Dugaan Kasus Kredit Batubara, Jaksa Agung dan KPK Diminta Turun Tangan

Dugaan Kasus Kredit Batubara, Jaksa Agung dan KPK Diminta Turun Tangan
NERACA
Jakarta - Aliansi Mahasiswa Peduli Hukum Indonesia (AMPHI) mengajukan petisi online di Change.org. Petisi tersebut berisikan tentang desakan untuk Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) terkait dugaan pembiayaan tanpa agunan ke perusahaan tambang batu bara di Sumatera Selatan.
Berdasarkan pantauan di website Change.org, AMPHI menduga jika BNI memberikan kredit tanpa colleteral atau agunan yang tidak seimbang dengan jumlah dana yang disalurkan, bahkan melanggar prinsip 6C (Character (Watak), Capacity /Cashflow (Kapasitas), Capital (Modal), Collateral (Agunan), Condition of Economy (Kondisi Perekonomian) dan Constraint) yang berpotensi merugikan keuangan negara triliunan rupiah.
Bahkan tersiar kabar jika perusahaan tambang tersebut kini sedang mengajukan restrukturisasi utang ke BNI, karena sudah tidak mampu bayar bunga kredit bernilai triliunan tersebut. Sebelumnya, dalam laporan lembaga Urgewald yang berbasis di Jerman, BNI terbukti sebagai salah satu dari enam bank di Indonesia yang masih memberikan pinjaman ke perusahaan batu bara.
Terlebih, BNI saat ini telah bekerjasama dengan 166 kampus di Indonesia, agar para mahasiswa bisa menyetorkan biaya pendidikan melalui bank tersebut. "Artinya, secara gak langsung uang kuliah kita ternyata dipakai perusahaan tambang batu bara yang gak profit plus ikut menyumbang kerusakan alam!," tulis AMPHI dalam petisi tersebut sebagaimana dikutip pada Kamis (23/6). 
Jika praktik tersebut terus dibiarkan, AMPHI khawatir dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan berpotensi terjadinya rush money atau pengambilan uang secara besar-besaran oleh masyarakat. Jika itu terjadi, dapat mengganggu roda perekonomian negara, stabilitas perbankan Indonesia serta program pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19.
Meskipun kasus tersebut telah diberitakan sejumlah media massa hingga beredar di media sosial dan menjadi perhatian publik, namun AMPHI menilai tak kunjung segera ditanggapi oleh para penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan. "Padahal keberadaan mafia tambang ini juga menyerobot tambang milik orang lain bekerja sama dengan oknum aparat sudah sangat meresahkan," tulis mereka.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad mengatakan jika terdapat laporan, mendesak penegak hukum harus menindaklanjuti untuk menentukan adanya unsur pidana atau tidak. "Laporan tersebut perlu diverifikasi. Jika memenuhi syarat suatu laporan, perlu dilakukan penyelidikan. Jika ada unsur pidananya, maka ditindaklanjuti dengan penyidikan," kata Suparji kepada wartawan.
Sementara pakar hukum bisnis dari Universitas Airlangga Prof Budi Kagramanto juga menegaskan perbankan sepatutnya selektif dalam memberikan pendanaan atau pinjaman. Terlebih, pada  perusahaan industri tambang dengan segala potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
AMPHI sebelumnya juga telah melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung pada Senin 13 Juni 2022 lalu. Koordinator AMPHI Jhones Brayen mengatakan bahwa pihaknya akan diberitahukan terkait tindaklanjut laporan tersebut.

 

NERACA


Jakarta - Aliansi Mahasiswa Peduli Hukum Indonesia (AMPHI) mengajukan petisi online di Change.org. Petisi tersebut berisikan tentang desakan untuk Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) terkait dugaan pembiayaan tanpa agunan ke perusahaan tambang batu bara di Sumatera Selatan.

Berdasarkan pantauan di website Change.org, AMPHI menduga jika BNI memberikan kredit tanpa colleteral atau agunan yang tidak seimbang dengan jumlah dana yang disalurkan, bahkan melanggar prinsip 6C (Character (Watak), Capacity /Cashflow (Kapasitas), Capital (Modal), Collateral (Agunan), Condition of Economy (Kondisi Perekonomian) dan Constraint) yang berpotensi merugikan keuangan negara triliunan rupiah.

