Teritorial dibagi Atas Kepentingan Politik dan Kekuasaan

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perdagangan, Fauzi Aziz

Tahun 2018 dikatakan sebagai tahun politik. Sebagian daerah propinsi, kabupaten/kota sibuk menyelenggarakan pilkada serentak untuk memilih kepala daerah,sebagai kepala pemerintah di daerah. Tahun 2019 kita akan rame menyelenggarakan pileg dan pilpres. Politik menjadi panglima. Elit politik pemimpin bangsa di pusat maupun daerah habis waktunya lobi sana lobi sini untuk uji nyali menjadi para pemimpin. 

Politik menjadi panglima telah menimbulkan persoalan tersendiri ketika kita kaitkan dengan masalah ekonomi yang kerangka kerjanya berbeda dengan kebutuhan kekuasaan. Ekonomi membutuhkan konektifitas, efisiensi dan produktifitas sehingga memerlukan sistem yang bekerja dalam jalur bebas hambatan. Sedangkan politik  justru memilki kerangka kerja yang berorientasi pada kekuasaan, sehingga cenderung "berbakat membuat barikade" untuk kepentingan politik dan kekuasaanya.

Mindset ini mengalir ke sistem birokrasi, sehingga ketika produk kebijakan dan progamnya muncul dalam wilayah ekonomi menimbulkan hambatan bagi pelaku ekonomi dalam doing business. Hasilnya, ekonomi menjadi berbiaya tinggi. Ekonomi menjadi "korban" kekuasaan politik, dan kewenangan birokrasi yang fragmentatif. Kita perkirakan pasca reformasi semua menjadi beres. Tapi ternyata tambah runyam. Ekonomi  "dibantai" oleh kekuasaan yang beraroma transaksional.

Tapi negeri ini hebat, yakni selalu bisa berkelit. Buktinya ekonominya masih bisa tumbuh rata-rata 5% per tahun. Berkelit untuk tumbuh. Luar biasa. Berkelit secara fundamental perlu kita lakukan. Membangun konektifitas ekonomi memerlukan breaktrough dan inovasi kebijakan. Kalau politik mengatakan NKRI menjadi harga mati, maka ekonomi berharap sistem ekonomi nasional jangan diganggu dengan batasan-batasan teritorial secara administratif dan kewilayah yang terbagi berdasarkan konsep kekuasaan.

Ada pengelolaan otonomi politik, ada pula pengelolaan otonomi ekonomi yang dibagi dalam pusat-pusat wilayah pertumbuhan dalam beberapa koridor ekonomi yang bungkusnya NKRI. Dengan demikian  berarti bahwa di republik ini membutuhkan dua sistem otonomi yakni otonomi politik, dan otonomi ekonomi. Otonomi politik bekerja atas dasar bagi-bagi kekuasaan dan kewenangan administrasi yang di back-up oleh mesin birokrasi. Pembagian kekuassan dilakukan melalui pembagian wilayah teritorial.

Sedangkan otonomi ekonomi yang wilayah kerjanya bersifat lintas wilayah dan lintas sektor berpegang pada prinsip efisiensi, produktifitas, dan konektifitas yang bebas hambatan. Dalam tatanan yang mindsetnya berbeda jauh, maka diperlukan satu mindset baru tanpa keduanya harus bersifat "arogan".  Sistem Ekonomi memerlukan proses politik yang baik. Dilain Pihak stabilitas politik dan bekerjanya mesin demokrasi yang efisien diperlukan sebagai wahana ekosistem yang bisa mendorong kegiatan ekonomi yang bergerak bebas hambatan.

 

 

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…