif pemotongan menjadi 100% lebih tinggi.
Pemindahbukuan atas PPh pasal 23 ini diajukan oleh pihak yang melakukan penyetoran kepada KPP dimana BPN tersebut diadminstrasikan. Ada beberapa penyebab sehingga permohonan pemindahbukuan atas PPh 23 diajukan. Ada 2 alasan besar yang sering menjadi penyebab diajukannya pemindahbukuan yaitu adanya pembatalan bukti potong atau adanya pembetulan bukti potong. Pembetulan bukti potong yang dimaksud adalah pembetulan bukti potong yang mengakibatkan nilai pemotongan menjadi lebih kecil.
Setiap permohonan pemindahbukuan wajib melampirkan asli SSP atau BPN yang sudah mendapatkan NTPN sesuai dengan pasal 17 PMK 242/PMK.03/2014. Khusus untuk permohonan pemidahbukuan untuk PPh pasal 23 terdapat lampiran tambahan yaitu berupa surat pernyataan dari pihak yang dipotong. Surat pernyataan yang harus dilampirkan tersebut setidaknya memuat dua poin utama diantaranya yaitu:
Surat pernyataan tersebut tidak ada format baku sehingga WP bisa membuat sendiri dengan tetap isi surat mengacu kepada 2 poin utama tersebut. Surat pernyataan ini wajib dilampirkan karena didasarkan pada pemikiran bahwa setoran pajak yang bisa diajukan pemindahbukuan adalah setoran yang berasal murni dari uang WP sendiri. Sedangkan untuk setoran PPh pasal 23 berasal dari potongan penghasilan yang seharusnya diterima oleh pemberi jasa. Sehingga hal tersebut bukan murni uang pihak penyetor atau dengan kata lain pajak yang disetor sebenarnya adalah uang/penghasilan pihak yang dipotong.
Agar nilai setoran yang diajukan pemindahbukuan menjadi hak pihak penyetor maka atas selisih bukti potong yang dilakukan pembatalan atau pembetulan harus terlebih dahulu disetorkan ke pihak yang dilakukan pemotongan. Saat pihak yang dipotong sudah menerima pengembalian selisih atas pembatalan atau pembetulan bukti potong, tidak diperkenankan lagi untuk mengajukan permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan PMK nomor 187/PMK.03/2015.
Perlu menjadi catatan penting bagi wajib pajak sebelum mengajukan permohonan pemindahbukuan PPh pasal 23 dipersiapkan surat pernyataan dari WP yang dilakukan pemotongan (lawan transaksi) agar surat permohonan pemindahbukuan yang diajukan menjadi halal sehingga semakin memperbesar kemungkinan untuk dapat disetujui oleh KPP. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Oleh: Luna Sintia Nanda, Pemerhati Sosial Budaya Fenomena Judi Daring di Indonesia kini memasuki babak baru yang semakin meresahkan.…
Oleh : Benny Alvian, Pengamat Investasi dan Industri China tengah menjajaki peluang kerja sama strategis dengan…
Oleh: Andika Pratama, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Indonesia saat ini berada dalam momentum penting untuk menata arah masa…
Oleh: Luna Sintia Nanda, Pemerhati Sosial Budaya Fenomena Judi Daring di Indonesia kini memasuki babak baru yang semakin meresahkan.…
Oleh : Benny Alvian, Pengamat Investasi dan Industri China tengah menjajaki peluang kerja sama strategis dengan…
Oleh: Andika Pratama, Pemerhati Ekonomi Pembangunan Indonesia saat ini berada dalam momentum penting untuk menata arah masa…