ASEAN Tersandera Kebijakan Non Intervensi Dalam Penyelesaian Rohingya

Oleh: Aziz Kurmala

Serangan milisi bersenjata Rohingya yang mengakibatkan 32 orang meninggal, sebanyak 11 di antaranya adalah aparat keamanan Myanmar, 25 Agustus 2017, menyebabkan konflik kembali melanda Rakhine. Myanmar berdalih bahwa serangan milisi bersenjata di Rakhine mengancam kedaulatan dan keamanan mereka di Rakhine.

Oleh karena itu, serangan balas dendam dilancarkan militer Myanmar untuk menghabisi kelompok bersenjata tersebut. Serangan tersebut berimbas pada komunitas Rohingnya secara keseluruhan.

Eskalasi konflik antara tentara Myanmar dan kelompok bersenjata etnis Rohingya dalam beberapa hari terakhir memaksa sekitar 150.000 warga Rohingya mengungsi ke perbatasan Bangladesh. Konflik tersebut juga merenggut nyawa 400 warga sipil dan menghancurkan ratusan bangunan.

Citra satelit terbaru yang ditunjukkan kelompok Hak Asasi Manusia, Human Rights Watch (HRW), melaporkan sekitar 700 bangunan hangus terbakar di Desa Chein Khar, Rathedaung, negara bagian Rakhine Utara, Myanmar.

Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa militan membakar desa-desa kaum minoritas, sementara para gerilyawan mengaitkan kebakaran tersebut dengan pasukan keamanan dan umat Buddha setempat.

Konflik Rohingya di Myanmar apabila tidak mampu diatasi dapat memicu gelombang pengungsi besar-besaran ke negara ASEAN lainnya. Hal tersebut tentu dapat menjadi ancaman bagi stabilitas dan keamanan negara-negara ASEAN lainnya.

Dalam mengatasi konflik Rohingya, ASEAN terbelenggu oleh prinsip nonintervensi untuk bertindak lebih jauh dalam mengatasi krisis kemanusiaan yang terjadi di Rakhine, Myanmar. Prinsip nonintervensi adalah salah satu prinsip fundamental yang dianut ASEAN.

Prinsip ini mengatakan bahwa ASEAN termasuk anggota-anggotanya tidak boleh melakukan intervensi terhadap masalah internal yang dihadapi oleh salah satu negara anggota.

Wakil Koordinator Kontras Puri Kencana Putri mengatakan bahwa ASEAN terjebak pada semangat komunal nonintervensi yang menghambat organisasi regional di wilayah Asia Tenggara tersebut mendorong perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Prinsip nonintervensi, lanjut dia, yang tercantum dalam Piagam ASEAN pada tahun 1967 memberikan pembenaran kepada pada negara anggota ASEAN untuk tidak ikut campur urusan internal negara masing-masing.

Ada empat prinsip utama ASEAN, yaitu: pertama, penyelesaian masalah dengan cara damai; kedua, penghindaran penggunaan kekuatan bersenjata; ketiga, prinsip noninterference; keempat, pembuatan kebijakan secara konsensus. Keempat prinsip ini kemudian diletakkan secara lebih terstruktur pada Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) pada tahun 2003. Selanjutnya, lewat ASEAN Charter pada tahun 2008.

Ia mengatakan bahwa ASEAN tidak hanya membantu pengungsi Rohingya dengan bantuan pangan ataupun logistik, tetapi juga mendorong pemerintah Myanmar untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia komunitas Rohingya.

Akar masalah Rohingya adalah ketidakjelasan status kewarganegaraan etnis Rohingya sebagai warga Myanmar selama berpuluh-puluh tahun. Karena ketidakjelasan identitas ini mengakibatkan etnis Rohingya tidak bisa mengakses pendidikan, kesehatan, tempat tinggal layak, dan pekerjaan. Semua itu merupakan hak-hak dasar manusia.

Meskipun demikian, Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN memberikan secercah harapan bagi etnis Rohingya. Indonesia mendapatkan kepercayaan penuh dari Myanmar untuk menyelesaikan krisis Rohingya. Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah Myanmar kepada Indonesia dalam menyelesaikan krisis Rohingya dapat mendorong pertanggungjawaban kawasan, kata Puri.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte. Menurut Vermonte, pemerintah Indonesia harus menjaga kepercayaan tersebut.

