Oleh: Zeanette Ariestika Nursiwi, Staf Direktorat Jenderal Pajak *)
Hampir dua bulan setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9/PMK.03/2021 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019. Peraturan ini diterbitkan sebagai kelanjutan dari PMK Nomor 110/PMK.03/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.03/2020. Salah satu insentif yang terdapat dalam PMK-9/PMK.03/2021 adalah pengurangan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 sebesar 50% yang diberikan sampai dengan 30 Juni 2021.
Perpanjangan insentif di atas merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk membantu dunia usaha. Sesuai dengan pernyataan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kita Januari 2021, yaitu “Peranan penerimaan pajak menjadi semakin penting dalam mendukung kebijakan fiskal countercyclical, di samping sebagai administrator pemberian insentif perpajakan dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi dan Pemulihan Ekonomi Nasional.”
Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berdampak pada perubahan pendapatan perusahaan. Hasil survei Badan Pusat Statistik yang bertajuk Analisis Hasil Survei Dampak Covid-19 Terhadap Pelaku Usaha menunjukkan bahwa terdapat perubahan pendapatan menurut skala usaha. Sekitar 82,85% perusahaan mengalami penurunan pendapatan, 14,60% tidak mengalami perubahan, dan sisanya sebesar 2,55% mengalami peningkatan pendapatan. Secara umum delapan dari sepuluh perusahaan cenderung mengalami penurunan pendapatan.
Insentif pengurangan PPh Pasal 25 memang berbeda perlakuan dengan insentif PPh Pasal 21 atau PPh Final Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang pajak terutangnya ditanggung oleh pemerintah. Pasalnya, wajib pajak yang memanfaatkan insentif ini tetap harus menanggung dan melunasi pajak terutang pada akhir tahun tanpa potongan pajak. Pengurangan angsuran sebesar 50% dari PPh Pasal 25 yang terutang berarti wajib pajak hanya mendapat keringanan untuk mencicil angsuran PPh 25 dengan nilai yang lebih kecil.
Sebagai contoh, PPh Pasal 25 yang terutang adalah Rp 10.000.000,00. Maka wajib pajak yang memanfaatkan insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 cukup membayar angsuran sebesar Rp 5.000.000,00 saja atau 50% dari PPh 25 terutang. Namun, kredit pajak PPh Pasal 25 yang berhak menjadi pengurang di SPT Tahunan pada akhir tahun pajak tetaplah sebesar jumlah yang telah dibayar sesuai pengurangan. Pada akhir tahun, wajib pajak harus melunasi kurang bayarnya apabila memang terjadi kurang bayar di tahun itu. Jadi, tidak ada diskon dari pajak yang dibayarkan.
Manfaat Insentif
Meskipun tidak memberikan nilai riil untuk wajib pajak, insentif pajak ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk membantu dunia usaha dalam mengatur pengeluaran kas perusahaan. Wajib pajak yang memanfaatkan insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 akan terbantu dalam pengelolaan aliran kas. Selain itu, beban perusahaan tiap bulan dari sisi perpajakan akan lebih ringan. Sehingga perusahaan akan memiliki cadangan uang kas yang cukup untuk bertahan di ketidakpastian iklim perekonomian.
Perusahaan yang mengalami penurunan pendapatan akan lebih ringan beban pajaknya apabila memanfaatkan insentif ini. Selain itu, wajib pajak juga dapat meminimalkan terjadinya lebih bayar yang signifikan di akhir tahun pajak. Perusahaan perlu mengontrol pengeluaran dari berbagai aspek untuk meminimalkan kesalahan bahkan kerugian. Perusahaan juga perlu mengukur kemampuan dan menyediakan kas untuk memenuhi kewajibannya, termasuk membayar pajak.
Namun, wajib pajak yang akan menggunakan insentif ini perlu bijak dan berhati-hati untuk mengatur cash flow perusahaan. Karena ketika bisnis dan penghasilan terus mengalami peningkatan maka pajak kurang bayar pada akhir tahun juga mengalami peningkatan. Hal ini karena angsuran yang dibayarkan berkurang sesuai insentif PPh Pasal 25. Sehingga kredit pajak PPh Pasal 25 lebih kecil dari yang terutang.
Insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 ini dapat menguntungkan dari sisi cash flow, tetapi hal ini tetap bergantung pada kestabilan perusahaan dalam menjalankan usahanya. Perusahaan harus mengambil keputusan yang tepat dan tidak sekadar mengikuti arus untuk mendapatkan insentif. Insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25 justru dapat menjadi beban apabila tidak diperhitungkan dengan baik oleh perusahaan.
Dunia usaha sangat memerlukan insentif pajak yang secara riil menguntungkan dan membantu kestabilan perekonomian seperti insentif PPh Pasal 21 untuk karyawan dan PPh Final untuk UMKM yang ditanggung pemerintah. Wajib pajak yang mendapat kedua insentif itu berhak menerima penghasilan utuh tanpa ada potongan pajak karena pajak telah dibayarkan atau ditanggung oleh pemerintah. Jika perusahaan juga mendapatkan insentif PPh ditanggung pemerintah, perusahaan mungkin dapat mengalokasikan biaya pajak untuk beban pengeluaran operasional lain yang jauh lebih penting. *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.
Oleh : Tasya Nanda Syafitri, Pemerhati Sosial dan Budaya Upaya pemerintah dalam memberantas praktik Judi Daring menunjukkan…
Oleh: Wahyu Gunawan, Peneliti Ekonomi dan Pembangunan Pembangunan tanggul laut di sepanjang pantai utara Jawa mulai dilakukan secara bertahap sebagai…
Oleh: Silvia AP, Pengamat Perkoperasian Pemerintah terus berkonsolidasi terkait langkah-langkah strategis untuk memperkuat peran Koperasi Merah Putih sebagai…
Oleh : Tasya Nanda Syafitri, Pemerhati Sosial dan Budaya Upaya pemerintah dalam memberantas praktik Judi Daring menunjukkan…
Oleh: Wahyu Gunawan, Peneliti Ekonomi dan Pembangunan Pembangunan tanggul laut di sepanjang pantai utara Jawa mulai dilakukan secara bertahap sebagai…
Oleh: Silvia AP, Pengamat Perkoperasian Pemerintah terus berkonsolidasi terkait langkah-langkah strategis untuk memperkuat peran Koperasi Merah Putih sebagai…