NERACA
Jakarta – Kendati menjadi rujukan pemerintah dalam menentukan kebijakan nasional, banyak pihak menilai data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak dulu tidak akurat alias ngawur. Sebagai dasar suatu kebijakan, ketidakauratan data BPS sangat membahayakan. Pasalnya, mustahil pemerintah dapat menelurkan kebijakan yang tepat sasaran jika bahan baku (raw material) yang diperoleh tidak valid bahkan asal-asalan.
Ekonom Indef Prof Dr Ahmad Erani Yustika menjelaskan, ketidaksinkronan data yang dikeluarkan oleh BPS dan sejumlah instansi sudah sering kali terjadi, bahkan sejak zaman dulu. Beberapa waktu lalu, ujar Erani, BPS juga pernah mengeluarkan data yang tidak akurat bahkan asal-asalan mengenai jumlah dan postur rakyat miskin di Indonesia. Karena itu, menurut dia, tak heran jika kebijakan penanganan kemiskinan, termasuk penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin), seringkali tidak tepat sasaran dan menuai kontroversi.
“Seharusnya pihak BPS sebagai pihak yang melakukan survei yang dimiliki oleh pemerintah memiliki data yang valid dan akurat, karena ini menyangkut data negara. Makanya wajar saja kalau Wakil Menteri Perdagangan mengatakan ada sekitar US$16 miliar data ekspor kita yang tidak sesuai. Karena sampai saat ini, pihak BPS tidak pernah mau turun ke lapangan untuk menelusuri sampai sejauh mana ekspor Indonesia,” tegas Erani saat dihubungi Neraca, Senin (2/4).
Menurut Guru Besar FE Universitas Brawijaya itu, masalah perbedaan data versi Kemendag dan BPS ini tidak bisa dianggap main-main. Pasalnya, nilai yang hilang dari ekspor tersebut cukup besar dan merugikan negara, sehingga seharusnya pihak BPS segera mencari tahu kemana selisih angka tersebut.
“Seharusnya pihak yang terkait menangani ekspor seperti Menteri Perdagangan, BPS dan Bea Cukai saling bekerja sama untuk membenahi masalah ketidakakuratan data ekspor dan impor. Karena data ini sangat penting untuk diketahui, dan menyangkut kinerja ekspor Indonesia ke berbagai negara dan pendapatan Indonesia,” terangnya.
Perbedaan Pencatatan
Senada dengan Erani, di tempat yang berbeda, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi juga mengeluhkan data kinerja ekspor Indonesia yang dicatat oleh BPS karena mengindikasikan bahwa ekspor Indonesia tercatat undervalued (lebih rendah) dibandingkan dengan data impor yang dicatat oleh negara‐negara mitra dagang Indonesia. Data yang diambil Bayu merujuk pada UN Comtrade (The United Nations Commodity Trade Statistics Database).
“Beberapa negara yang memiliki perbedaan pencatatan cukup besar dimana data ekspor Indonesia tercatat lebih rendah hingga 25% ketimbang data rata‐rata impor dari negara mitra dagang, atau secara keseluruhan ada selisih hingga US$16,48 miliar yang tercatat selama 2008‐2010,” ujarnya, kemarin.
Bayu menjelaskan, rata‐rata ekspor Indonesia ke Singapura selama periode tersebut hanya tercatat sebesar US$12,3 miliar, sementara Singapura mencatat impor dari Indonesia mencapai US$16,2 miliar, sehingga terdapat diskrepansi sekitar US$4 miliar. Selama periode yang sama, diskrepansi pencatatan data dengan Jepang mencapai US$3,5 miliar, China US$3,3 miliar, AS dan Hongkong masing‐masing US$2,1 miliar dan US$2,6 miliar.
Terkait dengan data BPS yang dinilai ngawur oleh sejumlah kalangan, mantan Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Slamet Sutomo tak menampik dugaan itu. Menurut Slamet, sejauh ini data ekspor berasal dari pihak Bea Cukai dan baru dicatat oleh BPS. "Namanya data pasti ada missing. Saya memberi contoh misalnya kita mengekspor ke China, tetapi masuk ke Singapura dulu. Nah dari situ bisa saja biaya menjadi dobel, tapi tidak tercatat di BPS," ujar Slamet.
Sementara itu Wakil Ketua Umum Bidang perdagangan, Distribusi dan Logistik Kadin Natsir Mansyur mengatakan apabila ada ketidaksamaan data yang dikeluarkan oleh BPS dengan instansi lain, maka diperlukan sinkronisasi dengan kementerian atau lembaga negara yang terkait dengan data tersebut. Kemudian, harapnya, BPS harus lebih profesional dalam mengumpulkan data demi kepentingan negara. “Sinkronisasi data dibutuhkan dalam pengambilan kebijakan ekonomi di Indonesia sehingga tidak salah dalam pengambilan kebijakan ekonomi,” ungkapnya.
Sedangkan terkait data BPS yang berbeda dengan lembaga-lembaga asing, menurut Natsir, lembaga asing mempunyai indikator yang lain dalam pengumpulan data. Selain itu, lembaga-lembaga asing tersebut mempunyai kepentingan yang tersembunyi dalam pengumpulan data di Indonesia. “Misalkan saja data di Indonesia dan Singapura disamakan, dengan kata lain pengumpulan data bisa disamakan secara global,” ujarnya.
Lebih lanjut Natsir menjelaskan mengenai adanya lembaga pembanding selain BPS dalam pengumpulan data tidak diperlukan dikarenakan dalam membangun infrastruktur di Indonesia sangat susah apabila ada dua lembaga atau lebih dalam pengumpulan data. Kepercayaan terhadap BPS tidak bisa dihilangkan dalam pengumpulan data yang akurat dan tepat. “Di republik ini, semua pihak percaya terhadap data yang dikeluarkan oleh BPS,” tambahnya.
Jakarta-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyoroti kenaikan tarif pungutan ekspor produk minyak sawit mentah ( crude palm oil-CPO).…
NERACA Jakarta – Hukum dan investasi merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya ternyata saling mempengaruhi satu sama lain. Hal…
NERACA Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) terus memperkuat ketahanan pangan nasional dengan mengedepankan optimalisasi lahan sebagai strategi utama…
Jakarta-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyoroti kenaikan tarif pungutan ekspor produk minyak sawit mentah ( crude palm oil-CPO).…
NERACA Jakarta – Hukum dan investasi merupakan dua hal yang berbeda, namun keduanya ternyata saling mempengaruhi satu sama lain. Hal…
NERACA Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) terus memperkuat ketahanan pangan nasional dengan mengedepankan optimalisasi lahan sebagai strategi utama…