Oleh: Firstyarikha Habibah M.Si, Alumni Ilmu Pangan IPB
Polemik susu kental manis (SKM) di Indonesia masih saja terus bergulir, dimulai dari tahun 2017, yang ternyata hingga tahun 2020 pun belum selesai polemik ini, pembahasannya masih seputar bahaya SKM untuk anak dan salah persepsi terhadap SKM. Pertanyaan yang paling banyak muncul adalah SKM ini sebenarnya susu atau bukan?. Hal ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh BPOM, bahwa SKM masuk dalam kategori produk susu dan analognya, tapi berbeda subkategori dengan jenis susu lain. SKM faktanya memang mengandung susu, tapi jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan gula yang ada didalamnya. Selain itu SKM tidak untuk diminum seperti susu UHT, susu bubuk ataupun susu formula. Serta SKM tidak dapat menggantikan jenis susu lain sebagai pelengkap gizi.
Di pasar indonesia saat ini ada 3 jenis produk susu kental, yaitu susu kental manis, susu kental manis lemak nabati, dan krimer kental manis. Ketiganya ini sering dianggap sama, padahal dari segi komposisi berbeda. Diantara ketiga produk ini yang kandungan proteinnya paling tinggi adalah SKM yaitu tidak boleh kurang dari 6.5%. Kandungan protein dalam SKM yang beredar di pasaran memang sudah sesuai dengan SNI, tetapi yang menjadi masalah adalah persepsi masyarakat yang masih menganggap SKM adalah minuman susu yang bergizi untuk anak. Hasil penelitian YAICI bersama PP Aisyiyah dan PP Muslimat NU mengenai Persepsi Masyarakat tentang Kental Manis mengungkap bahwa dari 341 ibu di DKI Jakarta dan Jawa Barat sebanyak 65% ibu memberikan SKM sebagai minuman susu pada anaknya dengan frekuensi lebih dari 1 kali dalam sehari dan 59% ibu memberi SKM dengan takaran lebih dari 3 sdm dalam sekali pembuatan.
Berapa kira-kira gula yang dikonsumsi anak pada penelitian tersebut? Mari kita hitung. Pada kemasan SKM tertulis satu takaran saji sebanyak 40 g (4 sdm) mengandung gula 22 g. Jika dalam satu hari anak diberi minuman SKM sebanyak 2 kali dengan takaran 4 sdm maka asupan gula yang masuk adalah sebanyak 44 g. Padahal WHO telah merekomendasikan untuk membatasi jumlah asupan gula tambahan pada anak yaitu sebesar kurang dari 10% total kebutuhan kalori. Jika dijabarkan lebih jauh lagi, maka untuk anak usia 2-5 tahun maksimal gula yang boleh dikonsumsi adalah sekitar 33 g hingga 40 g atau hanya sekitar 3-4 sdm gula. Jadi asupan gula dari minuman SKM ini sudah berlebih.
Penelitian yang dilakukan oleh YAICI bersama PP Aisyiyah dan PP Muslimat NU juga mengungkap bahwa di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT dan Maluku sebanyak 13,4% anak yang mengkonsumsi kental manis mengalami gizi buruk, 26,7% berada pada kategori gizi kurang dan 35,2% adalah anak dengan gizi lebih. Jadi, konsumsi SKM ini menyebabkan anak Indonesia mengalami masalah gizi ganda. Satu sisi SKM menyebabkan anak mengalami gizi kurang seperti yang diungkap oleh Tria Astika E.P. dan Yudi Chadirin dalam jurnalnya yang berjudul “Sweetened Condensed Consumption of More Than 1 Glass Per Day Has an Impact on Underweight Among Children Under Age 5” bahwa konsumsi kental manis bisa menyebabkan berat badan kurang.
Dalam penelitian ini yg dibahas adalah krimer kental manis yang dianggap sama dengan susu kental manis. Anak-anak yang mengonsumsi kental manis lebih dari 1 gelas per hari berisiko sekitar 3 kali lebih tinggi mengalami berat badan kurang dibandingkan dengan anak-anak yang mengkonsumsi kurang dari jumlah tersebut. Kental manis merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap berat badan kurang pada balita, tapi bukan variabel satu satunya. Dalam penelitian ini, konsumsi protein dan energi, pengolahan air minum, dan penyakit menular juga secara signifikan mempengaruhi berat badan kurang pada anak balita. Lalu mengapa kental manis mempengaruhi berat badan kurang pada balita padahal selama ini yang sering dibahas adalah resikonya terhadap obesitas? Ternyata pada keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kental manis dianggap mengandung nutrisi tinggi, sehingga menyebabkan asupan makanan lain menurun karena merasa sudah tercukupi dari SKM.
