Stabilitas dan Inflasi

 

Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi., Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Pangan merupakan salah satu isu sensitif menjelang krisis dan resesi pada 2023. Oleh karena itu, problem pangan sejatinya tidak hanya dari pasokan dan distribusinya tapi juga penting adalah bagaimana harga pangan bisa murah dan ketersediaanya mudah diperoleh oleh rakyat. Fakta ini pada dasarnya menuntut adanya jaminan harga yang terjangkau sehingga produksinya bisa berkelanjutan karena berkaitan dengan jaminan pasokan secara berkelanjutan. Di satu sisi, stabilitas pangan terkait dengan keamanan pangan karena ini berkepentingan terhadap ancaman rawan pangan, sementara di sisi lain kemiskinan di sejumlah daerah dipastikan rentan terhadap kecukupan pangannya.

Sinergi dari pangan maka menjadi tantangan bagi kepala daerah untuk bisa menjamin harga pangan yang terjangkau dan mereduksi inflasi yang terkendali pada dasarnya persoalan pelik dan ini bersinergi dengan kepentingan nasional. Padahal di September lalu pemerintah sepakat menaikkan harga BBM dan rencana juga TDL yang pastinya kenaikan keduanya akan memacu harga pangan dan inflasi secara sistemik.

Fakta lain yang tidak bisa diremehkan yaitu dampak pandemi dua tahun. Padahal, selama pandemi daya beli rakyat turun, belum lagi kasus PHK massal dan peningkatan pengangguran yang berdampak ke jumlah kemiskinan. Jadi, ancaman resesi dan krisis 2023 menjadi tantangan untuk mendukung ketersediaan pangan secara mudah dan murah.

Sensitif

Data Kemenaker menyebut ada sekitar 72.983 karyawan menjadi korban PHK selama pandemi. Data ini berdasar survei yang dilakukan per November 2021 kemarin. Data  selama pandemi 4.156 perusahaan telah melakukan PHK yang dipicu karena problem keuangan sebagai imbas pandemi. Data lain menunjukkan di tahun 2018 jumlah PHK bisa dikurangi sampai 3.400 atau turun 95,67% tetapi di tahun 2019 naik lagi menjadi 45.000 karyawan yang di PHK.

Kondisinya semakin runyam ketika pasca pandemi justru dibarengi krisis, termasuk imbas dari perang. Logis data LPEM FEB UI bahwa pandemi berdampak sistemik di sektor sosial ekonomi, termasuk tentu kemiskinan, pengangguran - ketimpangan. Hal ini pasti berpengaruh terhadap kemampuan pangan. Realitas ini menjadi pembenar ketika publik berharap agar pemerintah dapat menjaga stabilitas pangan sehingga harapannya harga tidak terlalu melonjak.

Problem berangkai lainnya yaitu imbas dari kenaikan harga BBM per September lalu  yang rencananya juga akan diikuti kenaikan tarif dasar listrik. Bahkan, rencana untuk mengganti subsidi gas melon dengan kompor listrik justru memicu kecemasan publik karena kekhawatiran terhadap kelangkaan gas melon dan ketidakmampuan membayar listrik. Jadi, kepanikan publik dan kecemasan sosial pastinya akan berdampak secara berantai, tidak hanya di pusat, tapi juga di daerah sehingga kondisi sosial ekonomi di dipastikan juga terdampak.

Oleh karena itu, bansos menjadi salah satu strategi untuk meredam gejolak harga, meskipun di sisi lain juga berperan untuk mendukung bagi pembelian pangan masyarakat. Meskipun demikian tetap harus diwaspadai sensitivitas harga karena sangat rentan terhadap keperilakuan sosial –konsumen di era now.

Sensitivitas harga merupakan salah satu persoalan utama dalam pemasaran sehingga situasinya menjadi sangat rentan terhadap daya beli. Padahal, kemampuan daya beli itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, misal pendapatan, kondisi ekonomi, gaya hidup, perilaku sosial, dll. Oleh karena itu sensitivitas harga ini menjadi sangat rentan terhadap terjadinya perubahan perilaku konsumen terkait konsumsinya.

Artinya, fakta sensitivitas harga sangatlah fatal memicu perubahan konsumsi karena pertimbangan selisih harga. Bahkan kenaikan harga BBM dipastikan menjadi salah satu pemicu dari sensitivitas harga. Oleh karena itu, jaminan pangan yang mudah - murah untuk rakyat akan tereduksi dengan adanya sensitivitas harga dan pastinya ini juga sangat rentan memicu laju inflasi.

