NERACA
Jakarta – Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Lembaga Penjamin, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono mengatakan per Mei 2023, 33 fintech peer to peer lending belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum sebesar Rp2,5 miliar yang berlaku 4 Juli 2023.
“Kami akan mengecek posisi terakhir, apakah mereka bisa memenuhi. Tentunya kami akan memberikan suatu regulatory action terhadap fintech lending yang belum memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp2,5 miliar,” kata Ogi dalam Konferensi Pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK di Jakarta, Selasa (4/7).
OJK juga telah meminta action plan pemenuhan ekuitas minimum kepada fintech peer to peer lending yang belum memenuhi ketentuan tersebut dan akan melakukan monitoring secara berkelanjutan. “Bagi penyelenggara fintech lending yang tidak dapat memenuhi ketentuan ekuitas minimum sampai dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan pada POJK Nomor 10 Tahun 2022, OJK akan mengambil langkah pengawasan sesuai ketentuan,” katanya.
Adapun kinerja fintech peer to peer (P2P) lending pada Mei 2023 menunjukkan pertumbuhan dengan outstanding pembiayaan tumbuh sebesar 28,11 persen secara tahunan menjadi sebesar Rp51,46 triliun. Sementara itu, tingkat risiko kredit secara agregat yang tampak dari Tingkat Wanprestasi 90 Hari (TWP90) mengalami kenaikan menjadi 3,36 persen dari 2,82 persen di April 2023. “Kami anggap ini masih cukup baik karena masih di bawah batas maksimum TWP90 yang sebesar 5 persen,” kata Ogi.
Terkait kabar tentang 2,3 juta masyarakat Jakarta terlilit utang pinjaman online atau fintech lending senilai Rp10,35 triliun, Ogi mengklarifikasi bahwa outstanding fintech peer to peer lending di Jakarta memang mencapai Rp10,5 triliun, tetapi TWP 90-nya hanya 3,23 persen. “Itu bahkan berada di bawah nasional sebesar 3,36 persen. Indikasinya, banyak masyarakat yang menggunakan fintech lending di DKI Jakarta sehingga menjadi wilayah dengan outstanding fintech lending terbesar kedua setelah Jawa Barat yang senilai Rp13,8 triliun,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan perusahaan teknologi finansial (tekfin) atau financial technology (fintech) bisa melakukan merger untuk memenuhi syarat permodalan minimum Rp2,5 miliar.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat masih terdapat sebanyak 26 perusahaan fintech yang belum memenuhi batas minimum permodalan tersebut yang akan berlaku pada 4 Juli 2023. "Bagi yang belum bisa memenuhi permodalan, ada opsi untuk melakukan merger dengan pemain lain," ungkap Kuseryansyah.
Menurut dia, merger bisa menjadi pilihan sesuai dengan kondisi faktual di lapangan dan sudah dimungkinkan secara regulasi lantaran tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Selain merger, terdapat opsi lain untuk melakukan akuisisi terutama bagi perusahaan yang sudah memenuhi atau melewati masa locked-up setelah tiga tahun mengantongi izin OJK. "Tapi sebelum itu, belum boleh. Kalau perlu setor modal, ya harus dari kantong pemegang saham yang sudah ada," tegasnya.
NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penggabungan usaha PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (kode saham: ADMF)…
NERACA Jakarta – Asian Development Bank (ADB/Bank Pembangunan Asia) bekerja sama dengan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) untuk mengonversi 27…
NERACA Jakarta – Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nunung Nuryantono mengatakan, pada tahun ini terjadi peningkatan klaim terjadi…
NERACA Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penggabungan usaha PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk (kode saham: ADMF)…
NERACA Jakarta – Asian Development Bank (ADB/Bank Pembangunan Asia) bekerja sama dengan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (RI) untuk mengonversi 27…
NERACA Jakarta – Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Nunung Nuryantono mengatakan, pada tahun ini terjadi peningkatan klaim terjadi…