Menaruh Asa Pembiayaan Hijau Untuk Selamatkan Bumi

Kesadaran untuk berbisnis secara berkelanjutan semakin menguat pasca pandemi Covid-19. Bahkan, agenda transisi energi yang salah satunya meliputi dekarbonisasi industri dipercaya sebagai bagian dari membangun resiliensi ekonomi nasional. Tak ayal, upaya mencapai netralitas karbon dan melakukan efisiensi energi kini menjadi perhatian lintas sektor, tak terkecuali sektor bisnis dan perbankan.

Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah mengatakan, isu lingkungan kini menyita perhatian, mulai dari banyaknya negara yang mulai mengkampanyekan nol emisi hingga hasil forum G20 yang salah satunya terkait dengan peralihan sumber energi. Menurutnya, aktivitas terkait ekonomi hijau ke depan akan semakin banyak ditambah dengan kehadiran bursa karbon. 

Piter menilai, munculnya bursa karbon akan diikuti dengan proyek-proyek hijau yang bisa mendapatkan sertifikat karbon untuk diperjualbelikan. “Semua ini akan menjadi proyek-proyek yang membutuhkan pembiayaan hijau. Memang tidak akan serta-merta di tahun 2023, tetapi trennya akan terus meningkat,” pungkasnya.

Tengok saja, dalam tiga tahun terakhir, tren pembiayaan hijau (green financing) di Indonesia terus meningkat. Capaian positif ini mensinyalkan hambatan pendanaan dan investasi menuju ekonomi rendah karbon mungkin dapat tertangani.  Terlebih hadirnya bursa karbon di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan kesadaran yang semakin tinggi dari pelaku bisnis dan pemangku kepentingan terkait tentunya merupakan angin segar dan perlu segera disikapi dengan pembentukan ekosistem usaha berkelanjutan yang mendukung, terutama terkait dua aspek utama yaitu teknologi dan dukungan finansial.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup (1999-2001), Sonny Keraf mengakui, tren pembiayaan hijau memiliki potensi besar untuk mendongkrak kinerja lembaga jasa keuangan dalam menyalurkan kredit kepada proyek yang berkontribusi dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Selain itu, menurut Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, sektor keuangan dunia akan makin selektif memberikan kredit kepada dunia usaha. Disampaikannya, sektor keuangan akan lebih mendukung sektor usaha yang fokus pada pengembangan ekonomi hijau. “Saya bisa katakan, beberapa waktu ke depan sektor keuangan di Indonesia maupun internasional akan makin ingin memberikan kredit atau pembiayaan, memberikan support, kepada green economy. Pasti itu,” katanya.

Ya, komitmen untuk mencapai target nol emisi karbon pada tahun 2050 tentu membutuhkan partisipasi pelaku usaha dan termasuk industri keuangan. Apalagi kesenjangan pembiayaan masih menjadi salah satu tantangan terbesar dalam proyek-proyek berkelanjutan, dan perlu ada kebijakan, kerangka kerja, dan inovasi untuk meningkatkan pembiayaan berkelanjutan di Indonesia. Oleh karena itu, kemitraan dan sinergi lintas-sektor baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional perlu untuk terus ditingkatkan. 

Di Indonesia, ada program ASSIST (Accelerating Sustainable Development Goals Investment in Indonesia), yang menggunakan berbagai instrumen pembiayaan inovatif dari sumber pemerintah dan non-pemerintah seperti obligasi berkelanjutan pemerintah, obligasi berkelanjutan korporasi, dan sukuk berkelanjutan untuk mengisi kesenjangan pembiayaan SDGs. Program kerja sama badan-badan PBB tersebut dapat menjadi contoh bagaimana kolaborasi dapat membantu meningkatkan pembiayaan berkelanjutan di Indonesia. “Hambatan finansial, yang ditandai dengan tingginya biaya di muka dan terbatasnya akses permodalan membayangi jalan menuju pembangunan gedung dan infrastruktur berkelanjutan dengan prinsip efisiensi energi. Melalui insentif fiskal dan inovasi instrumen pembiayaan, kita punya kekuatan untuk membuka jalan bagi perubahan yang berkelanjutan,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Apa yang dihadapi pelaku industri keuangan dalam menghadapi tantangan pembiayaan berkelanjutan juga diakui HSBC Group. Namun demikian, melalui urun-rembug dan partisipasi aktif dari korporasi, lembaga kemasyarakatan, pemerintah, dan industri keuangan menjadi kuncinya. Di Kawasan Asia Tenggara, Bank HSBC bekerja sama dengan Temasek untuk memobilisasi dana guna proyek infrastruktur berkelanjutan. Didukung oleh Asian Development Bank, inisiatif ini diharapkan bisa menggalang hingga US$ 1 miliar untuk disalurkan ke sektor energi baru dan terbarukan, pengelolaan air dan sampah, serta transportasi ramah lingkungan.

HSBC juga bermitra dengan World Resources Institute (WRI) dan Word Wide Fund for Nature (WWF) dalam Climate Solutions Partnership, sebuah kolaborasi yang diprakarsai oleh HSBC Group senilai US$100 juta untuk jangka waktu 5 tahun, dalam rangka mengatasi hambatan pembiayaan berkelanjutan bagi korporasi. Kendati pembiayaan berkelanjutan masih terkendala dengan minimnya kerangka kebijakan, gap antara ketersediaan dan penawaran, serta perangkat pengukuran usaha berkelanjutan, hal tersebut tidak menghentikan HSBC untuk tetap membantu para nasabahnya memperoleh akses pembiayaan berkelanjutan yang dibutuhkan sesuai dengan sektor industri mereka masing-masing.

