Rumah Sakit Harus Kedepankan Nilai Kemanusiaan

Oleh: Azis Kurmala

Kesedihan mendalam masih menyelimuti keluarga pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi. Pasalnya, buah hati mereka, Tiara Debora, harus pulang ke sisi Sang Pencipta mendahului orang tuanya karena diduga terlambat mendapat penanganan medis dari RS Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat.

Bayi berusia empat bulan itu mengalami sesak napas pada 3 September 2017, lalu dibawa ke RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat. Bayi tersebut kemudian mendapat penanganan di instalasi gawat darurat (IGD). Setelah itu, dokter menyarankan agar Debora dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Lantaran terkendala masalah uang muka untuk membayar biaya perawatan di PICU, keluarga mencari rujukan rumah sakit lain. Namun nyawa Debora tak tertolong sebelum sempat mendapatkan rujukan.

Rumah Sakit baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Sementara itu, apabila pasien dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 32 ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

Dalam amanat UU tentang Rumah Sakit, yakni Pasal 29 ayat (1) huruf f, yakni UU Nomor 44 tahun 2009 disebutkan bahwa rumah sakit berkewajiban melaksanakan fungsi sosial. Antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang ada sudah jelas mengatakan bahwa tidak ada pelayanan yang diskriminatif terhadap semua pasien. Setiap petugas kesehatan wajib mendahulukan keselamatan pasien dibanding aspek yang lain seperti administrasi.

Namun, kasus bayi Debora menjadi bukti bahwa masih ada kesenjangan yang besar dalam pelayanan kesehatan di Indonesia. Padahal, berlakunya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diharapkan menjadi pintu gerbang dalam memperbaiki pelayanan kesehatan di negeri ini.

Direktur Utama PT Rumah Sakit PELNI Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV (K) mengatakan sebenarnya tidak boleh lagi ada rumah sakit yang tidak melayani BPJS karena ini perintah undang-undang. "Pasien Debora datang dengan kebutuhan yaitu kegawatdaruratan yang mengancam nyawanya maka dari segi keselamatan pasien dan regulasi rumah sakit, maka kewajiban rumah sakit menolong memberikan semua kebutuhan pasien secara total sampai dengan kebutuhan support bernafas dengan peralatan ICU atau PICU tanpa membedakan pasien ini kaya atau miskin, mampu atau tidak mampu, BPJS Kesehatan atau bukan. Ini adalah makna dari kesehatan yang berkeadilan," kata Dokter Fathema.

Karena, lanjut dia, ketika seseorang memerlukan, bantuan hidup dasar harus dipenuhi. Upaya pertolongan segera harus diberikan semaksimal mungkin serta tidak mendahulukan administrasinya. "Inilah makna keadilan dalam pelayanan kesehatan. Seandainya mesin untuk membantu sudah terpakai semua oleh pasien lain maka rumah sakit harus mencarikan ke rumah sakit lain. Ini tugas rumah sakit mencarikan dan memastikan sampai mengetahui dokter siapa yang akan menerima pasien tersebut untuk memenuhi 'continuity of care' ( memastikan keberlanjutan perawatan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya)," kata dia.

Hal tersebut harus dikomunikasikan kepada pasien dan keluarga dalam hal ini keluarga pasangan Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi.

Ia mengatakan komunikasi harus berjalan efektif. Artinya sampai saat pasien sudah diberikan yang dibutuhkan, kemudian baru dibicarakan dengan ayah sebagai penanggung jawab pasien mengenai persetujuan tindakan medik (informed consent) dan persetujuan umum (general consent). 
"Informed consent dilakukan saat pertolongan dikomunikasikan dan dijelaskan kondisi pasien dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Penjelasan ini wajib diberikan oleh dokter atau petugas kesehatan lainnya kepada pasien. General consent adalah informasi dan edukasi tentang pelayanan, tata tertib, hak pasien dan tentang finansial berdasarkan data yang masuk sehingga data tentang kepesertaan bpjs dapat diketahui dari awal sehingga hak hak sebagai peserta BPJS Kesehatan dapat diberikan," ujar dia.

Agar kasus Debora tidak terulang, ia menyarankan agar rumah sakit tersebut memperbaiki prosedur operasi standar (SOP) mengenai uang muka pasien gawat darurat. "Fleksibilitas rumah sakit dalam pengelolaan pasien emergensi dan administrasi pasien emergensi (yang mengancam nyawa)," kata dia. Kemudian, melihat kembali dan mengevaluasi SOP yang sudah ada. "Melengkapi IGD dengan alat bantu nafas (ventilator)," ujar dia.

Sementara itu, dokter spesialis bedah jantung itu menyarankan kepada BPJS Kesehatan agar pembayaran paket INA-CBGs di unit perawatan khusus seperti ICU dan PICU/ NICU seharusnya terpisah dengan tarif tersendiri karena termasuk ke dalam kategori life saving.

