Oleh: Bambang Heru Suhartono, Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan *)
Indonesia merupakan salah satu pasar perhiasan emas terbaik. Jual beli emas hingga saat ini masih tetap ramai. Pemenuhan kebutuhan emas dalam negeri baik untuk bahan baku maupun produk jadi, umumnya berasal dari hasil pertambangan dalam negeri maupun impor.
Indonesia merupakan negara penghasil emas terbesar nomor 7 (tujuh) di dunia dengan produksi emas pada tahun 2018 mencapai 135 ton, tahun 2019 tercatat 139 ton dan tahun 2020 sebanyak 130 ton (CEIC, 2021). Impor logam mulia menduduki peringkat 4 (empat) terbesar nasional, yakni mencapai US$1,92 miliar (data BPS 2019). Sedangkan data dari Bea Cukai menunjukkan impor komoditi emas periode Januari 2018 hingga Juni 2020 mencapai Rp 13,91 Triliun.
Logam mulia baik dalam bentuk emas batangan atau perhiasan juga menduduki peringkat nomor 4 (empat) ekspor terbanyak di tahun 2019 dengan nilai US$ 6,62 miliar. Nilai ekspor tersebut meningkat signifikan yakni sekitar 80% dari tahun sebelumnya sebesar US$ 3,51 miliar.
Ketentuan Perpajakan
Untuk mendukung perkembangan industri emas, pemerintah menetapkan bea masuk emas batangan sebesar 0%. Emas batangan juga tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana diatur dalam Pasal 4A UU No. 42 Tahun 2009. UU tersebut berisi tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 8 Tahun 1983 mengenai PPN Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Undang-Undang PPN).
Selain itu, Pemerintah juga memberikan fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 tentang impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.010/2017. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing industri emas di pasar internasional. Sementara itu untuk impor perhiasan emas dikenakan bea masuk 15%, PPN 10%, dan PPh Pasal 22 sebesar 7,5%.
Terdapat perbedaan nilai ekspor dan impor komoditi Emas Batangan dan Perhiasan Emas yang cukup signifikan pada periode Januari 2018 hingga Juni 2020 yaitu nilai ekspor mencapai Rp258,36 Triliun dan nilai pabean impor hingga Rp13,91 Triliun.
Kondisi surplus atas perdagangan emas dan produk olahannya di Indonesia tersebut menunjukkan besarnya peluang pasar perdagangan emas baik dalam negeri maupun internasional. Hal ini menuntut kemampuan pengusaha emas dalam negeri untuk dapat memenuhi permintaan pasar tersebut.
Perlu Pengawasan Tepat
Besarnya volume perdagangan dan adanya fasilitas fiskal harus diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang tepat. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat nilai pembebasan atas PPh Pasal 22 impor sebesar 2,5% (importir pemilik API) atau 7,5% (importir tidak memiliki API) bukan sebuah nilai yang kecil. Berdasarkan data Bea Cukai, pada periode Januari 2018 hingga Juni 2020, nilai pembebasan pajak dalam rangka impor komoditi emas batangan mencapai Rp 6,82 Triliun.
Selain itu, pemberian fasilitas PPh Pasal 22 impor untuk emas batangan yang akan diolah menjadi perhiasan yang berorientasi ekspor, setidaknya memerlukan pengawasan yang memadai pada saat pelaksanaan ekspor.
Adanya perbedaan nilai ekspor yang dilaporkan oleh Indonesia (sebagai negara pengekspor) dengan nilai impor negara tujuan pada beberapa negara sebagaimana tercantum dalam situs World Integrated Trade Solution (WITS) periode 2017-2019, menjadi indikasi adanya ketidakpatuhan. Perbedaan nilai ini dapat disebabkan beberapa hal seperti adanya perbedaan pengambilan data berdasarkan HS code antara negara eksportir dan importir, perbedaan pengakuan asal barang, serta kemungkinan adanya perbedaan pemberitahuan jenis barang oleh pelaku usaha pada saat ekspor dan impor dengan tujuan menghindari kebijakan ekspor atau impor di suatu negara.
Hal tersebut di atas diperkuat dari hasil penindakan yang dilakukan Bea Cukai atas terjadinya pelanggaran impor ekspor emas dan perhiasan emas selama Januari 2018 sd Juni 2020 sebanyak 14 kasus, dengan nilai barang Rp555,52 miliar. Sedangkan tindak lanjut penindakan tersebut dapat berupa sanksi administrasi berupa denda/tambah bayar, atau ditetapkan menjadi barang dikuasai negara/barang milik negara.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa peluang pengembangan industri emas dan perhiasan dalam negeri sebenarnya cukup besar prospeknya, dan membutuhkan dukungan pemerintah dalam rangka peningkatan produktivitas dan daya saing. Di sisi lain, besarnya peluang industri menjadi tantangan bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan yang efektif khususnya di bidang ekspor impor. Dengan demikian pengawasan yang dilakukan aparat Bea Cukai dapat meminimalisasi adanya pelanggaran, namun tidak menghambat kelancaran bagi kegiatan usaha komoditas tersebut. *)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.
Oleh: Pande K. Trimayuni, Sekjen DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, pada Jumat…
Oleh: Indah Hapsari, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam membangun pemerataan akses energi melalui pelaksanaan…
Oleh: Marinus Imbenai, Pemerhati Lingkungan Hutan Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan terindah di Indonesia, dengan…
Oleh: Pande K. Trimayuni, Sekjen DPP Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, pada Jumat…
Oleh: Indah Hapsari, Pengamat Kebijakan Publik Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam membangun pemerataan akses energi melalui pelaksanaan…
Oleh: Marinus Imbenai, Pemerhati Lingkungan Hutan Raja Ampat dikenal sebagai salah satu kawasan terindah di Indonesia, dengan…