Pajak Sembako, Perlukah?

 

Oleh: Mahpud Sujai, Peneliti BKF Kemenkeu *)

 

Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan wacana pengenaan pajak atas sembilan bahan pokok (sembako) yang ramai di diperbincangkan di masyarakat dan media. Wacana ini muncul ketika pemerintah mengajukan Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang baru ke DPR. Dalam draft yang disampaikan, pemerintah meniadakan sembako dan pendidikan dari daftar barang yang tidak dikenakan pajak.

Revisi UU KUP diajukan pemerintah dalam rangka penyiapan kerangka kebijakan perpajakan dan penyesuaian ketentuan dan jenis-jenis pajak pasca krisis pandemi Covid 19 untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Direktorat Jenderal Pajak dalam beberapa keterangannya menyatakan bahwa dalam revisi UU KUP tersebut terdapat sejumlah poin-poin penting yang ditekankan antara lain berupa pengurangan berbagai fasilitas PPN yang dinilai tidak tepat sasaran. Selain itu juga perubahan tersebut bertujuan untuk mengurangi distorsi pendapatan dan ekonomi, penerapan multi tarif dengan menerapkan tarif PPN yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif umum misalnya atas barang-barang yang dikonsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Sehingga UU KUP itu bersifat komprehensif dan mencakup seluruh aspek-aspek perpajakan termasuk berbagai jenis barang yang akan dikenakan pajak.

Secara teori, setiap barang yang memiliki nilai tambah dapat dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). Ketika suatu produk memiliki nilai tambah ketika dilakukan tambahan suatu proses produksi, maka produk tersebut dapat dikenakan PPN. Sebagai contoh, ketika suatu produk pertanian misalnya, sebelum dikemas seharga A, setelah dikemas harganya menjadi B, maka produk tersebut sudah dapat menjadi objek pajak PPN.

Pajak Hasil Pertanian

Sebetulnya, dalam UU KUP sebelumnya pun sektor pertanian telah merupakan objek pajak dan dikenakan pajak.  Hasil pertanian merupakan barang kena pajak yang diserahkan oleh kelompok petani kepada konsumen dengan peredaran usaha diatas nilai tertentu. Dalam hal ini, ditetapkan oleh Pemerintah diatas Rp. 4,8 miliar. Terhadap penyerahan barang ini, hasil pertanian dikenakan PPN dengan tarif 10 persen dari harga jual. Berdasarkan mekanisme PPN hasil pertanian, petani memiliki kewajiban untuk memperhitungkan seluruh pajak masukan yang telah dibayar seperti untuk pembelian pupuk dan biaya Bertani lainnya dan kemudian menyetorkannya kepada kas negara.

Hasil pertanian ini sebetulnya merupakan suatu potensi pajak yang sangat besar. Peran sektor pertanian terhadap perekonomian Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, selama periode lima tahun dari tahun 2013 hingga 2018, akumulasi tambahan produk domestik bruto (PDB) yang dihasilkan mencapai sekitar Rp. 1.500 triliun dan nilai PDB sektor pertanian tahun 2018 naik sekitar 47 persen jika dibandingkan dengan PDB tahun 2013. Hal ini merupakan suatu potensi pajak yang cukup besar yang dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi di negara kita.

Aspek Keadilan

Namun, pajak tidak hanya sekedar memperhitungkan angka diatas kertas saja. Salah satu prinsip perpajakan yang berlaku umum adalah aspek keadilan, dimana semakin tinggi pendapatan suatu masyarakat atau golongan, maka sudah selayaknya mereka berkontribusi lebih besar dalam pajak demikian pula sebaliknya dengan masyarakat berpendapatan rendah. Keadilan tidak hanya dalam hal tingkat pendapatan saja, namun juga dalam seluruh sektor perekonomian dan antar wilayah.

