CHC vs THC

 

Oleh: Siswanto Rusdi

Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

 

Container handling charge (CHC) di terminal-terminal peti kemas yang berada dalam pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, akan naik. Niat itu kini tengah dibahas oleh berbagai pihak yang menurut regulasi (PM No. 72/2017) harus dimintai persetujuannya sebelum tarif baru berlaku efektif. Ada INSA, APBMI, GINSI dan lainnya. Menaikkan CHC dipilih karena sudah sekian lama pungutan tersebut tidak naik. Sejak 2008.

Mantan petinggi salah satu operator pelabuhan pernah mengungkapkan, pendapatan terminal peti kemas 50% didapat dari aktivitas bongkar-muat dan 50% lainnya dari penumpukan. Penumpukan di sini meliputi semua jenis kargo, termasuk peti kemas. Dengan adanya kebijakan nasional yang melarang penumpukan di container yard (CY) demi mengejar angka dwelling time yang kecil, pendapatan dari usaha penumpukan, dalam hal ini peti kemas, turun drastis, tinggal 20% saja. Jadi, utak-atik CHC jelas tak terhindarkan sebagai upaya bertahan hidup.

Dalam catatan saya, isu CHC muncul dalam bisnis terminal peti kemas nasional pada 2006. Saat itu, melalui Menteri Perhubungan (Hatta Rajasa) mengatur tarif CHC sebesar US$77 per peti kemas 20 kaki. Sementara tarif terminal handling charge atau THC sebesar US$95 per peti kemas 20 kaki. Adapun biaya dokumen atau document fee sebesar Rp 100.000 per bill of lading. Sebelum Hatta meluncurkan kebijakannya itu, tarif masing-masing pos sebesar US$93/20 kaki, US$ 120/20 kaki dan US$ 10/bill of lading. Dua tahun setelahnya, komposisi tarif-tarif tersebut seperti ini: CHC US$83/20 kaki dan THC US$95/20 kaki. Biaya dokumen atau BL tetap.

Ada hal yang menarik dari angka-angka itu. Ternyata CHC yang dipungut oleh terminal peti kemas yang beroperasi di pelabuhan Tanjung Priok hari ini lebih rendah dari tarif yang berlaku pada 2006. Makanya ketika petinggi INSA menyatakan, seperti yang dikutip oleh media, bahwa pihaknya bisa memahami rencana kenaikan tarif CHC di pelabuhan tersibuk di Indonesia ada benarnya. Yang juga sama-sama menarik adalah keberadaan THC. Barang ini selalu mengintili CHC. Dan, nilainya selalu lebih besar dari yang pertama.

CHC adalah biaya yang dikenakan oleh pengelola terminal peti kemas kepada pengguna jasanya, yaitu shipping line. Dalam pelaksanaannya, ketika membayar CHC kepada manajemen terminal peti kemas, pihak pelayaran juga menagihkan THC kepada shipper atau pemilik barang. Di luar itu, pelayaran juga mengenakan surcharge untuk setiap peti kemas, 20 kaki maupun 40 kaki. Boleh dikatakan THC adalah gabungan CHC dan surcharge.

Kendati mencantumkan kata terminal, THC sejatinya tidak ada sangkut paut sama sekali dengan pengelola terminal petikemas. Pungutan ini dikutip oleh perusahaan pelayaran asing. Pelaksanaan pemungutan THC di Indonesia dijalankan oleh pelayaran nasional yang menjadi agen mereka di sini. Celakannya, pelayaran nasional itu tidak jarang menjalankan bisnisnya hanya sebagai pemungut THC ketimbang perusahaan pelayaran yang sebenarnya yang memiliki kapal.

THC dimaksudkan untuk menutupi biaya lain-lain yang dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran sebagai akibat, utamanya, kelalaian/kelambatan pemilik barang atau pengelola terminal. Dengan kata lain, THC merupakan biaya biaya tambahan yang pengenaannya tanpa ada pembicaraan dengan pemilik barang terlebih dahulu. Dikenakannya THC oleh pelayaran asing sepertinya hanya akal-akalan semata. Akumulasi dari THC itu amat sangat besar jumlahnya. Dari pengguna jasa mereka di Indonesia jumlahnya bisa trilyunan rupiah sejak 2006.

Muncul pertanyaan, mengapa pelayaran asing tidak menaikkan saja tarif angkut untuk menutupi biaya-biaya mereka ketimbang mengenakan THC? Padahal seperti itulah seharusnya. Pelayaran mesti mendapatkan penghasilan dari freight, bukan dari lainnya. Alan Murphy, head of consultancy Sea Intelligence, pernah mengatakan bahwa sudah sepuluh tahun freight terakhir pelayaran peti kemas tidak naik.

Begitu pandemi, mulailah ongkos angkut itu naik. Menurut firma konsultasi Mckinsey, freight pelayaran kontainer sudah naik enam kali lipat dibanding awal 2019. Dengan kenaikan yang ada, pelayaran peti kemas membukukan keuntungan fantastis sepanjang eksistensi mereka. Dilaporkan oleh berbagai media, pelayaran peti kemas membukukan pendapatan sekitar US$48,1 miliar hingga trisemester 2021 lalu.

Pencapaian itu sembilan kali lipat melebihi pendapatan yang diperoleh dalam periode yang sama pada 2020 sebesar US$ 5,1 miliar. Perolehan spektakuler tersebut mengalahkan penghasilan yang dibukukan oleh FANG (Facebook, Amazon, Netflix, Google). Menariknya, pencapaian pada 2020 itu sendiri sebetulnya sudah luar biasa bagi pelayaran kontainer. Tidak pernah mereka segemilang itu sebelumnya. Diramalkan, bisnis pelayaran peti kemas akan tetap bersinar di tahun 2022, seperti kondisinya saat ini.

BERITA TERKAIT

Tantangan Fiskal dalam Perekonomian Suram

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Kebijakan fiskal di Indonesia telah terbukti selalu  mampu menyelamatkan rakyat dan  perkonomian…

Antisipasi Ketidakpastian Global

Oleh: Haryo Limanseto Juru Bicara Kemenko Perekonomian Mempertimbangkan stabilitas perekonomian global yang masih dihadapkan pada berbagai tantangan seperti ketidakpastian geopolitik,…

Ide Ngawur

   Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi kembali melontarkan gagasan kontroversial dalam…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan Fiskal dalam Perekonomian Suram

  Oleh: Marwanto Harjowiryono Pemerhati Kebijakan Fiskal   Kebijakan fiskal di Indonesia telah terbukti selalu  mampu menyelamatkan rakyat dan  perkonomian…

Antisipasi Ketidakpastian Global

Oleh: Haryo Limanseto Juru Bicara Kemenko Perekonomian Mempertimbangkan stabilitas perekonomian global yang masih dihadapkan pada berbagai tantangan seperti ketidakpastian geopolitik,…

Ide Ngawur

   Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi kembali melontarkan gagasan kontroversial dalam…