NERACA
Jakarta - Dalam Indeks LQ45, saham SRIL atau PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) merupakan perusahaan dengan price earning ratio (PER) terendah. SRIL merupakan perusahaan yang bergerak di bidang tekstil, mereka memproduksi seragam militer yang produknya tak hanya dijadikan seragam TNI, melainkan diekspor ke berbagai negara. Sebut saja Malaysia, Brunei, Timor Leste, Singapura, Nepal, dan Australia.
Di tahun 2021, emiten yang berbasis di Kota Surakarta ini bercita-cita memperluas ekspornya ke Amerika. Selain seragam TNI, SRIL pun memproduksi pakaian sehari-hari, masker, APD, dan lain sebagainya. SRIL menjalankan toko belanja online bernama TokoSritex.com. Seperti apakah performa saham serta kinerja perusahaan ini? Simak ulasan tim riset Lifepal.co.id yang diterima neraca di Jakarta, kemarin.
Melihat data historis dari tahun 2013 hingga Januari 2021, harga SRIL pada 21 Januari 2020 hanya lebih tinggi 8,4% dibandingkan harga di masa IPO. Pada pekan terakhir Juli 2015, SRIL mencatatkan harga saham tertingginya yaitu Rp 470 per lembar. Pada pekan kedua Maret 2020 atau lebih tepatnya saat Corona dinyatakan sebagai pandemi, harga saham SRIL anjlok hingga menyentuh Rp 121 per lembar.
Kinerja saham SRIL memasuki kuartal II 2015 hingga kuartal II 2016 mengungguli IHSG, Indeks Aneka Industri, dan LQ45, begitu pun pada kuartal I 2017 hingga akhir kuartal III 2019. Namun di tahun 2020, SRIL hanya bisa mengungguli kinerja Indeks Aneka Industri saja. Sejak awal IPO hingga kuartal III 2020, aset SRIL terus mengalami pertumbuhan dan sejak dulu, utang atau liabilitas dari SRIL memang selalu melebihi ekuitasnya. Di tahun 2021, SRIL menerbitkan surat utang baru dengan nilai pokok Dolar Amerika (USD) 325 juta atau setara dengan Rp 4,5 triliun jika dihitung dengan kurs Bank Indonesia di level Rp 14.035 per USD.
Namun patut diketahui pula bahwa di akhir Desember 2020, lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat SRIL menjadi B1 dari sebelumnya adalah Ba3 di surat utangnya yang senilai US$ 150 juta untuk periode jatuh tempo di Januari 2024, dan surat utang senilai US$ 225 juta untuk jatuh tempo 2025. Bisa dikatakan bahwa, penurunan peringkat ini mencerminkan pelemahan likuiditas dan struktur utang.
Penjualan SRIL juga terus mengalami kenaikan, begitu pun dengan laba bersihnya. Tercatat bahwa dalam periode enam tahun yaitu 2013 hingga 2019, kenaikan laba bersih SRIL mencapai 196% (dari US$ 29,5 juta ke USD 87,6 juta). Menurut laporan keuangan SRIL di kuartal III 2020, perusahaan ini mencatatkan laba bersih sebesar US$ 73,7 juta alias tumbuh 2,18% yoy. Perolehan laba bersih di kuartal III 2020 juga sudah melebihi total laba bersih mereka di tahun 2017.
Dalam perhitungan rasio profitabilitas di kuartal III 2020, marjin laba bersih/ net profit margin (NPM) SRIL berada di angka 8,14%, marjin laba kotor/ gross profit margin (GPM) di 18,58%, rasio pengembalian aset (ROA) di 11,15%, dan rasio pengembalian ekuitas (ROE) di 4,25%. Jika dibandingkan dengan PT Unicharm Indonesia Tbk (UCID), data RTI menunjukkan bahwa emiten tekstil dengan kapitalisasi pasar terbesar ini memiliki nilai NPM sebesar 3,22%, GPM 24,85%, ROA 3,11%, dan ROE 6,09%. Sementara itu untuk PT Tifico Fiber Indonesia (TFCO) NPM emiten ini -0,94%, GPM 2,67%, ROA -0,44%, dan ROE -0,44%. Dan untuk PT Indo-Rama Synthetics Tbk (INDR), NPM emiten ini adalah 0,53, GPM 4,99%, ROE 0,84% dan ROA 0,43%. Bisa dikatakan bahwa, rasio profitabilitas SRIL memang cukup baik jika dibandingkan tiga emiten kapitalisasi besar di industri tekstil dan garmen.
Berdasarkan data RTI pada 21 Januari 2021, SRIL yang saat ini dihargai Rp 258 per lembar memiliki nilai price earning ratio (PER) 3,60 x dan price to book value (PBV) 0,53. Jika PER lebih kecil dari rata-rata emiten lainnya dalam industri sejenis, maka harga saham emiten tersebut dapat dinilai relatif lebih murah. Saham dengan PER yang rendah pada umumnya lebih banyak diminati oleh investor. Sementara itu, PBV rendah kerap dimanfaatkan sebagai indikator untuk mencari saham yang murah atau undervalued. PBV alias rasio harga saham terhadap nilai buku perusahaan, menunjukkan berapa kelipatan nilai saham perusahaan terhadap nilai buku perusahaan tersebut.
SRIL memiliki PBV 3,5x yang artinya harga saham tersebut sudah 3,5 kali lipat dari kekayaan bersih perusahaan. Maka, bisa dibandingkan seberapa mahal harga saham emiten-emiten lain pada indeks LQ45 di atas. Itulah sedikit ulasan mengenai kesehatan keuangan dan profitabilitas SRIL. Sejauh ini, pendapatan SRIL memang didominasi dari penjualan ekspor, meski bisnis SRIL cukup terpukul pada Maret dan April 2020 saat Eropa menerapkan kebijakan lockdown.
NERACA Jakarta — Dihantui perang dagang Amerika Serikat dan Cina, emiten furniture PT Integra Indocabinet Tbk. (WOOD) masih optimis menargetkan pertumbuhan penjualan…
NERACA Jakarta – Emiten properti, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) menargetkan pra-penjualan tahun ini sebesar Rp5 triliun dengan kontribusi dari…
NERACA Jakarta – Kejar pertumbuhan bisnisnya, PT Hartadinata Abadi Tbk. (HRTA) menyiapkan anggaran belanja modal atau capital expenditure (capex) tahun ini senilai Rp150 miliar.…
NERACA Jakarta — Dihantui perang dagang Amerika Serikat dan Cina, emiten furniture PT Integra Indocabinet Tbk. (WOOD) masih optimis menargetkan pertumbuhan penjualan…
NERACA Jakarta – Emiten properti, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) menargetkan pra-penjualan tahun ini sebesar Rp5 triliun dengan kontribusi dari…
NERACA Jakarta – Kejar pertumbuhan bisnisnya, PT Hartadinata Abadi Tbk. (HRTA) menyiapkan anggaran belanja modal atau capital expenditure (capex) tahun ini senilai Rp150 miliar.…