Guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan (SDGs), berbagai langkah dan strategi perlu diupayakan seluruh pihak, termasuk perbankan. Salah satu aspek yang diupayakan perbankan dan memegang peran penting dalam mewujudkan visi tersebut adalah pembiayaan hijau. Indonesia sendiri memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekonomi hijau (green economy), guna mengurangi dampak perubahan iklim.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, ekonomi dunia sekarang sedang bertransformasi ke green economy dan pembiayaan sekarang larinya terutama ke industri hijau, “Penggunaan energi juga sama beralih semuanya ke green energy karena kita semua ingin mengurangi dampak perubahan iklim,”ujarnya.
Indonesia, disampaikan Jokowi, memiliki potensi besar di green energy seperti geothermal sebesar 24 ribu megawatt, hydropower 95 ribu megawatt yang berasal dari 4.400 sungai di seluruh Tanah Air, solar panel matahari 169 ribu megawatt, serta tenaga angin 68 ribu megawatt. Dengan berbagai potensi tersebut, Presiden optimistis Indonesia bisa menarik lebih banyak investasi di sektor ekonomi hijau.
Terlebih, Indonesia sedang membangun kawasan industri hijau, salah satunya di Kalimantan Utara dengan luas total 30 ribu hektare yang akan menggunakan energi air dari Sungai Kayan di daerah tersebut. “Kekuatan ini kalau kita gunakan betul akan jadi sebuah kekuatan negara kita karena negara lain tidak memiliki potensi energi sebesar itu, 434 ribu megawatt potensi energi baru terbarukan adalah kekuatan besar,” kata Jokowi.
Pemerintah sendiri memiliki enam agenda utama untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Di antara agenda utama itu adalah industrialisasi melalui hilirisasi dan dekarbonisasi untuk mempercepat net zero. Saat ini isu-isu terkait environmental, social, and governance (ESG) serta pengelolaan iklim juga telah menjadi topik utama para pemimpin dunia. Berbagai negara pun telah mengambil tindakan serius dalam mengatasi perubahan iklim dan implementasi ESG.
Sementara Indonesia sebagai bagian dari komunitas global pun turut berkomitmen melalui enhanced nationally determined contribution yang tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca hingga sebesar 31,9% pada 2030 serta net zero emissions (NZE) pada 2060. Namun tingginya biaya transisi ke ekonomi rendah karbon membawa tantangan dalam mempercepat implementasi pembiayaan berkelanjutan di negara berkembang.
Berdasarkan laporan dari lembaga think tank global, EMBER bertajuk Global Electricity Review 2023 mengemukakan,pertumbuhan porsi energi terbarukan di dunia seperti tenaga surya dan angin terus mengalami kenaikan pada 2021. Namun hal ini tidak terjadi di Indonesia di mana penggunaan energi bersih masih tertekan penggunaan pembangkit fosil yang masif.
Laporan EMBER menunjukkan, porsi tenaga angin dan surya di Indonesia masing-masing hanya 0,1% pada 2021. Padahal, tercatat sudah ada 60 negara di dunia yang 10% dari total pembangkit listriknya ditenagai angin dan surya. Disebutkan, pertumbuhan tenaga surya Indonesia pada 2021 mencapai 12%, namun angka ini hanya setara 0,02 TWh lantaran rendahnya pembangkit energi surya. Sementara tenaga angin justru turun 6,4% atau 0,03 TWh. Pada saat yang sama, pembangkit listrik dari batu bara di Indonesia masih naik 5% (9,1 TWh) dan gas 9,7% (5 TWh).
Hal inipun diakui pelaku industri, perlu cost besar atau investasi mahal beralih pada energi baru terbarukan dalam mendukung operasional bisnisnya dan ini tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan pembiayaan dari sektor perbankan. Melihat tantangan tersebut, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyinggung, pentingnya peran sektor jasa keuangan, terutama perbankan dalam mendorong pembiayaan hijau atau green financing guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Kata pengamat perbankan Universitas Bina Nusantara, Doddy Ariefianto, penerapan green financing dalam perjalanannya masih dilematis karena teknologi yang masih terbilang mahal. Teknologi ramah lingkungan tetap tidak semurah bahan bakar minyak (BBM) dan batu bara. Akhirnya, hal ini menjadi isu utama terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Meski masih dibayangi berbagai kendala, industri keuangan di Indonesia telah memulai langkah penting dalam green financing baik dari perbankan maupun pemerintah.
Dia mencontohkan, gencarnya pemerintah menerbitkan green bond atau green sukuk, dengan proyek-proyek ramah lingkungan yang spesifik. Begitu pula perbankan yang mulai memberikan berbagai persyaratan "hijau" yang lebih memperhatikan aspek lingkungan untuk penyaluran kreditnya. Meski langkah green financing membutuhkan percepatan, Doddy menilai langkah yang telah dimulai saat ini bisa menjadi permulaan.
Tren Pertumbuhan
Ketua Umum Perbanas, Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan, meski pembiayaan berkelanjutan menghadapi berbagai tantangan. Namun industri perbankan pun telah menunjukan komitmennya dalam mendukung ekonomi berkelanjutan. "Perbankan harus menjadi motor penggerak transformasi ekonomi Indonesia yang berperan aktif dalam mereduksi emisi karbon, melalui penyelarasan strategi pembiayaan dan portofolio kredit yang mengacu pada taksonomi hijau Indonesia,” kata Tiko, sapaan akrabnya.
Menurut Tiko dukungan perbankan pada transisi energi tidak cukup hanya berhenti di sisi hulu, juga harus ke hilir. Tengok saja sejumlah bank pun memang tercatat gerak cepat (gercep) dalam menyalurkan pembiayaan hijaunya di Indonesia, tidak terkecuali HSBC Indonesia yang menyatakan komitmennya dalam mendukung transisi energi bersih dan pembangunan berkelanjutan.
Belum lama ini, perseroan secara resmi menyalurkan pinjaman berjangka hijau senilai US$20 juta atau setara Rp307,4 miliar (asumsi kurs Rp15.370) kepada PT Indo-Rama Synthetics, Tbk. (INDR), anak perusahaan dari Indorama Corporation Pte. Ltd., Singapore (Indorama). Disampaikan, Managing Director dan Head of Wholesale Banking HSBC Indonesia, Riko Tasmaya, pinjaman berjangka hijau digunakan untuk mendukung upaya Indo-Rama mengurangi konsumsi energi melalui instalasi mesin-mesin baru dengan teknologi dan penggunaan energi yang lebih efisien pada perluasan pabrik benang pintal, serta meningkatkan pencapaian ESG dari Indorama Group secara keseluruhan.“Pinjaman ini jangka panjang, kontraknya di atas satu tahun dan di bawah lima tahun. Kami memang berkomitmen membantu nasabah untuk bisa mengurangi emisi yang dihasilkan dalam operasional mereka yang menghasilkan green initiative, mulai dari keputusan, infrasturktur. Jadi keseluruhan ya,” ujarnya.
Menurutnya, perjalanan menuju dekarbonisasi membutuhkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Hal senada juga disampaikan Presiden Direktur HSBC Indonesia, Francois de Maricourt, untuk mempercepat transisi energi diperlukan modal yang besar. Oleh karena itu, kata Francois, perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta dan juga negara serta juga aliansi keuangan global seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ). “Transisi pembiayaan harus dipimpin pemerintah difasilitasi oleh bank dan diadopsi oleh perusahaan besar dan juga kecil. Sebagai bank yang mempunyai banyak cabang di Asia, HSBC berkomitmen untuk mendukung semua nasabah kami untuk melakukan transisi ke energi yang lebih bersih, bekerja sama dengan regulator dan juga industri banyak sektor untuk mempercepat transisi pembiayaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Disampaikannya, HSBC memberikan komitmen penuh untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang potensial untuk menerapkan paradigma ESG. Selain itu, ada banyak sektor di Indonesia yang berpeluang mendapat pembiayaan berkelanjutan bila bertransisi ke operasi bisnis yang rendah karbon."Ini jadi pasar masa depan, peluangnya ada banyak di investasi dekarbonisasi ekonomi, low carbon energy, dan lainnya terkait ESG,” ujarnya.
Disampaikannya, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki risiko paling besar terkena dampak perubahan iklim. Berdasarkan data Bank Pembangunan Asia, perubahan iklim akan memangkas Pertumbuhan Domestik Bruto (GDP) negara-negara di Asia Tenggara sebesar 11% pada akhir abad ini.
Dengan begitu, semakin banyak lagi perusahaan di Indonesia yang akan menerapkan prinsip berkelanjutan.Berdasarkan riset HSBC, lima pebisnis yang menjadi responden menginvestasikan lebih dari 10% dari laba operasi mereka untuk meningkatkan keberlanjutan operasi mereka.
Namun, penerapan prinsip ESG membutuhkan modal yang besar. HSBC mencatat untuk kawasan Asia Pasifik membutuhkan US$1,5 triliun investasi hijau setiap tahun hingga 2030, untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan PBB. Oleh karena itu, HSBC sendiri telah mengalokasikan hingga US$1 triliun dalam keuangan dan investasi pada 2030 untuk mendukung klien HSBC dalam membuktikan bisnis mereka di masa depan, termasuk pembiayaan hijau.
NERACA Jakarta – Perkuat struktur permodalan guna mendanai ekspansi bisnisnya, PT Acset Indonusa Tbk (ACST) bakal menambah modal lewat skema…
Mengulang kesuksesan di tahun sebelumnya, TelkomGroup kembali menyelenggarakan Digiland 2025, perhelatan tahunan yang menjadi wadah kolaborasi teknologi, olahraga, edukasi, hingga…
NERACA Jakarta – Jaga pertumbuhan harga saham di pasar, PT Prodia Widyahusada Tbk. (PRDA) menyiapkan dana senilai maksimal Rp200 miliar…
NERACA Jakarta – Perkuat struktur permodalan guna mendanai ekspansi bisnisnya, PT Acset Indonusa Tbk (ACST) bakal menambah modal lewat skema…
Mengulang kesuksesan di tahun sebelumnya, TelkomGroup kembali menyelenggarakan Digiland 2025, perhelatan tahunan yang menjadi wadah kolaborasi teknologi, olahraga, edukasi, hingga…
NERACA Jakarta – Jaga pertumbuhan harga saham di pasar, PT Prodia Widyahusada Tbk. (PRDA) menyiapkan dana senilai maksimal Rp200 miliar…