Terkait dengan isu Rohingya, Myanmar tidak terlalu terbuka terhadap Malaysia maupun Turki. Akan tetapi, kepada Indonesia mereka sangat terbuka, ujar Vermonte. Ia mengatakan bahwa saat rezim militer menguasai Myanmar, Indonesia dan ASEAN yang melakukan diplomasi lunak lebih bisa diterima oleh pemerintah negara itu. Sebaliknya, pendekatan keras yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat tidak mampu melunakkan pemerintahan Myanmar pada saat itu. Dengan cara ASEAN itu, Myanmar menjadi negara yang menjalankan demokrasi. Rezim militer mundur lalu terjadi pemilihan umum, katanya.

Selain itu, ada kemiripan permasalahan yang dialami Myanmar dan Indonesia pada tahun 1998 s.d. 2000 terkait dengan prinsip-prinsip penghormatan terhadap HAM di dalam perilaku aparat keamanan. Saat ini, kata dia, ada upaya agar militer Myanmar dibekali prinsip-prinsip penghormatan terhadap HAM saat menghadapi kekuatan sipil. Di samping itu, hubungan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Myanmar selama ini berjalan dengan baik.

Oleh karena itu, solusi diplomatik yang ditempuh Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan krisis Rohingya. Selain memberikan bantuan kemanusiaan, dia mengharapkan Indonesia dapat menjadi penghubung dari negara-negara lain ingin membantu menyelesaikan persoalan Rohingya.

Menurut dia, butuh solusi diplomatik Indonesia, baik melalui ASEAN maupun melalui diplomasi bilateral Indonesia dengan Myanmar.

Hentikan Genosida

Berbagai pejabat dan tokoh dunia telah mengategorikan konflik Rohingya sebagai ethnic cleansing dan genosida yang merupakan kejahatan internasional, ujar Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Internasional (APHI) Hikmahanto Juwana.

Ia menyebutkan ada dugaan Pemerintah Myanmar melakukan tindakan pembersiahan etnis dan diskriminatif terhadap suku bangsa Rohingya.

Tindakan tersebut tidak ada dasar dalam hukum internasional dan alasan kepentingan nasional suatu negara untuk melakukan pengusiran penduduk sipil dari tempat asalnya sehingga melenyapkan eksistensi mereka sebagai suatu suku bangsa.

Bahwa kekerasan yang dilakukan aparat Myanmar dapat mengarah pada peristiwa kejahatan kemanusiaan dan genosida terhadap penduduk sipil Rohingya yang dinilai melanggar ketentuan-ketentuan hukum internasional mengenai HAM dan Piagam PBB sekaligus mengancam perdamaian dan keamanan internasional, katanya.

Ia mengatakan bahwa APHI menyarankan agar pemerintah Myanmar untuk segera melakukan upaya-upaya baru yang mengarah pada perlindungan kemanusiaan bagi warga sipil Rohingya.

Guru Besar Hukum Internasional UI tersebut mengatakan bahwa sanksi ekonomi hingga penggunaan kekerasan (use of force) dapat dijatuhkan pada Myanmar untuk menyelamatkan etnis Rohingya.

Bentuk tindakan Responsibility to Protect atau R2P bisa berupa sanksi ekonomi hingga penggunaan kekerasan (use of force). Dalam konteks ini ASEAN dapat melaksanakan R2P untuk menyelamatkan etnis Rohingya, ujarnya.

R2P adalah suatu tindakan oleh masyarakat internasional yang tidak mengenal batas wilayah kedaulatan untuk memastikan agar kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti "ethnic cleansing" atau genosida tidak terjadi. (Ant.)

BERITA TERKAIT

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…

BERITA LAINNYA DI Opini

Tidak Ada Pihak yang Menolak Hasil Putusan Sidang MK

  Oleh : Dhita Karuniawati, Penelitti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia   Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan hasil sidang putusan…

Investor Dukung Putusan MK dan Penetapan Hasil Pemilu 2024

  Oleh: Nial Fitriani, Analis Ekonomi Politik   Investor atau penanam modal mendukung penuh bagaimana penetapan hasil Pemilihan Umum (Pemilu)…

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Diprediksi Tetap Tinggi di 2024

  Oleh : Attar Yafiq, Pemerhati Ekonomi   Saat ini perekonomian global tengah diguncang oleh berbagai sektor seperti cuaca ekstrim,…