Bisnis gula memang manis. Tak hanya rasanya, tapi juga keuntungan yang bisa diraih para pelaku usahanya. Apalagi, konsumsi gula terus meningkat. Sayangnya, produksi nasional tak mampu mengejar lonjakan permintaan. Alhasil, Indonesia pun terpaksa harus impor. Namun, tampaknya negara ini tak bisa lagi bergantung pada impor. Tampaknya, sudah waktunya Indonesia memiliki pabrik gula baru, terutama yang untuk kebutuhan konsumsi gula di kawasan Indonesia Timur.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Keberadaan industri gula rafinasi di Tanah Air tak terlepas dari kinerja industri gula nasional yang terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2008, misalnya, produksi gula nasional sebanyak 2,6 juta ton, kemudian turun jadi 2,3 juta ton pada 2009, tahun 2010 sebesar 2,3 juta ton, dan selanjutnya pada 2011 merosot jadi 2,1 juta ton.
Padahal, permintaan gula konsumsi nasional setiap tahun naik rata-rata 1,23%. Menurut Kementerian Perdagangan, permintaan gula untuk industri makanan dan minuman di Tanah Air, pada tahun 2012 tumbuh sekitar 6%.
Pengamat pertanian Khudori menjelaskan, dari sejarahnya, gula kristal rafinasi (GKR) diadakan untuk memenuhi kebutuhan pemanis industri yang tidak bisa dipenuhi pabrik gula (PG) yang ada. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan GKR, yaitu impor sepenuhnya GKR atau mendirikan PG rafinasi dengan bahan baku gula mentah impor.
“Pemerintah menempuh cara kedua. Tiap tahun, PG rafinasi diberi izin impor gula mentah untuk diolah jadi GKR,” ujar Khudori di Jakarta, kemarin.
Khudori menambahkan, lewat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 527/2004 tentang Ketentuan Niaga Impor Gula, pasar gula diatur, yakni GKR hanya untuk industri. Sedangkan gula kristal putih (GKP) produksi petani dan PG mengisi pasar gula konsumsi langsung. “Pemisahan pasar GKR dan GKP adalah pilihan bijak pemerintah, karena medan persaingan keduanya tak imbang,” kata dia.
Jika merunut ke belakang, kebutuhan gula rafinasi dalam negeri sebelum tahun 2000 dipenuhi melalui impor. Itu karena harga gula mentah (raw sugar) dunia saat itu sedang murah.
Namun, harapan terhadap harga gula dunia yang terus meningkat dan produksi gula dalam negeri yang menurun, pelaku usaha kemudian terdorong untuk membangun pabrik gula rafinasi. Bahan baku yang digunakan pabrik gula rafinasi tersebut adalah raw sugar yang diimpor.
Kebutuhan Gula Rafinasi
Pada tahun 2004, baru terdapat tiga pelaku usaha gula rafinasi. Selama periode 2003-2005, ketiga pelaku usaha itu mampu memasok kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman, serta farmasi sekitar 300.000 ton hingga 1.500.000 ton per tahun.
Kemudian pada 2006-2008, pelaku usaha di industri gula rafinasi ini bertambah menjadi tujuh pelaku usaha dengan total kemampuan pasokan meningkat jadi sekitar 1,2 juta hingga 1,5 juta ton per tahun.
Pada 2009 hingga sekarang, total pelaku usaha dalam industri gula rafinasi menjadi delapan, sehingga kemampuan pasokan industri rafinasi mencapai sekitar 2 juta ton per tahun. (lihat tabel)
Pelaku-pelaku industri gula rafinasi dalam negeri sepenuhnya mengimpor raw sugar untuk kemudian diolah menjadi gula rafinasi. Seiring bertumbuhnya populasi pabrik gula rafinasi di dalam negeri, jumlah raw sugar yang diimpor setiap tahunnya meningkat.
Peningkatan impor raw sugar yang paling besar terjadi pada tahun 2006 dan 2007, sehingga dalam tahun-tahun tersebut pabrik gula rafinasi terus meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan industri-industri dalam negeri.
Kebijakan pemerintah sejak tahun 2002 hingga September 2008 adalah membolehkan industri makanan dan minuman untuk mengimpor sendiri gula rafinasi. Berkembangnya industri gula rafinasi dalam negeri dan terus menurunnya harga gula rafinasi dunia yang ternyata berimbas kepada petani gula, pada September 2008 pemerintah membatasi impor gula rafinasi yang dilakukan oleh industri makanan dan minuman.
