BI Tak Perlu Buru-Buru Naikkan Suku Bunga

 

 

NERACA

Jakarta – Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai Bank Indonesia (BI) tidak perlu terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuan karena depresiasi rupiah masih bisa diatasi dengan cadangan devisa.

"BI belum mau menaikkan suku bunganya, karena kalau yang dikhawatirkan, misalnya stabilitas nilai tukar rupiah yang dipengaruhi oleh capital flow, tampaknya kemarin tekanannya tidak terlalu besar, sehingga bisa diperangi dengan cadangan devisa," kata Faisal melalui sambungan telepon di Jakarta, Senin (11/7).

Direktur Eksekutif CORE tersebut juga mengingatkan BI perlu melihat kondisi kedepan, sehingga kalau rupiah tekanannya begitu besar dan cadangan devisa cepat terkuras, mungkin sudah perlu menaikkan suku bunga. "Kalaupun dinaikkan saya rasa tidak perlu ada kejutan besar sampai diatas 25 bps, pelan-pelan saja," jelasnya.

Selain itu, menurut Faisal BI juga harus mengkalkulasi dampak lanjutan terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama kalau suku bunga naik. "Dampaknya adalah penyaluran kredit perbankan ke sektor riil jadi lebih mahal jadi kredit untuk mendapatkan pendanaan para pelaku usaha di Indonesia lebih mahal, lalu pertumbuhan kita juga akan mengalami perlambatan," katanya.

Dari sisi fiskal, Faisal menambahkan pemerintah juga telah menambah alokasi subsidi untuk energi seperti Pertalite, elpiji 3 kilogram dan tarif listrik untuk meredam potensi inflasi. "Hal itu yg meredam inflasi sehingga BI tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga karena menurut inflasi masih moderat. Jadi itu yang dibutuhkan dari sisi fiskal supaya sinergi," katanya.

Dalam kesempatan ini, Faisal juga memproyeksikan pada semester II-2022, BI akan meningkatkan suku bunga acuan paling tidak sampai 50 bps, untuk merespon kebijakan lanjutan dari The Fed. Sebelumnya, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan BI7DRR sebesar 3,5 persen sejak Maret 2021 atau selama 15 bulan, meski bank sentral di beberapa negara lain telah melakukan penyesuaian suku bunga.

Dilain sisi, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan Bank Indonesia (BI) perlu menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin atau menjadi 4 persen untuk menekan laju aliran modal keluar. "Kecepatan capital outflow menentukan. Investor memandang (suku bunga) tidak cukup menarik karena The Fed naiknya cukup tinggi, kita nggak ada respon," kata Tauhid.

Ia mengatakan langkah kenaikan suku bunga itu juga perlu dilakukan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 Juli 2022 untuk menekan laju inflasi yang sudah mencapai 4,35 persen (yoy) pada Juni 2022. Menurut dia, kebijakan bank sentral dalam merumuskan instrumen moneter dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) masih belum mampu menekan laju inflasi.

Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga bisa menekan depresiasi rupiah yang angka psikologisnya sudah mencapai Rp15.000 per dolar AS. Pergerakan rupiah ini sudah di atas 8 hingga 9 persen dari asumsi APBN 2022. "Otomatis (untuk) kembali ke titik normalnya (nilai tukar rupiah) harus punya daya tarik melalui suku bunga BI-nya," ujar Tauhid.

Tauhid menambahkan pengetatan likuiditas dari sisi suku bunga harus lebih gencar agar tidak terjadi over keeping yang bisa mencegah terjadinya konsumsi. Oleh karena itu, ia mengatakan kenaikan 50 basis poin pada Juli nanti adalah start poin yang paling tepat. Kemudian BI bisa melakukannya secara bertahap hingga akhir tahun 2022. "Agar cepat merespon capital outflow dan juga nilai tukar dan inflasi," kata Tauhid.

Tauhid pun memperkirakan, jika dilihat dari tradisi, BI akan menaikkan suku bunga maksimal dua kali hingga akhir tahun 2022. Hal ini bergantung juga dengan kenaikan suku bunga oleh The Fed. Dari sisi fiskal, pemerintah bisa memberikan dukungan melalui optimalisasi kebijakan fiskal seperti skema subsidi atau bantuan sosial untuk meredam dampak kenaikan suku bunga.

Dengan demikian, menurut dia, konsumsi masyarakat tidak akan terlalu jatuh dan tidak mempengaruhi kinerja pertumbuhan ekonomi, meski nantinya likuiditas semakin ketat. "Agar cost yang ditanggung masyarakat dari sisi bansos maupun subsidi BBM bisa berkurang," kata Tauhid.

BERITA TERKAIT

Manulife Syariah Resmi Mengenalkan Maruf Amin Sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah

  NERACA Jakarta – Manulife Syariah Indonesia secara resmi memperkenalkan Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah yang telah ditunjuk pada…

OJK Catat Investasi Dana Pensiun Sukarela Capai Rp371, 40 Triliun

  NERACA Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, total investasi dana pensiun sukarela mencapai Rp371,40 triliun per Maret 2025, meningkat…

BRI Siapkan Fasilitas Pembiayaan Rp700 Miliar ke Pelni

  NERACA Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) memberikan fasilitas cash loan (CL) dan non-cash loan (NCL) senilai Rp700 miliar kepada…

BERITA LAINNYA DI Jasa Keuangan

Manulife Syariah Resmi Mengenalkan Maruf Amin Sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah

  NERACA Jakarta – Manulife Syariah Indonesia secara resmi memperkenalkan Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah yang telah ditunjuk pada…

OJK Catat Investasi Dana Pensiun Sukarela Capai Rp371, 40 Triliun

  NERACA Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, total investasi dana pensiun sukarela mencapai Rp371,40 triliun per Maret 2025, meningkat…

BRI Siapkan Fasilitas Pembiayaan Rp700 Miliar ke Pelni

  NERACA Jakarta - PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) memberikan fasilitas cash loan (CL) dan non-cash loan (NCL) senilai Rp700 miliar kepada…