Menyongsong Energi Bersih Dengan Elektrifikasi Transportasi

“Jakarta terasa puncak, udaranya segar dan masih bersih jam 9 pagi. Padahal kalau normalnya, jam 8 saja sudah terasa polusi udara karena kemacetan lalu lintas jam orang berangkat kantor,”kata Imelda salah satu tenaga medis yang bekerja di Pusat Layanan Kesehatan (Puskesmas) Tanah Abang. Dirinya bercerita, selama bekerja di pusat ibu kota, baru merasakan bersihnya udara Jakarta dari polusi kendaraan di saat pandemi ini.

Ibu dua anak ini mengakui, kondisi pandemi Covid-19 dengan diberlakukan pembatasan mobilitas masyarakat oleh pemerintah pada pertengahan tahun 2020 kemarin membuat wajah Jakarta sebagai ibu kota bersih dari polusi kendaraan dan hiruk pikuk kesibukan. Bahkan kemacetan yang biasa dilaluinya saat bekerja di kawasan Slipi, udaranya di pagi hari masih bersih dari biasanya yang kotor karena knalpot roda dua atau angkutan umum. “Kemarin lewat Slipi, udaranya masih sejuk dan bebas debu,”tuturnya.

Cerita yang sama juga dirasakan Agus (30), driver ojek online yang mengantarkan pesanan makanan  menagatakan, lalu lintas Jakarta lancar dan udaranya sejuk. “Dapat order pesanan makanan dari Kemang Jakarta, Selatan ke Sudirman hanya memerlukan beberapa menit, tidak seperti normal biasanya bisa sampai satu jam karena kemacetan,”ujarnya.

Diakuinya, langit ibu kota Jakarta di pagi hari sangat cerah dan udara sangat bersih. Adanya kebijakan pemerintah kerja dan sekolah dari rumah dalam rangka memutus rantai penyebaran virus corona menjadi faktor membuat langit Jakarta dan sekitarnnya bebas dari polusi transportasi kendaraan. Ya, baik Imelda dan Agus, keduanya cukup menikmati kualitas bersih dan sejuknya udara Jakarta pagi dan sore hari yang bebas dari polusi kendaraan.

Hal ini terlihat kontras bila dibandingkan pada hari normalnya dan bahkan Jakarta menjadi kota dengan polusi udara tertinggi ketiga di dunia. Namun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan di DKI Jakarta oleh pemerintah untuk menekan laju penularan virus corona, berdampak besar pada polusi udara ibu kota selama 20 tahun terakhir.

Koordinator Bidang Analisis Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kadarsah mengatakan, PSBB memberikan dampak signifikan terhadap penurunan tingkat polusi Jakarta. Dimana data tersebut dikumpulkan secara manual di sejumlah lokasi di Jakarta, yakni Ancol, Bandengan, Glodok, Kemayoran, Monas, Bivak, Grogol dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

Hal senada juga disampaikan Gubernur DKI Jakarta, PSBB membawa dampak positif terhadap kualitas udara di Ibu Kota. Dia mengatakan, langit di Jakarta menjadi biru cerah karena berkurangnya polusi udara di karena PSBB. "PSBB yang sedang berlangsung juga membawa dampak positif bagi lingkungan. Terbukti dengan langit biru cerah, berkurangnya polutan dan kualitas udara yang baik,"ujarnya.

Disampaikanya, PSBB membuat banyak orang menerapkan gaya hidup baru termasuk menggunakan sepeda sebagai alat transportasi ramah lingkungan. Dia mengatakan, pandemi Covid-19 memberikan harapan untuk lingkungan hidup yang lebih baik dan tentunya diharapkan kebaikan yang dibawa pandemi Covid-19 untuk lingkungan bisa tetap berjalan.

Mewujudkan kualitas udara Jakarta bersih merupakan impian semua warga Indonesia, khususnya Jakarta. Dimana hal tersebut tidak bisa mengandalkan karena kondisi keadaan pandemi, tetapi perubahan dari warganya dan komitmen kebijakan pemerintah untuk mengurangi emisi di sektor transportasi menuju energi yang ramah lingkungan.

Kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), transportasi menyumbang emisi hingga 45% dari sektor energi di Indonesia. Disebutkan, sektor energi mengeluarkan 35% emisi gas rumah kaca setelah sektor lahan, hutan, dan pertanian dengan total hingga 65%. Apalagi, emisi dari transportasi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Bahkan melebihi kenaikan emisi dari sektor pembangkit listrik.

