Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Berapa banyak yang tahu bahwa tiap 31 Mei diperingati sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia - World No Tobacco Day? Bisa dipastikan tidak banyak yang tahu, jangankan para perokok, sedangkan yang non-perokok saja pasti juga tidak tahu. Padahal, tema di tahun 2023 yaitu: "We need food, not tobacco" (Kita butuh makanan, bukan tembakau)? Tema ini mengingatkan visi kesehatan nasional yaitu "Menciptakan manusia yang sehat, produktif, mandiri dan berkeadilan".
Merokok memang hak asasi setiap orang untuk melakukan pilihan tapi kegiatan merokok yang dilakukan di sembarang tempat, terutama di tempat umum atau ruang publik jelas merupakan kesalahan. Alasannya, merokok di tempat umum bisa memicu pencemaran udara, menyebabkan lingkungan menjadi tidak sehat dan mengganggu hak orang lain untuk memperoleh lingkungan hidupnya yang sehat. Lepas dari dualisme kepentingan, yang jelas, industri rokok telah berkembang sangat pesat. Bahkan, realitas menunjukan hal ini justru sudah mengarah kepada proyek industrialisasi. Meskipun demikian, bukan berarti langkah industrialisasi rokok kemudian mengabaikan aspek kepentingan bersama dan inilah urgensi dibalik kampanye anti rokok.
Dualisme
Dualisme kepentingan antara industri rokok dengan industri kesehatan memang sangat beralasan. Bahkan menurut penelitian diyakini tingkat risiko kesehatan antara perokok aktif dan pasif ternyata lebih tinggi perokok pasif. Padahal, realita menunjukan perokok aktif lebih kecil dibanding perokok pasif, tetapi akumulasi dampak yang ditimbulkan memicu syndrome bagi mayoritas para perokok pasif (termasuk juga masyarakat secara luas). Laporan WHO menyebut 3,4 juta manusia meninggal per tahun karena merokok. Diperkirakan pada tahun 2030 jumlah kematian karena merokok mencapai 20 juta dan 70% di antaranya terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Terkait ini, Dr. Robert Kim Farley mengemukakan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa tiap tahun lebih dari 3,5 juta orang meninggal karena merokok, atau rata-rata 10.000 kematian per hari. Ironisnya, bagi mereka yang tidak merokok tapi terkena asap rokok dari perokok (perokok pasif) juga akan mengalami gangguan kesehatan dengan risiko sama. Penelitian yang dilakukan oleh Wake Forest University, North Carolina-AS menyatakan bahwa penyempitan pembuluh darah atau atherosclerosis bagi perokok aktif dan pasif sama. Penyakit aterosklerosis merupakan penyebab kematian terbesar di AS. Risiko lain perokok yaitu penyakit kanker paru yang akhirnya juga mengakibatkan kematian. Jadi, aspek kesehatan dibalik industrialisasi rokok tidak bisa diremehkan.
Selain tar dan nikotin, zat kimia yang dipakai sebagai aroma pada rokok juga berbahaya. Zat itu alkylbenzenes ternyata mengandung racun. Temuan ini dilaporkan pada jurnal Agricultural and food Chemistry yang diterbitkan American Chemical Society, beberapa waktu lalu. Versi The National Academy of Science, sebenarnya aroma pada rokok yang mengandung alkylbenzenes itu aman bagi tubuh manusia karena nantinya saat berada di dalam tubuh zat tersebut akan dinetralisir di dalam hati. Namun jika dihisap, maka zat tersebut akan langsung masuk di saluran pernapasan dan lalu menyebar ke seluruh tubuh manusia sebelum hati mampu menetralisir.
Penelitian dilakukan terhadap semua jenis rokok termasuk rokok filter, non-filter dan juga menthol. Dari penelitian ini menunjukan terbukti bahwa alkylbenzenes ditemukan di dalam setiap jenis rokok tersebut dan dari 68 merk rokok yang diuji, 42 diantaranya mengandung zat tersebut. Ironisnya, banyak perokok berasal dari keluarga miskin dan terjadi di negara berkembang. Menurut survei WHO, 3 dari 4 atau sekitar 75% pria dan 5% perempuan di Indonesia adalah perokok. Yang lebih ironis pertumbuhan perokok di Indonesia tertinggi di dunia yaitu 44 %.
Kampanye
Dari fakta itu, selama ini kampanye anti rokok memang masih kalah jauh dibandingkan kampanye rokok yang didukung dana besar dari produsen rokok. Versi data AC Nielsen menyebut belanja iklan rokok dari 10 produsen besar mencapai ratusan triliun tersebar di semua media. Melihat dana yang sangat besar itu menyebabkan larangan iklan rokok di media massa menjadi tidak efektif. Sebenarnya aturan iklan rokok sudah jelas tertuang dalam Keputusan Menteri Penerangan RI No. 04A/Kep/Menpen/1993 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia. Pada Pasal 20 ayat (1) disebut siaran niaga berupa iklan program sponsor mengenai rokok dan minuman keras beserta segenap produk sampingannya dalam bentuk apapun juga, tidak boleh ditayangkan di televisi.
Dualisme industri rokok memang cenderung kontroversi, baik dari sisi penyerapan para pekerja (yang cenderung padat karya) dan juga aspek kepentingan kesehatan. Oleh sebab itu kampanye larangan iklan rokok dan juga pembatasan peredaran rokoknya cenderung sulit karena respon masyarakat cenderung positif. Artinya, kepentingan aspek kesehatan cenderung dinomorduakan sementara aspek kepentingan ekonomi bisnis tidak bisa untuk dicegah karena dampak sistemiknya luar biasa.
Paling tidak, bisa terlihat dari cukai yang setorannya cukup besar, belum lagi aspek pertimbangan daya serap tenaga kerja. Realita ini menjadi tantangan untuk meminimalisasi dampak negatif industrialisasi rokok. Oleh karena itu, tema peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia pada 2023 menjadi benar dan pastinya ini adalah tantangan bersama.
Oleh: Hasna Miftahul, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen serius dalam membenahi…
Oleh : Santi A.Y, Mahasiswa Pascasarjana di Jakarta Masyarakat dikejutkan dengan keberhasilan aparat keamanan, khususnya jajaran Kepolisian…
Oleh: Budi Wicaksono, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam memperluas akses kesehatan yang terjangkau…
Oleh: Hasna Miftahul, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen serius dalam membenahi…
Oleh : Santi A.Y, Mahasiswa Pascasarjana di Jakarta Masyarakat dikejutkan dengan keberhasilan aparat keamanan, khususnya jajaran Kepolisian…
Oleh: Budi Wicaksono, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam memperluas akses kesehatan yang terjangkau…