Diperlukan perhitungan tarif INA-CBGs yang lebih baik dan pisahkan kasus penyakit katastropik sesuai unit costnya, kata dia. Tarif INA-CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penolakan pasien masuk ICU dan PICU/NICU yang berbiaya tinggi.

Untuk memperbaiki kebijakan mengenai klaim, pasien dengan kebutuhan resusitasi sampai dengan penggunaan alat bantu nafas di IGD agar memiliki tarif tersendiri. BPJS Kesehatan sebaiknya mengubah tarif ICU supaya terpisah dari rawat inap karena masuk kedalam clinical pathway yang berbeda.

Memperbaiki tarif untuk perinatologi dan PiCU di rumah sakit tipe B, C dan D agar pelayanan kelompok rentan ini menjadi lebih baik. Kemudian, memberikan regulasi tentang kebutuhan alat kesehatan yang bersifat life saving agar daya beli rumah sakit terhadap alat-alat tersebut lebih baik sebagai insentif terhadap tarif INA-CBGs.

Diberikan Insentif

Dokter Fathema menyarankan perlu adanya pemberian insentif ataupun penghargaan kepada rumah sakit yang baik pelayanannya kepada pasien BPJS Kesehatan. 

Kata dia, perlu dilakukan insentif dan disinsentif. Contohnya, masalah kita kurangnya ICU dan NICU dan PICU maka RS yang bagus tadi diberikan reward alat kedokteran untuk ICU atau dibebaskan pajak atas alat tadi atau atas efisiensi dalam pengelolaan uang pasien/Dana BPJS atau pemerintah sehingga layanan kesehatan di Indonesia bisa maju. Kemudian rumah sakit yang masih kurang baik layanannya perlu diberi peringatan tertulis sampai dengan pencabutan izin operasi.

Namun Pemerintah harus membantu rumah sakit swasta yang berusaha bertahan hidup dari kesulitannya yaitu terjepit antara panggilan hati nurani untuk menolong dan perhitungan bisnis yang tidak cocok di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). "RS swasta banyak yang bertahan dan tetap tumbuh berkembang di era JKN ini namun juga tidak sedikit yang tidak mampu operasional dan dijual," kata dia.

Hal ini harus dicegah, sehingga diperlukan peranan seluruh stakeholder, yaitu Kementarian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Pemberdayaan wanita dan Perlindungan Anak untuk berpihak kepada RS Nasional, baik pemerintah ataupun swasta untuk menciptakan manusia Indonesia sehat dan produktif.

INA-CBGs Dievaluasi

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf mengatakan metode penghitungan paket InaCBGs tidak memasukkan harga terkini sehingga perlu dihitung ulang.

Penghitungan ulang paket besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan itu antara lain meliputi jasa medis, obat, alat dan administrasi. Penghitungan paket tersebut harus dikaji kembali bersama pemerintah serta swasta agar keuangan BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit lagi.

Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit hingga Rp 9 tirliun. Penyebabnya, 80 persen peserta atau masyarakat banyak mengalami sakit.

Ia mengatakan jumlah ruang fasilitas kesehatan dan tenaga medis RS masih kurang dibanding jumlah yang berobat. Akibatnya, kamar perawatan kelas tiga selalu kelebihan.

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan pokok pangkal persoalan yang menyebabkan rumah sakit type A tidak mau menjadi provider BPJS Kesehatan adalah sistem INA CBGs yang diterapkan BPJS Kesehatan. Dengan sistem ini, klinik dan Rumah Sakit Swasta tidak dibayar dengan harga yang tergolong kecil.

Lantaran dibayar murah, sebagian besar peserta BPJS Kesehatan mendapat diskriminasi dan harus mengantri. Hal tersebut terjadi di banyak klinik dan Rumah Sakit provider BPJS Kesehatan. "Operasi, cuci darah, PICU, dokter spesialis, semua mengantri bagi pasien BPJS Kesehatan. Ada Pasien BPJS Kesehatan mengambil nomor urut jam 3 pagi, baru dilayani besok siang. Apalagi kalau mau operasi bisa menunggu hingga sebulan untuk mendapatkan giliran," kata dia.

Karena itu meminta agar sistem INA CBGs dihapuskan dan diganti dengan dengan Fee for Service Terukur (pembiayaan kepada klinik dan RS Swasta pada tingkat yang wajar).

Dengan sistem tersebut seluruh klinik dan RS Swasta di seluruh Indonesia tidak lagi keberatan apabila diwajibakan menjadi provider/jaringan yang melayani program BPJS Kesehatan (JKN/KIS) untuk seluruh masyarakat, termasuk buruh, pungkas dia. Apapun alasannya, keselamatan pasien harus menjadi hal utama yang harus didahulukan untuk menjaga pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Apabila setiap Rumah Sakit di negeri ini melayani pasien dengan mengedepankan rasa empati, hati nurani serta nilai kemanusiaan, mungkin kisah pilu bayi Debora tidak akan terulang kembali. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…