Residu Pemilu 2019 : Politik Identitas dan Polarisasi Masyarakat (1)

 

Oleh : Toni Ervianto, Alumnus Pasca Sarjana UI 

 

Bangsa Indonesia memang sudah dicatat dalam sejarah politik dunia adalah negara tersukses melaksanakan pemilu serentak secara aman dan damai, bahkan melaksanakan Pilpres di tahun 2019 dalam waktu sehari, dimana hal ini tidak akan mungkin dapat dilakukan negara lainnya, walaupun wilayahnya lebih kecil dari Indonesia.  Hanya saja, pelaksanaan pesta demokrasi tersebut sempat diwarnai dengan “wabah demokrasi” yang menakutkan yaitu merebaknya politik identitas dan polarisasi masyarakat, sampai-sampai muncul istilah “Cebong” sebagai pendukung Jokowi dan “Kampret” untuk julukan pendukung Prabowo Subianto.

Menurut akademisi Indonesia Adi Prayitno, "Banyak orang Indonesia masih irasional dan cenderung emosional ketika berhadapan dengan pandangan politik yang berbeda," yang lantas membuat mereka berpikir politik adalah "jalan menuju surga atau pertarungan antara yang baik dan yang jahat”.

Pilpres 2014, Pilgub Jakarta 2017, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 bisa dimaknai sebagai polarisasi. Berdasarkan hasil survei Polmark, sebanyak 5,7% responden merasa bahwa Pilkada DKI Jakarta 2017 telah merusak hubungan pertemanan. Angka ini naik dari survei serupa pada Pipres 2014. Saat itu, sebanyak 4,3% pemilih menganggap pilpres memicu keretakan hubungan pertemanan di masyarakat.

Dalam peristiwa-peristiwa itu, diskursus media sosial mendorong perpecahan dalam masyarakat. Eksesnya kampanye dalam Pemilu 2014 bahkan menyebabkan gesekan serius dalam banyak hubungan keluarga dan pernikahan masyarakat Indonesia. Fenny Listiana, konsultan psikologi klinis di salah satu lembaga psikologi swasta di Surabaya, menerangkan, keretakan sosial diakibatkan pula terpaan hoaks di media sosial yang dikonsumsi secara intensif oleh individu-individu.

Salah satu contoh yang menggambarkan polarisasi Pilpres 2014 adalah editorial The Jakarta Post, yang memuat tajuk editorial mendukung Jokowi dengan alasan "tidak ada yang disebut netralitas ketika taruhannya terlalu tinggi... Jarang sekali satu Pemilu hanya menawarkan pilihan yang terlampau definitif”. The Jakarta Post berpendapat Jokowi "bertekad untuk menolak kolusi antara kekuasaan dan bisnis", sementara Prabowo "berkubang dalam politik transaksional gaya Orde Baru yang mengkhianati semangat reformasi".

Banyak aktivis hak asasi manusia melihat kemenangan Jokowi atas Prabowo sebagai kemenangan demokrasi atas otoritarianisme. Jokowi mungkin telah mengecewakan para aktivis (dan banyak lainnya) selama masa jabatan pertamanya, tetapi pesan-pesan kampanye berbau polarisasi sebetulnya sudah terdeteksi sejak 2014. Fenomena polarisasi politik tidak bisa lagi dibantah pada Pilgub DKI Jakarta 2017 yang sukses mengusung Islam sebagai fokus kampanye dan merehabilitasi istilah “pribumi”.

Diakui atau tidak, potensi terjadinya gesekan sosial itu nyata adanya. Gejala itu setidaknya dapat didiagnosis dalam sejumlah indikasi. Indikasi yang paling mudah dilihat adalah kian mengendurnya ikatan sosial di tengah masyarakat. Semangat kekitaan yang selama ini telah menjadi semacam cultural-DNA masyarakat Indonesia mulai memudar, tergantikan oleh semangat partisan-sektarian.

Indikasi lainnya terlihat dari terjun bebasnya nilai keadaban dalam cara kita berkomunikasi. Hampir semua lapisan masyarakat, mulai dari elite sampai publik awam tampaknya telah lupa bagaimana menempatkan lawan politik sebagai pihak yang layak diperlakukan secara bermartabat. Sebaliknya, kita terjebak pada sesat pikir yang menganggap lawan politik sebagai musuh yang tidak hanya harus dikalahkan, namun juga harus direndahkan, bahkan dinistakan.

Indikasi-indikasi tersebut dibuktikan selama perhelatan Pilkada 2018. Pertama, adanya penolakan Pilkada 2018 oleh anasir-anasir kelompok “manipulator agama” seperti Hizbut Tahrir Indonesia, JAD, JAS, Khilafatul Muslimin dan Jamaah Salafi Al Manshuroh di berbagai daerah seperti dikemukakan pengurus HTI Kabupaten Sumbawa Barat di NTB dan pengurus JAS Kabupaten Bima juga di NTB, sedangkan Jamaah Anshorut Daulah (JAD) Kabupaten Tasikmalaya menyatakan, tidak akan menyalurkan aspirasinya, baik Pilkada, Pilgub maupun Pileg dan Pilpres, karena pesta demokrasi adalah bagian dari thoghut. Kemudian, salah seorang Jemaah Salafi Al Manshuroh Purbalingga mengatakan, tidak ada tuntunan dalam syariat Islam terkait Pemilu atau Pilkada dalam sistem demokrasi, sehingga pihaknya tidak ikut terlibat atau memilih dalam kegiatan tersebut. Sikap menolak demokrasi juga dikemukakan pengurus Khilafatul Mukminin di Kota Bima, NTB.