Menurutnya, kenaikan emisi dari transportasi itu disebabkan jumlah kendaraan bermotor yang terus bertambah.“Ada korelasinya dari kenaikan jumlah kendaraan bermotor. Penjualan kendaraan untuk mobil saja hampir 1 juta unit per tahun, sedangkan motor bisa sampai 8 juta. Memang tinggi, dan sebagian besar populasi kendaraan roda dua makin meningkat,” tuturnya.

Alhasil, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia dalam 10 tahun terakhir naik hingga rata-rata 1,5 sampai 1,6 juta barel per hari. Fabby mengatakan, hal yang dilakukan oleh pemerintah dalam 5-10 tahun terakhir adalah mengendalikan penggunakan BBM. Sementara selama pandemik Covid-19, konsumsi BBM kata Fabby mengalami penurunan. Kebijakan pemerintah yang membatasi aktivitas warga di luar rumah mengurangi konsumsi BBM hingga 13%. Artinya, emisi gas dari kendaraan juga mengalami penurunan.”Kita bisa mengukur dari jumlah BBM yang digunakan kendaraan bermotor selama pandemic. Kalau kita hitung dari mobilitas yang berkurang, artinya bahan bakar yang digunakan sedikit. Tidak hanya di Indonesia. Ini fenomena di seluruh dunia,” ujarnya.

Penurunan konsumsi BBM selama pandemik di dunia kata Fabby, rata-rata mencapai 7-8%. Khususnya di periode April-Juni 2020 ketika beberapa daerah menerapkan lockdown, terjadi penurunan konsumsi BBM hampir 30%. Bahkan di kota besar di Indonesia mencapai 40%.

 

Beralih Kendaraan Listrik

 

Besarnya konsumsi energi bahan bakar minyak (BBM) di sekor transportasi dan menyumbang emisi tertinggi menuntut pelaku industri otomotif untuk beralih ke energi yang ramah lingkungan dengan tren saat ini kendaraan atau mobil listrik. Pemerintah, khususnya DKI Jakarta menyadari betul kualitas udara Jakarta yang membaik juga didukung oleh transportasi umum yang semakin baik. Pasalnya, elektrifikasi transportasi dan kendaraan secara umum di Jakarta menjadi salah satu solusi yang layak digunakan sebagai salah satu usaha untuk membebaskan Jakarta dari emisi berbahaya akibat polusi dari bahan bakar fosil.

Pemerintah daerah DKI Jakarta sendiri melakukan elektrifikasi transportasi 100 unit TransJakarta pada 2021 ini. Selain itu ada berbagai insentif yang akan diterima pemilik kendaraan listrik. Sementara Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) menyambut baik dan mendukung atas peralihan energi dari fosil ke listrik bagi transportasi umum dan kendaraan pribadi.

Namun, masih ada pandangan skeptis terkait ketersediaan infrastruktur, suku cadang, hingga harga jual.”Ini menjadi pekerjaan rumah bersama, di tengah tingginya ketertarikan masyarakat yang juga sadar bahwa dengan alih energi yang bisa mengurangi polusi ini, harus ada jawaban bagaimana memecahkan permasalahan mulai dari infrastruktur, suku cadang, hingga harga jual bisa seiring dengan mobilitas masyarakat yang tinggi," kata Ketua DTKJ Haris Muhammadun.

Bagi Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Yohannes Nangoi, pihaknya mendukung produksi kendaraan listrik meski masih dihadapkan berbagai tantangan. Sebut saja, mobil listrik memiliki harga jual lebih mahal daripada mobil konvensional lantaran komponen utamanya, yaitu baterai, belum diproduksi secara massal. Sedangkan harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik.

Persoalan lain adalah jarak tempuh mobil listrik masih terbatas karena kapasitas baterai mobil listrik terbatas. Ini berbeda jika dibandingkan dengan mobil berbahan bakar minyak yang memiliki jarak tempuh panjang karena dukungan ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar. Kendati demikian, penjualan mobil listrik mengalami pertumbuhan positif dan realisasi tersebut masih terpaut jauh dari potensi pasar yang dimiliki oleh Indonesia. “Kalau mobil listrik ingin berkembang di Indonesia, kita harus menekan harga mobil listrik di bawah Rp300 juta agar daya beli masyarakat dapat menjangkau,” pungkasnya.

Gaikindo mencatat realisasi total penjualan mobil listrik di Indonesia sepanjang semester pertama 2021 mencapai 1.900 unit. Jumlah ini terdiri atas model hybrid, plug-in hybrid electric vehicle (PHEV), dan mobil listrik baterai (BEV). Rinciannya, mobil hybrid terjual 1.378 unit, PHEV 34 unit, dan BEV menyumbang 488 unit. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan realisasi tahun lalu, ketika mobil hybrid membukukan 1.108 unit penjualan, PHEV 6 unit, dan BEV  120 unit.

Penjualan mobil listrik di Indonesia pada semester pertama 2021 juga meningkat jauh dibandingkan 2019. GAIKINDO mencatat bahwapada periode tersebut mobil hybrid terjual 685 unit, PHEV 20 unit, dan BEV nol penjualan. Meski mengalami pertumbuhan positif, realisasi tersebut masih terpaut jauh dari potensi pasar yang dimiliki oleh Indonesia. Sebab, rasio kepemilikan mobil di Indonesia baru menyentuh 99 per 1.000 penduduk.

Mewujudkan energi bersih dan ramah lingkungan di sektor transportasi membutuhkan keseriusan dari pemerintah. Apalagi, pemerintah menargetkan nol emisi karbon atau net zero emission pada 2060 mendatang. Namun target ini dinilai akan sulit dicapai dan hanya menjadi mimpi bila tak ada upaya maksimal dari pemerintah, terutama dalam hal pengurangan konsumsi energi fosil dan peningkatan energi baru terbarukan (EBT).

Berangkat dari  hal tersebut, Julius C. Adiatma, Clean Fuel Specialist Institute for Essential Services Reform (IESR) mendukung transisi penggunaan mobil listrik. Pasalnya, menurut kajian menunjukkan bahwa masuknya kendaraan listrik pada pasar mobil penumpang dan sepeda motor memiliki potensi menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi darat, terutama dari penggunaan kendaraan pribadi. “Untuk mewujudkan potensi tersebut, dibutuhkan berbagai dukungan kebijakan dari pemerintah, baik kebijakan fiskal maupun non fiskal seperti penyediaan infrastruktur pengisian kendaraan listrik umum. Yang tidak kalah penting adalah mengganti pembangkit batubara dengan energi terbarukan supaya emisi gas rumah kaca tidak berpindah dari transportasi ke pembangkit” tandasnya.

Di Indonesia, emisi dari sektor transportasi hampir mencapai 30% dari total emisi CO2, dimana emisi tertinggi terutama berasal dari transportasi darat, yang berkontribusi pada 88% dari total emisi di sektor ini (IEA, 2015). Termasuk di dalamnya adalah mobil penumpang dan sepeda motor, yang tumbuh dengan pesat seiring dengan penggunaannya sebagai moda perjalanan utama di daerah perkotaan. Misalnya, penjualan mobil domestik telah bertumbuh lebih dari dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir (dari 480 ribu unit pada tahun 2004 menjadi di atas 1 juta unit pada tahun 2019).

Tren ini diprediksi akan terus meningkat, dan dengan demikian, sektor transportasi akan terus menjadi salah satu penghasil emisi utama di negara ini. Namun, rencana mitigasi dari pemerintah untuk sektor transportasi yang tercantum dalam NDC, masih terbatas pada pengalihan bahan bakar menjadi bahan bakar nabati dan perluasan stasiun pengisian bahan bakar gas bumi. Sementara itu, peran kendaraan listrik (termasuk hibrida, hibrida plug-in, dan kendaraan listrik baterai), yang banyak dilihat oleh beberapa pakar sebagai kunci dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor ini, masih belum dimasukkan dalam NDC Indonesia.

Indonesia harus mengambil tindakan mitigasi perubahan iklim secara drastis di sektor transportasi. Menurut proyeksi The Climate Action Tracker, total emisi Indonesia (tidak termasuk LULUCF) setara dengan 3,75 – 4% dari total emisi global pada tahun 2030. Agar sejalan dengan 1,5°C, proporsi bahan bakar rendah karbon di bauran bahan bakar transportasi harus meningkat menjadi sekitar 60% pada tahun 2050.

Climate Action Tracker menjabarkan skenario 1,5°C yang kompatibel untuk Indonesia, yang membatasi emisi dari sektor transportasi menjadi 2 MtCO2e pada tahun 2050. Skenario ini mencakup peningkatan penggunaan transportasi umum, peningkatan ekonomi bahan bakar kendaraan konvensional, dan elektrifikasi 100% kendaraan penumpang darat (mobil, motor, dan bus) pada tahun 2050.

Maka untuk mencapai 100% elektrifikasi kendaraan pada tahun 2050, Indonesia perlu menghentikan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil antara tahun 2035 s.d. 2040, dengan asumsi masa pakai kendaraan 15 tahun. Dengan penetrasi pasar kendaraan listrik yang sangat rendah saat ini, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang mendukung untuk mencapai target ini.