Data BPS menyebut terjadi deflasi di Oktober 2022 sebesar 0,11% dibanding bulan sebelumnya (September inflasi 1,17%) sehingga inflasi tahun kalender dari Januari - Oktober 2022 sebesar 4,73% dan secara tahunan inflasi 5,71%. Terkait ini, persoalan pangan tidak saja ditentukan ketersediaannya tapi juga produktivitas lahan pertanian. Padahal, persoalan alih fungsi lahan kini menjadi isu global. Fakta alih fungsi lahan tidak bisa terlepas dari problem dasar tuntutan ketersediaan perumahan-permukiman.

Oleh karena itu, ledakan jumlah penduduk secara tidak langsung berpengaruh negatif terhadap kepemilikan lahan. Artinya, ketika jumlah penduduk lebih 200 juta jiwa dan masih menjadi yang terbesar ke-4 didunia maka ini membutuhkan perumahan dan permukiman. Hal ini menjadi pembenar ancaman swasembada dan ketahanan pangan sementara ancaman yang muncul yaitu ketidakberdayaan masyarakat terhadap pangan dan akhirnya ini dipenuhi dengan impor yang cenderung terus meningkat setiap tahun.

Stabilitas

Gambaran di atas menyiratkan stabilisasi harga pangan dan pengendalian inflasi pasti akan menjadi tantangan berat, apalagi sudah ada kenaikan harga BBM dan rencana kenaikan TDL yang ditambah juga ancaman resesi global. Meski ada Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah tapi potensi laju inflasi sampai akhir 2022 harus diwaspadai, apalagi ada ancaman inflasi musiman selama nataru. Di sisi lain, menjelang pilpres di 2024 juga harus dicermati agar isu harga pangan dan inflasi tidak dimanfaatkan oleh segelintir oknum untuk memperkeruh iklim sospol.

Ketahanan pangan merupakan isu penting karena tidak saja menyangkut hajat hidup tapi juga sensitivitas harga yang rentan terhadap kemampuan daya beli. Oleh karena itu beralasan jika pangan tidak bisa lepas dari komitmen pasokan, distribusi dan harga karena rentan memicu laju inflasi.

Hal ini memberikan gambaran impor pangan tidak hanya berdampak terhadap neraca perdagangan tapi juga rentan terhadap pasokan di masa depan, sekaligus menjadi ironi karena Indonesia termasuk negara agraris. Oleh karena itu, pemerintah baik pusat dan daerah perlu mencermati isu pangan karena hal ini sangat sensitif untuk dipolitisasi, terutama menjelang tahun politik 2024 nanti, sementara di sisi lain ada ancaman resesi dan krisis pada 2023 sehingga isu pangan menjadi sangat riskan dan sensitif.

BERITA TERKAIT

Menolak Narasi Palsu Tentang Indonesia Gelap

    Oleh: Nana Sukmawati,  Mahasiswa PTS di Palembang   Narasi Palsu terkait "Indonesia Gelap" yang beredar belakangan ini mencuat…

Komitmen Pemerintah Terus Perkuat Sistem Pengawasan Gizi MBG

    Oleh : Doni Wicaksono, Pemerhati Pangan     Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam membangun generasi sehat dan…

Langkah Strategis Mendorong Produktivitas di Tengah Tantangan Ekonomi

      Oleh: Bagus Pratama, Peneliti Ekonomi Pembangunan   Pelemahan ekonomi global yang sedang berlangsung telah memberikan dampak pada…

BERITA LAINNYA DI Opini

Menolak Narasi Palsu Tentang Indonesia Gelap

    Oleh: Nana Sukmawati,  Mahasiswa PTS di Palembang   Narasi Palsu terkait "Indonesia Gelap" yang beredar belakangan ini mencuat…

Komitmen Pemerintah Terus Perkuat Sistem Pengawasan Gizi MBG

    Oleh : Doni Wicaksono, Pemerhati Pangan     Pemerintah terus menunjukkan komitmen kuat dalam membangun generasi sehat dan…

Langkah Strategis Mendorong Produktivitas di Tengah Tantangan Ekonomi

      Oleh: Bagus Pratama, Peneliti Ekonomi Pembangunan   Pelemahan ekonomi global yang sedang berlangsung telah memberikan dampak pada…