Tidak hanya itu saja, Gerakan Indonesia Sholat Subuh (GISS) yang diduga didomplengi kelompok Salafi Wahabi juga dipolitisir untuk memenangkan salah satu Paslon seperti yang terjadi di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat serta Purbalingga, Jawa Tengah dimana dalam manuvernya kelompok ini dengan tegas menyatakan dalam hal dukungan politik ada garis tegas yaitu larangan memilih Parpol yang selama ini mendukung penista agama, sehingga dalam Pilgub Jateng 2018 maka kami dari Alumni 212 tidak akan memilih pemimpin yang diusung oleh Parpol yang mendukung penista agama.

Sikap menolak Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang disampaikan HTI, Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Anshoriyah Daulah (JAS), Khilafatul Muslim, GISS dan Salafi Al Manshuroh adalah ciri-ciri khusus yang menunjukkan adanya kebangkitan kelompok revivalis di Indonesia dengan memanfaatkan momentum Pemilu yang sebenarnya merupakan momentum demokrasi. Pada prinsipnya kelompok revivalis ini menolak demokrasi, namun menggunakan momentum demokrasi untuk eksistensinya.

Dalam diisertasi Haedar Nashir, Islam Syariat : Reproduksi Salafiah Ideologis di Indonesia (2007) ada beberapa kelompok yang selalu getol melakukan perubahan secara radikal dengan cara menginstrumentalisasi keyakinannya. Pertama, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri legal-formal yang menuntut perubahan sistem hukum yang sesuai tata aturan dan tata hukum agama. Kedua, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri doktriner dengan memahami  dan mempraktikkan agama serba mutlak dan kaku. Ketiga, kelompok revivalis yang tampil dengan ciri militan yang dicirikan dengan semangat keagamaan tinggi hingga berhaluan keras.

Kedua, selama pelaksanaan Pemilu 2019, media sosial baik WA dan Facebook juga dimanfaatkan untuk menyebarluaskan politik identitas dan mempertajam polarisasi ditengah masyarakat dengan menebar kebencian massa terhadap lawan politiknya, dengan mengangkat isu-isu negatif lawan politiknya seperti kasus amoral, pengarusutamaan isu kesukuan atau SARA dan kasus korupsi lawan politik.

Media sosial menjelma ruang yang kian penting bagi orang Indonesia untuk berdebat dan membahas isu-isu ini, dari percakapan pribadi di WhatsApp hingga diskusi terbuka di Facebook dan Twitter. Peneliti media Merlyna Lim menyebut diskursus media sosial seputar Pilgub DKI Jakarta 2017 sebagai unjuk "kebebasan untuk membenci".

Outcome yang ingin dicapai dengan menciptakan politik identitas dan polarisasi dalam masyarakat adalah beralihnya dukungan massa dari lawan politik menjadi basis massa yang militan, karena mereka sudah dihinggapi dengan kebencian terhadap tokoh yang sebelumnya mereka dukung. Menurut Serge Moscovici dan Marisa Zavalloni dalam Journal of Personality and Social Psychology mengatakan, menajamnya polarisasi sosial memang menjadi sasaran aksi-aksi massa sehingga diharapkan dapat menarik lebih banyak anggota masyarakat untuk “berpihak” pada aspirasi mereka. 

Dalam artikel berjudul “Mencegah Polarisasi Politik Pasca-Pilpres 2019 Semakin Tajam” yang ditulis Whisnu Triwibowo (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia) menyimpulkan, pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada Pilpres 2019 dan semakin diperparah dengan beberapa faktor: Perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif. Partai-partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik kebijakan pemerintahan Jokowi. Bersambung besok…

BERITA TERKAIT

Kenaikan Gaji Hakim, Langkah Nyata Pemerintah Perkuat Supremasi Hukum

  Oleh: Hasna Miftahul, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen serius dalam membenahi…

Ungkap Kasus Judi Daring, Selamatkan Perputaran Uang Capai Miliaran

    Oleh : Santi A.Y,  Mahasiswa Pascasarjana di Jakarta   Masyarakat dikejutkan dengan keberhasilan aparat keamanan, khususnya jajaran Kepolisian…

Apdes Menyokong Kemandirian Kesehatan Desa

    Oleh: Budi Wicaksono, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam memperluas akses kesehatan yang terjangkau…

BERITA LAINNYA DI Opini

Kenaikan Gaji Hakim, Langkah Nyata Pemerintah Perkuat Supremasi Hukum

  Oleh: Hasna Miftahul, Peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen serius dalam membenahi…

Ungkap Kasus Judi Daring, Selamatkan Perputaran Uang Capai Miliaran

    Oleh : Santi A.Y,  Mahasiswa Pascasarjana di Jakarta   Masyarakat dikejutkan dengan keberhasilan aparat keamanan, khususnya jajaran Kepolisian…

Apdes Menyokong Kemandirian Kesehatan Desa

    Oleh: Budi Wicaksono, Pengamat Kebijakan Publik     Pemerintah menunjukkan komitmen nyata dalam memperluas akses kesehatan yang terjangkau…