NERACA
Jakarta - Program peningkatan produksi jagung di Indonesia mengalami banyak masalah. Salah satunya adalah tak sesuainya data antara produksi dan permintaan. Masalah lainnya, data produksi jagung yang belum valid, serta transportasi dan distribusi yang belum tertata. Sehingga masalah impor untuk keperluan pakan ternak yang dinilai masih cukup besar, tapi malah berdampak menyudutkan petani jagung lokal.
Direktur Jendral (Dirjen) Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan), Unggoro Kasih Udhoro memaparkan hal itu tejadi karena produksi jagung yang musiman versus permintaan yang relatif tetap di sepanjang tahun dan mutu yang tidak seragam versus mutu tinggi dan standardisasi," katanya usai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional dengan tema "Meningkatkan Produksi dan Merumuskan Tata Niaga Jagung Nasional" di Jakarta, Kamis (31/05).
Lebih jauh Undhoro menyebut, jika mengenai data produksi jagung, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan pada tahun 2011 menunjukan, produksi jagung nasional mencapai 17,6 juta ton pipilan kering dengan luas panen 4,8 juta hektar (ha).
Sedangkan, berdasarkan Angka Ramalan (Aram) 1, tahun 2012, diperkirakan produksi jagung pada 2012 akan mencapai 18,8 juta ton. "Hasil sebanyak itu, khusus tahun 2011, berasal lima provinsi yang merupakan sentral produksi terbesar jagung pipilan kering. Yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, serta Sumatera Utara," ujarnya.
Dalam proses produksi jagung, Udhoro juga melihat adanya ambiguitas antara jagung untuk ditetapkan sebagai pangan pokok. Sementara, sistem cadangan penyangga jagung nasional belum ditetapkan. Selain itu, belum adanya kebijakan tata niaga jagung serta tak adanya kebijakan harga dasar (Harga Pembelian Pemerintah/HPP).
"Keadaan ini membuat sistem produksi belum menguntungkan petani. Karena belum maksimalnya dukungan pembiayaan belum maksimal. Sehingga banyak petani terjerat bandar karena posisi tawar petani yang rendah dan harga jagung yang ditentukan pasar," imbuhnya.
Kenaikan Impor
Di tempat yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pakan Indonesia, FX Sudirman menambahkan, ada kenaikan besar dari impor jagung pada tahun 2011 mencapai 3,144 juta ton. Sedangkan pada tahun 2010Ada kenaikan besar dari impor tahun sebelumnya, 2010 hanya sebesar 1,9 juta ton.
"Apabila target produksi tahun ini tercapai, maka untuk tahun ini diperkirakan impor jagung hanya setengahnya, yaitu 1,5 juta ton. Sebagian besar untuk pakan ternak yang kebutuhan jagungnya dalam campuran pakan ternak mencapai 50 persen," jelasnya.
Menurut Sudirman, selama ini impor jagung berasal dari Amerika Serikat, Brazil, Argentina, India, Thailand, dan Myanmar. Sedangkan, kebutuhan jagung tahun ini untuk pakan ternak meningkat menjadi 6,75 juta ton dari 6 juta ton pada 2011. "Hitungan ini didapat dari perkiraan total konsumsi pakan ternak sebesar 13,5 juta ton yang terdiri dari 12,3 juta ton pakan ternak dan 1,2 juta ton pakan ikan. Kebutuhan jagung adalah setengah total konsumsi pakan ternak," tandasnya.
Sudirman juga mengungkapkan industriawan pakan ternak mengakui sulit menghindari impor jagung. Pasalnya, pasokan jagung dari petani lokal dinilai tidak stabil. Padahal, menurut Sudirman, jagung lokal lebih disukai karena lebih segar dan lebih murah. Namun, ketidakstabilan pasokan membuat pihaknya harus mengimpor.
Tahun ini, kata Sudirman, kebutuhan jagung untuk pakan ternak meningkat dari 6 juta ton pada 2011 menjadi 6,75 juta ton. Hitungan ini didapat dari perkiraan total konsumsi pakan ternak sebesar 13,5 juta ton yang terdiri dari 12,3 juta ton pakan ternak dan 1,2 juta ton pakan ikan.
Menurut dia, kebutuhan jagung adalah setengah total konsumsi pakan ternak. Lalu mengapa produsen pakan ternak mengimpor jagung? Sudirman berpendapat, kondisi itu terjadi disebabkan sistem informasi produksi dan pasar belum terbentuk baik.
Lalu, produksi di beberapa daerah sentra turun drastis, karena gagal panen, turunnya produktivitas lantaran hama dan/atau perubahan cuaca yang ekstrem. Juga tingginya konversi komoditas atau fungsi lahan."Produksi di daerah baru belum optimal karena belum tersedia fasilitas pascapanen yang memadai, juga infrastruktur tidak mendukung, serta belum terbentuk sistem pasar yang baik,” tandas Sudirman.
Dia menjelaskan, dibandingkan antara jagung lokal dan impor, maka kepastian suplai impor lebih terjamin dan transparan. Sedangkan suplai lokal berasal dari petani, kelompok petani, pedagang perantara itu memiliki reputasi beragam.
Pertamina EP Hidupkan Lapangan Tua, Targetkan Produksi 213 MBOEPD Jakarta - Di jantung salah satu lapangan migas Indonesia, PT Pertamina…
NERACA Jakarta – Pemerintah Indonesia menyambut baik ketertarikan Argentina untuk berinvestasi di sektor pertanian, yang dianggap sebagai salah satu pilar…
NERACA Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Perkebunan terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong kemajuan industri kelapa sawit nasional…
Pertamina EP Hidupkan Lapangan Tua, Targetkan Produksi 213 MBOEPD Jakarta - Di jantung salah satu lapangan migas Indonesia, PT Pertamina…
NERACA Jakarta – Pemerintah Indonesia menyambut baik ketertarikan Argentina untuk berinvestasi di sektor pertanian, yang dianggap sebagai salah satu pilar…
NERACA Jakarta – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Perkebunan terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong kemajuan industri kelapa sawit nasional…