Pada 2008, industri makanan dan minuman di Tanah Air diarahkan untuk membeli gula rafinasi dari produksi pabrik gula rafinasi dalam negeri. Saat itu, pemerintah memberi kuota impor gula rafinasi 500.000 ton. Namun, realisasi impor gula rafinasi hanya sekitar 100.000 ton.
Kurangi Perembesan
Pada tahun 2012, pemerintah memutuskan kuota impor bahan baku gula rafinasi untuk industri sebanyak 2,1 juta ton, atau berkurang 300 ribu ton dari tahun 2011 yang sebanyak 2,4 juta ton. Angka tersebut ditetapkan berdasarkan asumsi kuota tahun ini dikurangi perembesan 18-20% dan ditambah pertumbuhan konsumsi 6%.
Sementara itu, Sugar Refinery Outlook 2012 memproyeksikan, kebutuhan gula industri (rafinasi) nasional 2,25 juta ton. Kapasitas terpasang industri gula rafinasi dalam negeri saat ini 3,2 juta ton dengan kemampuan produksi 2,25 juta ton.
Selain memberi kuota impor gula mentah untuk kebutuhan industri, pemerintah tahun ini memberi izin impor gula mentah untuk pasar konsumsi. Volume impor raw sugar yang ditetapkan sebanyak 240 ribu ton sesuai dengan kekurangan gula konsumsi 220 ribu ton.
Impor tersebut harus direalisasikan sebelum musim giling tebu atau sampai akhir April 2012. Tetapi, sampai batas waktu berakhir, impor yang terealisasi hanya 182 ribu ton atau 75% dari kuota.
Wakil Menteri Pertanian, Rusman Heriawan menjelaskan, keputusan pemerintah memberi izin impor gula mentah untuk konsumsi, karena pemerintah menginginkan ada nilai tambah berupa penyerapan tenaga kerja di Tanah Air. “Kalau tidak mau repot sebenarnya bisa impor gula kristal putih saja bukan raw sugar," ucap dia.
Di sisi lain, pemerintah juga mensyaratkan importir itu harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan yaitu memiliki pabrik gula dan kapasitas untuk mengolah raw sugar impor.
Persyaratan lain, importir harus mendistribusikan gula impor itu (setelah diolah) ke Indonesia bagian timur. Untuk mencegah perembesan gula tersebut ke wilayah Jawa dan Sumatera, Dewan Gula Indonesia (DGI) juga membentuk tim pengawas.
Di kawasan Timur Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, masih terjadi defisit kebutuhan gula untuk konsumsi rumah tangga sekitar 515 juta ton per tahun. Defisit ini belum dapat ditutupi oleh produksi pabrik gula nasional.
PT Makassar Tene saat ini merupakan satu-satunya pabrik gula rafinasi yang beroperasi di Kawasan Timur Indonesi dengan total produksi 1.800 ton per hari. Produksi gula rafinasi Makassar Tene terserap seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi industri di Kawasan Timur Indonesia.
Untuk mengatasi defisit gula konsumsi rumah tangga di Kawasan Timur Indonesia, sudah saatnya ada penambahan pabrik gula baru di wilayah tersebut.
TABEL
Pelaku-pelaku Usaha di Industri Gula Rafinasi.
1. PT Angles Product, Bojonagara, Serang- Banten
2. PT Jawamanis, Jl. Raya Anyer – Cilegon-Banten
3. PT Sentra Usahatama Jaya, Cilegon-Banten
4. PT Permata Dunia Sukses Utama, Cilacap - Jateng
5. PT Dharmapala Usaha Sukses, Cilacap – Jateng
6. PT Sugar Labinta
7. PT Makassar Tene
8. PT Duta Sugar International
NERACA Jakarta – Pemerintah terus berupaya mewujudkan arah kebijakan hilirisasi industri berbasis potensi komoditas dari sumber daya alam di berbagai…
NERACA Jakarta – Rendang adalah salah satu jenis produk olahan makanan yang populer di Indonesia bahkan hingga dunia. Industri penghasil rendang memiliki potensi yang besar untuk terus dikembangkan sehingga dapat…
NERACA Jakarta – Menanggapi pemberitaan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di Panasonic Holdings, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri…
NERACA Jakarta – Pemerintah terus berupaya mewujudkan arah kebijakan hilirisasi industri berbasis potensi komoditas dari sumber daya alam di berbagai…
NERACA Jakarta – Rendang adalah salah satu jenis produk olahan makanan yang populer di Indonesia bahkan hingga dunia. Industri penghasil rendang memiliki potensi yang besar untuk terus dikembangkan sehingga dapat…
NERACA Jakarta – Menanggapi pemberitaan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di Panasonic Holdings, Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri…