Era Baru RKUHP

 

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi salah satu regulasi yang telah dimatangkan oleh pemerintah, meski sudah pernah akan disahkan pada 2019, Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda pengesahan tersebut agar mendapatkan beragam masukan. Sehingga RKUHP akan menjadi harapan baru hukum pidana di Indonesia.

RKUHP memang perlu untuk segera disahkan, apalagi Indonesia memang membutuhkan hukum pidana baru yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Menurut Benny Rianto, Guru Besar Hukum Undip, RKUHP perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana. Karena ada pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana saat ini, yakni dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban) dan rehabilitatif (bagi keduanya).

Tidak hanya itu. Benny juga mengungkapkan, adanya protes terhadap RUU KUHP diprakarsai oleh minimnya keterlibatan partisipasi publik dan beberapa pasal yang kontroversial. Untuk itu, pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui diskusi dan seminar. Jelas, beberapa rumusan norma dalam RUU KUHP juga mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Misalnya, rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi.

            Selain itu, RUU KUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, seperti menyatakan diri memiliki kekuatan gaib yang dapat mencelakakan orang lain.

            RUU KUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya dan bangsa. Dalam RUU KUHP Pasal 477 misalnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya dan bangsa di mana persetubuhan dengan anak di bawah usia 18 tahun, meski didasari suka sama suka, hal tersebut dikategorikan sebagai perkosaan.

            Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, Benny mengungkapkan bahwa substansi RUU KUHP sudah sangat ideal sebagai norma hukum pidana nasional. Karena itu, perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali.

            Apabila masih ada ketidaklengkapan dari RUU KUHP, tentu saja masih tersedia mekanisme revisi undang-undang bahkan kalau ada norma yang dianggap keliru bisa diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). 

            Patut disadari, KUHP Peninggalan zaman kolonial Belanda yang masih dipakai sampai saat ini, secara politik hukum belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa apalagi nilai-nilai dasar Falsafah Negara yaitu Pancasila. Oleh karenanya, semua produk hukum kolonial perlu segera diganti dengan produk hukum nasional.

            Adalah wajar jika gagasan pemerintah untuk mengajukan RKUHP kepada DPR merupakan kehendak yang patut diapresiasi. Sebab sejak digagas pada tahun 1964 oleh guru besar dan ahli hukum pidana, RKUHP merupakan suatu perubahan sistem hukum pidana yang dinamis sifatnya, baik dari sisi tempat (place), ruang (space) dan waktu (time).

            Karenanya, pembaruan hukum pidana melalui RKUHP tidak saja mempertimbangkan faktor asas demokratisasi, modernisasi dan dekolonisasi sistem Hukum Pidana, tetapi juga mempertimbangkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, living law (adat), yang dilakukan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi hukum pidana.

            Bahkan, RKUHP telah mengantisipasi pengaruh globalisasi yang universal di bidang ekonomi dengan dampak dan efeknya pada peran kompetensi hukum pidana. Seperti adanya perbedaan pendapat dalam rumusan RUU KUHP merupakan hal yang sangat wajar. Tetapi jika melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi di balik rumusan delik hukum pidana sejak 1964, mungkin masyarakat akan mengerti maksud serta tujuan dari rumusan delik tersebut. Di sisi lain, sosialisasi RKUHP mutlak diperlukan, bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluh hukum pidana baru tetap diperlukan.

            Pergantian atau revisi KUHP memang diperlukan hal ini dikarenakan hukum merupakan pelayan masyarakat di mana hukum itu berlaku.  Dan saat ini Indonesia sudah berubah dari masyarakat kolonial atau terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Karena itu, hukum kolonial harus diganti dengan hukum nasional.

            Pembentukan KUHP sendiri merupakan salah satu politik hukum pertama yang diperintahkan oleh konstitusi untuk disusun di Indonesia. Aturan Peralihan pasal II UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 menyebutkan bahwa “hukum dan lembaga-lembaga peninggalan kolonial masih berlaku sepanjang belum dibentuk hukum dan lembaga baru.”

BERITA TERKAIT

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Kejar Pajak Tambang !

    Usaha menaikkan pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti royalti dari perusahaan tambang batubara merupakan sebuah tekad…

Pemerintah Berutang 2 Tahun?

  Wajar jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan kaget saat mendengar kabar bahwa Kementerian Perdagangan belum…

Hilirisasi Strategis bagi Ekonomi

Menyimak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023 tumbuh sebesar 5,4 persen ditopang oleh sektor manufaktur yang mampu tumbuh sebesar 4,9…