Oleh Dr. Wirawan B. Ilyas, Ak, SH, MH, MSi, CPA, BKP Senior Partner Times Law Firm
Mencermati Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang berasaskan pada aspek keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional diperlukan keseimbangan hukum antara Wajib Pajak dengan Otoritas Pajak dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bagaimana keadilan dan kepastian hukum dapat terwujud dengan baik jika Wajib Pajak dalam menjalankan hak dan kewajiban tidak mempunyai keseimbangan hukum sebagaimana mestinya. Pajak adalah hukum. Hal ini jelas tercantum pada Pasal 23A Undang-undang Dasar 1945. Untuk itu Wajib Pajak sebagai warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Beragam dan persoalan pajak yang terjadi selama ini dapat kita lihat pada saat Wajib Pajak menghadapi pemeriksaan, keberatan, banding sampai ke tahap peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Begitu juga terkait dengan pidana pajak. Pada UU HPP norma yang mengatur tentang kuasa Wajib Pajak terdapat pada Pasal 32 ayat 2 dan ayat 3a. Hal yang sama juga sudah diatur pada UU No. 28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU KUP).
Beberapa waktu yang lalu Mahkamah Konstitusi telah memutuskannya dengan Putusan No. 63/PUU-XV/2017 yang menegaskan persoalan penormaan profesi Kuasa Pajak (KP) yang terdapat dalam Pasal 32 ayat (3) UU No 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UUKUP) yang merupakan putusan yang terang benderang memberi penegasan peran Advokat sebagai Kuasa Hukum Wajib Pajak.
Penormalan Kuasa Pajak
Penyebutan Konsultan Pajak yang dinyatakan secara tegas dalam Pasal 35 ayat (1) UUKUP sebagai pihak ketiga yang diwajibkan memberi keterangan kepada otoritas pajak. Sedikit mengganggu dan menimbulkan pertanyaan secara hukum, mengapa terminologi Konsultan Pajak dijelaskan dalam penjelasan Pasal 35.
Apabila dibaca setelah terbitnya Putusan MK No. 63/PUU-XV/2017, kejelasaan hukumnya semakin terang bahwa pengaturan Konsultan Pajak dalam UUKUP tidak berkepastian hukum. Dengan kata lain, profesi Konsultan Pajak bukanlah merupakan profesi yang ‘eksklusif’ yang tidak bisa dijalankan pihak lain, khususnya Advokat.
MK memutuskan bahwa Advokat merupakan profesi yang dapat menjalankan pemberian konsultasi hukum dan menjadi kuasa bagi Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Artinya, Putusan MK telah memberi landasan hukum sangat kuat bagi Advokat memberikan jasa hukum yang diberikan kepada WP.
Bahkan, MK telah meluruskan kekeliruan yang terjadi selama bertahun-tahun bahwa Konsultan Pajak yang boleh mendampingi dan memberikan jasa hukum kepada Wajib Pajak. Putusan MK telah mengubah pola pikir (mindset) yang tidak tepat selama ini, dan diluruskan sesuai dengan konsep hukum yang benar atas kesalahan selama ini. Tampaknya perubahan sudah tercermin pada UU HPP yang tidak menyebutkan lagi “diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” pada Pasal 32 Ayat 3a.
Pemberian jasa hukum yang diberikan Konsultan Pajak esensinya merupakan bagian yang tidak berbeda dengan jasa hukum yang diberikan Advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, kuasa dan pendampingan hukum kepada klien (Pasal 1 UU Advokat No. 18/2003). Kalau begitu, sangat tepat jika MK memutuskan Advokat berperan sebagai Kuasa Pajak bagi klien di bidang hukum pajak.
UU Advokat tidak membatasi jasa hukum apa saja yang dapat diberikan Advokat. Segala aspek kehidupan di masyarakat pasti bersinggungan dengan hukum. Itu sebabnya, Advokat dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pajak supaya tercipta keadilan dan kepastian dalam hukum pajak seperti yang tertera dalam asas UU HPP pada Pasal 1 Ayat 1.
Bagaimana Kedepan?
Menurut penulis, keberadaan UU Advokat dikaitkan dengan UUKUP menjadi persoalan serius yang mesti dicarikan solusinya. Dengan keluarnya UU HPP memberi kejelasan hukum bagi profesi Advokat sebagai profesi penegak hukum dibidang perpajakan. Karena hakikinya, profesi Kuasa Pajak adalah sama persis dengan profesi Advokat, yang memberikan jasa konsultasi hukum dalam segala bidang hukum, tanpa terkecuali.
Kalau begitu, adalah sangat tidak tepat jika persoalan pajak hanya ditangani oleh pihak yang berprofesi sebagai Konsultan Pajak dengan acuan hanya aturan berupa PMK seperti yang ada selama ini. Ketika MK memutuskan Advokat dapat menjadi kuasa Wajib Pajak, maka norma dalam PMK harus batal demi hukum.
Luasnya jasa hukum yang diberikan Advokat menunjukkan Advokat merupakan profesi terhormat (officium nobile) yang dibutuhkan untuk memberi keadilan di masyarakat. Kalau begitu, Putusan MK telah meluruskan pola pikir yang bertahun-tahun selama ini keliru.
Logika hukumnya, ketika klien atau Wajib Pajak hendak memberi kuasa kepada seseorang, mestilah dianggap penerima kuasa dapat memahami masalah klien. Kuasa harus mempelajari aturan serta persoalan hukumnya sebelum menjalankan kuasanya. Menjadi tidak lazim dan aneh jika kuasa menerima klien begitu saja tetapi tidak memahami permasalahan hukumnya. Tentu Advokat harus meningkatkan kompetensi profesionalnya dibidang hukum pajak.
Sisi filosofis Putusan MK telah tidak membatasi lagi hak konstitusional Advokat dalam menjalankan profesinya. Itu sejalan dengan pandangan filsuf Perancis, George Gurvitch (1894-1965) bahwa kehidupan berjalan aman berkat hubungannya dengan keadilan, berkat nilai keadilan yang hendak diwujudkannya. Undang-undang HPP sudah jelas tidak menyebutkan lagi peraturan Menteri Keuangan sebagai acuan Kuasa Hukum dibidang perpajakan.
Simpulan
Putusan MK yang dengan tegas menyatakan peran Advokat sebagai Kuasa Wajib Pajak dan terbitnya UU HPP memberikan kepastian hukum peran strategis Advokat dalam mendampingi, memberi bantuan hukum sebagai Kuasa Hukum Wajib Pajak baik saat non litigasi maupun saat litigasi. Aturan turunan dari UU HPP wajib diselesaikan oleh pemerintah secepatnya dengan tetap berpegang tegak lurus dengan norma yang ada pada UU HPP, Putusan Mahkamah Konstitusi wajib dipatuhi oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan.
Oleh: Pande K. Trimayuni, Sekjen DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, pada Jumat…
Oleh: Indah Hapsari, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam membangun pemerataan akses energi melalui pelaksanaan…
Oleh: Marinus Imbenai, Pemerhati Lingkungan Hutan Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan terindah di Indonesia, dengan…
Oleh: Pande K. Trimayuni, Sekjen DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, pada Jumat…
Oleh: Indah Hapsari, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam membangun pemerataan akses energi melalui pelaksanaan…
Oleh: Marinus Imbenai, Pemerhati Lingkungan Hutan Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan terindah di Indonesia, dengan…