Sisi yang lain yaitu SKM menyebabkan anak mengalami gizi lebih bahkan hingga obesitas. Penelitian mengenai obesitas pada anak Indonesia yang secara khusus disebabkan oleh konsumsi SKM memang belum ada, tetapi sebagai salah satu varian minuman manis, resiko kesehatan dari konsumsi SKM dimungkinkan terkait dengan kandungan gulanya yang tinggi. Rekomendasi WHO untuk membatasi konsumsi gula bebas dari sumber manapun merupakan hal mendasar untuk pencegahan gangguan kesehatan, seperti diabetes melitus tipe 2 dan karies gigi.
Laureane Nunes Masi dkk melakukan penelitian terhadap tikus yang diberi SKM serta kombinasi diet tinggi lemak dan SKM yang tertuang dalam jurnal berjudul Combination of a High-fat Diet with Sweetened Condensed Milk Exacerbates Inflammation and Insulin Resistance Induced by Each Separately in Mice . Dari penelitian tersebut diketahui bahwa tikus yang diberi SKM mengalami peningkatan berat badan dan intoleransi glukosa. Bisa dianalogikan bahwa intoleransi glukosa adalah pre-diabetes, yaitu suatu kondisi dimana hasil pemeriksaan gula darah puasa dan atau gula darah darah 2 jam setelah makan hasilnya diatas nilai rata-rata normal manusia, menandakan adanya kondisi hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) namun kondisi ini belum mencapai nilai standar untuk masuk kategori diabetes, namun jika tidak ditangani dengan tepat maka kondisi intoleransi glukosa ini akan berkembang menjadi penyakit diabetes sesungguhnya. Sementara kombinasi diet tinggi lemak dan SKM menyebabkan tikus mengalami peningkatan kadar kolesterol, insulin dan glukosa darah serta penurunan sensitivitas insulin. Hal ini jika dibiarkan terus menerus juga akan menjadi diabetes.
Efek yg lain dari konsumsi SKM yaitu karies usia dini atau ECC, dari hasil penelitian yang ditulis oleh Febriana Setiawati S. dkk berjudul “Breastfeeding and Early Childhood Caries (ECC) Severity of Children Under Three Years Old in DKI Jakarta” dapat diketahui bahwa tingkat karies paling tinggi dialami oleh anak yang hanya mengkonsumsi SKM, selanjutnya anak yg diberi ASI dan SKM, serta yang paling rendah tingkat kariesnya adalah pada anak yang mengonsumsi susu formula. Hal ini terjadi karena SKM mengandung sukrosa, yang merupakan bentuk gula paling kariogenik atau mudah menyebabkan karies, sedangkan susu formula mengandung laktosa yang tidak terlalu bersifat kariogenik.
IDAI sebagai organisasi yang berwenang menangani kesehatan anak dalam webnya pada tahun 2019 telah menegaskan bahwa SKM tidak boleh diberikan pada bayi dan anak, karena memiliki kadar gula yang tinggi dan kadar protein yang rendah. Pemberian susu yang direkomendasikan untuk bayi adalah ASI atau ASI donor yang telah terbukti aman atau susu formula bayi. Sedangkan jika berusia di atas 1 tahun, selain ASI dapat mengonsumsi susu sapi yang sudah dipasteurisasi atau UHT atau susu formula pertumbuhan. Untuk pemberian susu selain ASI sendiri sebaiknya berkonsultasi kepada dokter spesialis anak.
Oleh :Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan transaksi judi daring (online) secara signifikan…
Oleh : Nancy Dora, Pengamat Pendidikan Pemerintah kembali menunjukkan komitmennya dalam memutus rantai kemiskinan melalui sektor pendidikan…
Oleh: Herwin Kurniawati, Penyuluh KPP Pratama Wates, DIY Musim haji telah tiba. Jamaah haji Indonesia kloter pertama sudah memasuki…
Oleh :Andi Mahesa, Mahasiswa PTS di Jakarta Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan transaksi judi daring (online) secara signifikan…
Oleh : Nancy Dora, Pengamat Pendidikan Pemerintah kembali menunjukkan komitmennya dalam memutus rantai kemiskinan melalui sektor pendidikan…
Oleh: Herwin Kurniawati, Penyuluh KPP Pratama Wates, DIY Musim haji telah tiba. Jamaah haji Indonesia kloter pertama sudah memasuki…