Di sisi lain, dengan bauran listrik saat ini, penetrasi kendaraan listrik akan meningkatkan emisi karbon di Indonesia. Peningkatan emisi ini, sebagian besar terkait dengan pembangkitan listrik dari sumber bahan bakar fosil. Selain itu, emisi juga berasal dari produksi komponen dalam kendaraan listrik, terutama baterai. Namun, sekalipun Indonesia dapat mencapai daya bauran energi terbarukan 23% pada tahun 2025, penggunaan mobil listrik diprediksi akan menghasilkan emisi karbon sekitar 2,6% lebih rendah dibanding mobil konvensional.

Erina Mursanti, Program Manager Green Economy IESR menambahkan, dalam situasi rendahnya harga minyak dunia saat ini yang turun hingga lebih dari 50% (dari harga acuan yang tertera pada Nota Keuangan APBN 2020), pemerintah sebaiknya menerapkan pajak karbon pada pemakaian bahan bakar fosil, alih-alih menurunkan harga bahan bakar minyak dalam negeri; dimana hasil penerimaan pajak ini dapat digunakan untuk pengembangan industri kendaraan listrik.

Sementara Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma menambahkan, untuk bisa menurunkan emisi karbon, maka perlu didorong dengan pemanfaatan energi terbarukan secepatnya dan harus ada peta jalan (roadmap) yang jelas. Dia pun berpandangan pemerintah masih tidak adil mengenai fasilitas yang diberikan kepada energi fosil dan energi terbarukan. Energi fosil menurutnya mendapatkan berbagai keistimewaan seperti subsidi dan berbagai fasilitas. Bahkan, di dalam UU Cipta Kerja, batu bara akan diberikan royalti nol persen bagi yang melakukan kegiatan hilirisasi.

Sementara energi terbarukan tidak diberikan subsidi. Padahal, lanjutnya, untuk mengembangkan energi terbarukan dibutuhkan biaya yang besar."Sekarang nggak fair, fosil dapat subsidi dan berbagai fasilitas dan UU Ciptaker batu bara ada potensi royalti zero persen, nggak fair dengan EBT, nggak dapat itu," ujarnya.

Selain itu, menurutnya perlu juga adanya regulasi yang jelas terkait energi terbarukan. Oleh karena itu, pihaknya terus mendorong agar Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan bisa segera disahkan menjadi Undang-Undang. Menurut Menteri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, dirinya sangat optimis Indonesia dapat mencapai target bebas karbon karena dua hal. Yang pertama, kemajuan teknologi yang terus akan berkembang, yang kedua, dukungan finansial yang bagus karena ekonomi Indonesia akan jauh lebih baik dari sekarang.

Disampaikannya, Indonesia perlu secara bertahap berhenti menggunakan batu bara dan meningkatkan target energi terbarukan pada tahun 2030 dengan mendukung penggunaan bahan bakar nabati berkelanjutan dan kendaraan listrik. Disampaikannya, Indonesia akan menyeimbangkan antara konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan atas kekayaan alam dan lingkungan agar dapat berkontribusi pada upaya penanganan dampak perubahan iklim demi generasi masa depan Indonesia dan dunia. Semoga.

BERITA TERKAIT

Almaz Hybrid, SUV Wuling Yang Cerdas & Ramah Lingkungan

Salah satu upaya menekan polusi udara dan konsumsi BBM (bahan bakar minyak) adalah dengan menggunakan mobil ramah lingkungan atau mobil…

Wuling Alvez Gebrakan Baru Bagi Anak Muda Yang Dinamis

“Kalau ada yang lebih murah, kenapa harus yang mahal,”. Kalimat inilah yang tepat menggambarkan produk Wuling Motors yang hadir di…

Tekan Angka Kecelakaan - Hino Tak Pernah Putus Edukasi Supir Terampil Berkendara

Menjadi pelopor keselamatan berkendara tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat sebagai pengendara dan pengguna jalan serta para…

BERITA LAINNYA DI Otomotif

Almaz Hybrid, SUV Wuling Yang Cerdas & Ramah Lingkungan

Salah satu upaya menekan polusi udara dan konsumsi BBM (bahan bakar minyak) adalah dengan menggunakan mobil ramah lingkungan atau mobil…

Wuling Alvez Gebrakan Baru Bagi Anak Muda Yang Dinamis

“Kalau ada yang lebih murah, kenapa harus yang mahal,”. Kalimat inilah yang tepat menggambarkan produk Wuling Motors yang hadir di…

Tekan Angka Kecelakaan - Hino Tak Pernah Putus Edukasi Supir Terampil Berkendara

Menjadi pelopor keselamatan berkendara tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat sebagai pengendara dan pengguna jalan serta para…