"Shortfall" Pajak Kian Nyata

Jika kita perhatikan sejak 2006 hingga 2016, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terlihat selalu gagal mencapai target penerimaan pajak. Sejak saat itu, diperkirakan DJP menjadi terbiasa mencapai realisasi penerimaan pajak di bawah target atau lazim disebut dengan shortfall.

Hingga akhir Oktober 2017 kabarnya DJP baru berhasil memungut penerimaan pajak 67,7% atau Rp869,6 triliun dari target pajak 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Padahal sampai Maret 2017 masih ada sisa-sisa program pengampunan pajak (tax amnesty), tapi kenyataannya DJP masih juga tak sanggup memenuhi target penenerimaan pajak.

Patut diketahui, bahwa total penerimaan pajak Rp869,6 triliun itu berasal dari pendapatan bruto dikurangi restitusi melalui surat perintah membayar kelebihan pajak (SPMKP), yaitu Rp974 triliun dikurangi Rp104,37 triliun.

Sementara kinerja pajak tahun lalu apabila dikurangi restitusi pajak sebanyak Rp961,6 triliun. Ini menggambarkan bahwa cara-cara konvensional untuk mengejar penerimaan pajak nyaris tidak akan pernah berhasil mengejar target penerimaan pajak

Repotnya lagi, sebagai tindak lanjut program tax amnesty, adalah langkah penegakan hukum terhadap wajib pajak (WP) yang membandel. DJP sudah memulai pengejaran bukti permulaan (Bukper) terhadap 700 WP nakal. Namun upaya itu kandas karena munculnya protes Kadin Indonesia kepada Presiden Jokowi. Akhirnya program penegakan hukum itu pun dibatalkan dengan atas nama kenyamanan berusaha. Konon dampak dari pembatalan Bukper itu, Direktur Penegakkan Hukum Pajak Dadang Suwarna mengundurkan diri. Namun, versi Menkeu Sri Mulyani, Dadang dikembalikan ke Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dengan tingkat realisasi penerimaan 67,7%, artinya Kementerian Keuangan cq DJP masih punya waktu sebulan lagi untuk menutupi kekurangan sebesar Rp414 triliun untuk menggenapkan target penerimaan pajak pada 2017 yakni sebesar Rp1.294,3 triliun.

Itu artinya, tiap bulan dalam dua bulan ke depan, pemerintah harus membukukan penerimaan pajak sebesar Rp207 triliun. Ini sepertinya sulit tercapai, karena rerata penerimaan pajak bulanan hanya Rp70 triliun. Artinya akan ada selisih kurang (shortfall) antara target dengan realisasi penerimaan pajak cukup besar.

Dengan asumsi dua bulan tersisa penerimaan pajak rerata Rp70 triliun, maka shortfall pajak menjadi Rp274 triliun. Itupun dengan asumsi pemerintah sudah dengan susah payah memungut pajak. Shortfall itu lebih tinggi Rp18,4 triliun jika dibandingkan shortfall pajak 2016 sebesar Rp255,6 triliun.

Selain masalah penerimaan pajak, tekanan fiskal lainnya adalah defisit. Dengan situasi dan kondisi ekonomi seperti ini, pemerintah mengakui defisit anggaran dalam postur APBN 2017 tidak terhindarkan. Defisit anggaran dipatok di angka 2,41% dari total PDB atau setara dengan Rp330,2 triliun.

Angka defisit anggaran sebesar itu didapat dari ketetapan dalam postur anggaran tahun 2017 berupa pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp1.750,3 triliun anggaran belanja negara ditetapkan sebesar Rp2.080,5 triliun. Defisit anggaran tahun depan masih lebih rendah dari proyeksi defisit anggaran hingga akhir tahun ini sebesar 2,7% dari PDB.

Nah, jika dilihat dari sisi penerimaan pajak defisit 2,41% masih lebih tinggi dari ketetapan defisit tahun lalu sebesar 2,35% dan masih lebih rendah dari 2015 lalu sebesar 2,58%. Harapannya, penerimaan perpajakan tahun depan juga lebih baik dengan adanya basis data yang lebih luas dari program amnesti pajak. Targetnya, penerimaan perpajakan tahun depan lebih tinggi dari target tahun ini sebesar Rp1.355 triliun. Ini menjadi tantangan Kementerian Keuangan untuk terus melakukan koordinasi agar realisasi APBN tidak terganggu perkembangan global meski saat ini situasi masih sesuai dengan asumsi makro.

Hanya masalahnya, kondisi ekonomi makin memburuk dengan realisasi penerimaan pajak yang jauh dari harapan. Sehingga pemerintah memproyeksikan defisit dalam APBN-P 2017 dinaikkan menjadi Rp397,2 triliun atau 2,92% terhadap PDB. Defisit sebesar itu merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir, dan mendekati batas aman yang diamanatkan UU Keuangan Negara, yakni 3%.

 

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…