HSBC memiliki kerangka kerja serta para profesional ahli yang memiliki kapabilitas untuk mengkaji setiap rencana pengembangan bisnis berkelanjutan dari nasabahnya dan menentukan fasilitas pembiayaan berkelanjutan yang sejalan dengan kebutuhan. Apalagi, menurut Dr. Celine Herweijer, Group Chief Sustainability Officer HSBC,  kawasan Asia memiliki peranan utama dalam mencapai target global untuk emisi nol. Salah satu langkah nyata HSBC adalah dengan menghentikan pembiayaan ke pembangkit batu bara; dimulai dari Uni Eropa pada 2030 sebelum akhirnya di semua kawasan di 2040.

Menyadari pentingnya akan perubahan cepat, HSBC dan bank-bank global lain membentuk Net-Zero Banking Alliance untuk bisa mendorong investasi dan pembiayaan untuk memerangi krisis iklim. Didirikan April 2021, aliansi tersebut kini beranggotakan 115 bank dari 41 negara, dengan total aset mencapai US$ 70 triliun atau setara dengan 38% aset perbankan global. Sementara berdasarkan kalkulasi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group dan Global Financial Markets Association, upaya menekan emisi karbon Bumi diperkirakan membutuhkan biaya hingga US$150 triliun dalam tiga dekade ke depan. Di Kawasan Asia, kebutuhan tersebut (financing gap) diperkirakan mencapai US$ 66 triliun.

 

Menuju Dekarbonisasi

Guna mewujudkan bisnis berkelanjutan, HSBC di Indonesia siap bermitra dengan para pelaku bisnis dari berbagai sektor industri yang memenuhi kriteria LST sesuai yang disyaratkan, guna membantu transformasi mereka menuju pengelolaan bisnis berkelanjutan. Riko Tasmaya, Managing Director dan Head of Wholesale Banking HSBC Indonesia mengatakan, perjalanan menuju dekarbonisasi membutuhkan kolaborasi lintas pemangku kepentingan dan perseroan menyadari dampak terbesar yang dapat diciptakan adalah dengan terus membantu nasabah mengurangi emisi yang dihasilkan dalam operasional mereka.“Kami senang dapat mendukung komitmen besar dari nasabah atau pelaku usaha untuk meningkatkan penerapan prinsip-prinsip ESG dalam operasional mereka.”ujarnya.

Dukungan HSBC Indonesia dalam mewujudkan bisnis berkelanjutan dibuktikan dengan terus memacu pembiayaan hijau. Teranyar, perseroan memberikan pinjaman berjangka hijau (green term loan) sebesar US$ 20 juta atau setara Rp307 miliar kepada PT Indo-Rama Synthetics Tbk pada September 2023. Pinjaman hijau tersebut bertujuan untuk mendukung upaya Indorama dalam mengurangi konsumsi energi dalam operasi mereka melalui instalasi mesin baru dengan teknologi dan penggunaan energi yang lebih efisien pada perluasan pabrik benang pintal; serta untuk meningkatkan pencapaian prinsip ESG (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) Indorama secara keseluruhan. 

Setahun sebelumnya, HSBC juga memberikan pinjaman hijau sebesar Rp27 miliar kepada PT Eco Paper Indonesia yang bermaksud untuk meningkatkan produksi kertas daur ulang dari bahan yang dikumpulkan dari TPA dan jalanan.Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengapresiasi pembiayaan hijau yang telah dilakukan industri keuangan, termasuk HSBC Indonesia.

Menurutnya, perlu kolaborasi untuk mewujudkan percepatan dan pertumbuhan ekonomi hijau untuk ekonomi Indonesia yang lebih baik. Saat ini, lanjutnya, BI tengah bergerak menuju bank sentral hijau, apalagi ekonomi hijau dan instrumen keuangan merupakan bagian dari kebijakan BI. Perry berharap, perbankan dan korporasi sebagai pemain besar di sektor keuangan mampu bersinergi memanfaatkan pembiayaan hijau ini, untuk mencapai target penurunan emisi karbon dalam memitigasi risiko perubahan iklim. (bani)

BERITA TERKAIT

Potensi Kerugian Sekitar Rp 1 Triliun - KPK Didesak Usut Korupsi BPD Kaltim-Kaltara

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  mengusut dugaan kredit macet yang melilit PT BPD Kaltim-Kaltara senilai…

Laba Bersih PT Timah Melesat Tajam 295%

NERACA Jakarta – Kuartal pertama 2025, PT Timah Tbk (TINS) mencatatkan kenaikan laba bersih dan pendapatan. Dimana emiten tambang dan…

Penjualan Buyung Poetra Terkoreksi 27,0%

NERACA Jakarta -Emiten produsen beras ternama merek ‘Topi Koki’,  PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI)  mencatat penjualan bersih sebesar Rp365,3…

BERITA LAINNYA DI Bursa Saham

Potensi Kerugian Sekitar Rp 1 Triliun - KPK Didesak Usut Korupsi BPD Kaltim-Kaltara

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  mengusut dugaan kredit macet yang melilit PT BPD Kaltim-Kaltara senilai…

Laba Bersih PT Timah Melesat Tajam 295%

NERACA Jakarta – Kuartal pertama 2025, PT Timah Tbk (TINS) mencatatkan kenaikan laba bersih dan pendapatan. Dimana emiten tambang dan…

Penjualan Buyung Poetra Terkoreksi 27,0%

NERACA Jakarta -Emiten produsen beras ternama merek ‘Topi Koki’,  PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI)  mencatat penjualan bersih sebesar Rp365,3…