Ketika pendapatan suatu golongan masyarakat meningkat, maka konsumsi mereka pun akan meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dalam hal konsumsi bahan pangan, mungkin peningkatan kuantitas tidak terlalu berpengaruh, namun kualitas konsumsi bahan pangan pasti sangat berpengaruh. Semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, maka kualitas produk yang mereka konsumsi akan semakin meningkat pula. Oleh karena itu, terjadi diferensiasi pasar untuk produk pertanian termasuk sembako dalam hal ini. Munculah bahan pangan kelas premium sepeti beras, daging, buah, terigu, minyak dan berbagai bahan sembako lainnya. Kisaran harganya pun semakin bervariatif. Bahan pangan kelas premium ini tentu saja menghasilkan margin keuntungan yang lebih besar bagi produsen dan pedagang. Pemerintah berpendapat disinilah aspek keadilan dalam perpajakan itu berlaku. Masyarakat berpenghasilan tinggi yang mengkonsumsi sembako premium merupakan subjek pajak yang menjadi target pemerintah. Jika dipertimbangkan aspek ini, maka tidak ada yang salah dengan kebijakan pemerintah yang mewacanakan pajak atas sembako.

Komunikasi Publik

Lantas mengapa tentangan masyarakat begitu kuatnya terjadi. Pertama, masalah waktu yang kurang tepat. Ketika masyarakat masih dalam kondisi sulit akibat pandemi covid 19, mewacanakan pajak baru adalah hal yang kurang etis. Sebaiknya jika ingin dilakukan, maka menunggu keadaan membaik pasca krisis covid 19 adalah keputusan yang sangat bijaksana. Kedua, komunikasi publik yang dilakukan pemerintah belum optimal. Yang ada di benak masyarakat saat ini adalah seolah-olah semua sembako akan dikenakan pajak, maka harga-harga akan naik, inflasi akan meningkat, pemerintah mencekik rakyat. Padahal yang diwacanakan pemerintah bukan seperti itu. Pajak sembako hanya dikenakan untuk kelas premium yang dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan tinggi, bukan sembako biasa yang dijual dengan harga standar di pasar-pasar tradisional. Justru kebijakan pemerintah ini harus didukung, terutama jika pajak atas sembako premium ini dapat digunakan untuk subsidi program pangan misalnya.

Oleh karena itu, kita semua harus berkepala dingin dalam menyikapi wacana pajak sembako ini. Sekaligus kita harus terus mengawal kebijakan pemerintah agar apa yang dilakukan pemerintah benar-benar berkeadilan, tidak mendistorsi ekonomi dan mementingkan kepentingan masyarakat banyak. *)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi   

BERITA TERKAIT

Distribusi MBG Dipercepat, Bukti Negara Hadir Lindungi Rakyat

    Oleh: Meliana Kede, Pemerhati Kesehatan Masyarakat   Upaya percepatan distribusi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali digencarkan oleh…

Dukungan Lintas Kementerian Perkuat Realisasi Program 3 Juta Rumah

  Oleh: Malika Maharani,  Pengamat Kebijakan Publik   Program pembangunan 3 juta rumah yang digagas pemerintah menjadi salah satu wujud…

Mengenal Halaman Login Aplikasi Coretax

  Oleh: Adi Wiyono, Penyuluh KPP WP Besar Satu *)   Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengembangkan aplikasi Coretax sebagai sistem…

BERITA LAINNYA DI Opini

Distribusi MBG Dipercepat, Bukti Negara Hadir Lindungi Rakyat

    Oleh: Meliana Kede, Pemerhati Kesehatan Masyarakat   Upaya percepatan distribusi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali digencarkan oleh…

Dukungan Lintas Kementerian Perkuat Realisasi Program 3 Juta Rumah

  Oleh: Malika Maharani,  Pengamat Kebijakan Publik   Program pembangunan 3 juta rumah yang digagas pemerintah menjadi salah satu wujud…

Mengenal Halaman Login Aplikasi Coretax

  Oleh: Adi Wiyono, Penyuluh KPP WP Besar Satu *)   Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengembangkan aplikasi Coretax sebagai sistem…

Berita Terpopuler