Bahkan tersiar kabar jika perusahaan tambang tersebut kini sedang mengajukan restrukturisasi utang ke BNI, karena sudah tidak mampu bayar bunga kredit bernilai triliunan tersebut. Sebelumnya, dalam laporan lembaga Urgewald yang berbasis di Jerman, BNI terbukti sebagai salah satu dari enam bank di Indonesia yang masih memberikan pinjaman ke perusahaan batu bara.

Terlebih, BNI saat ini telah bekerjasama dengan 166 kampus di Indonesia, agar para mahasiswa bisa menyetorkan biaya pendidikan melalui bank tersebut. "Artinya, secara gak langsung uang kuliah kita ternyata dipakai perusahaan tambang batu bara yang gak profit plus ikut menyumbang kerusakan alam!," tulis AMPHI dalam petisi tersebut sebagaimana dikutip pada Kamis (23/6). 

Jika praktik tersebut terus dibiarkan, AMPHI khawatir dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan berpotensi terjadinya rush money atau pengambilan uang secara besar-besaran oleh masyarakat. Jika itu terjadi, dapat mengganggu roda perekonomian negara, stabilitas perbankan Indonesia serta program pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19.

Meskipun kasus tersebut telah diberitakan sejumlah media massa hingga beredar di media sosial dan menjadi perhatian publik, namun AMPHI menilai tak kunjung segera ditanggapi oleh para penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan. "Padahal keberadaan mafia tambang ini juga menyerobot tambang milik orang lain bekerja sama dengan oknum aparat sudah sangat meresahkan," tulis mereka.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Suparji Ahmad mengatakan jika terdapat laporan, mendesak penegak hukum harus menindaklanjuti untuk menentukan adanya unsur pidana atau tidak. "Laporan tersebut perlu diverifikasi. Jika memenuhi syarat suatu laporan, perlu dilakukan penyelidikan. Jika ada unsur pidananya, maka ditindaklanjuti dengan penyidikan," kata Suparji kepada wartawan.

Sementara pakar hukum bisnis dari Universitas Airlangga Prof Budi Kagramanto juga menegaskan perbankan sepatutnya selektif dalam memberikan pendanaan atau pinjaman. Terlebih, pada  perusahaan industri tambang dengan segala potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

AMPHI sebelumnya juga telah melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung pada Senin 13 Juni 2022 lalu. Koordinator AMPHI Jhones Brayen mengatakan bahwa pihaknya akan diberitahukan terkait tindaklanjut laporan tersebut.

BERITA TERKAIT

Pengelolaan Finansial Mumpuni Tumbuhkan Kewirausahaan

  NERACA Jakarta – Di tengah semakin kompleksnya tantangan dunia usaha, kewirausahaan tidak lagi dipahami sekadar sebagai aktivitas berjualan atau…

Regulasi Adaptif untuk Lindungi Pebisnis di Era "Gig Economy"

    NERACA Jakarta – Direktur Program dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai adanya…

Pemerintah Optimis Target Pertumbuhan Ekonomi Tercapai

    NERACA Jakarta – Di tengah tantangan global dan ketidakpastian perekonomian dunia, Pemerintah Indonesia tetap optimis bahwa target pertumbuhan…

BERITA LAINNYA DI Ekonomi Makro

Pengelolaan Finansial Mumpuni Tumbuhkan Kewirausahaan

  NERACA Jakarta – Di tengah semakin kompleksnya tantangan dunia usaha, kewirausahaan tidak lagi dipahami sekadar sebagai aktivitas berjualan atau…

Regulasi Adaptif untuk Lindungi Pebisnis di Era "Gig Economy"

    NERACA Jakarta – Direktur Program dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menilai adanya…

Pemerintah Optimis Target Pertumbuhan Ekonomi Tercapai

    NERACA Jakarta – Di tengah tantangan global dan ketidakpastian perekonomian dunia, Pemerintah Indonesia tetap optimis bahwa target pertumbuhan…