Panik Defisit Melebar

 

 

Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara

Peneliti INDEF

            Angka defisit anggaran sebesar 2,92% dalam RAPBN-P 2017 tentu memberi efek kejut bagi publik. Defisit anggaran sangat mendekati angka 3%, batas aman yang dibolehkan oleh UU Keuangan Negara. Angka defisit itu baru proyeksi, dengan worst condition bukan tidak mungkin angka defisit tahun 2017 tembus diatas 3%. Presiden bisa didakwa melanggar UU. Konsekuensi politiknya besar.

Pelebaran defisit salah satunya berasal dari perubahan asumsi makro seperti harga minyak mentah yang dinaikkan dari US$45 per barel menjadi US$50 per barel. Imbasnya belanja Pemerintah pun bengkak sekitar Rp.30,9 triliun. Salah satu pembengkakan berasal dari subsidi energi yang naik dari Rp77,3 triliun menjadi Rp103,1 triliun. Selain itu subsidi listrik juga ikut melonjak Rp7 triliun.

Dengan bengkaknya subsidi energi, ada pos belanja yang harus dikorbankan. Instruksi Presiden No.4/2017 lalu diterbitkan untuk menghemat belanja operasional senilai Rp16 triliun di internal Kementerian/Lembaga. Diprediksi penghematan belanja akan berlanjut di semester II kedepan. Pemerintah juga tengah menyiapkan strategi baru jika pemotongan belanja tidak juga bisa menyelamatkan anggaran. Cara itu dikenal dengan gali lubang tutup lubang.

Penambahan utang bukan hal yang susah. Siapapun bisa melakukan penambahan utang baru, terlebih Standard and Poor’s sudah memberi lampu hijau dengan menaikkan rating surat utang Indonesia. Hitung-hitungan sederhana, andai realisasi faktual defisit menjadi 2,67% maka surat utang diprediksi akan bertambah hingga Rp33-67,3 triliun. Sebelumnya prediksi kebutuhan pendanaan utang Rp400 triliun, kini terancam bengkak menjadi Rp467,3 triliun.

Disisi yang lain Pemerintah selalu mengklaim rasio utang terhadap PDB masih aman dibawah 30%. Masalahnya problem dari kecanduan utang adalah tingkat pertumbuhan utang dari 2015-2016 mencapai 14%, sementara pertumbuhan ekonomi hanya mentok 5%. Kecepatan pertumbuhan utang dibandingkan pertumbuhan ekonomi jelas membawa dampak naiknya rasio utang terhadap PDB. Ini belum mengkalkulasi kewajiban bayar utang jatuh tempo Pemerintah sebesar Rp810 triliun di 2018-2019 kedepan. Masihkah bisa berkata bahwa rasio utang terhadap PDB aman?

Pengukuran tingkat keamanan utang juga terlalu sederhana jika menggunakan rasio utang terhadap PDB saja. Ada ukuran lain misalnya rasio utang terhadap penerimaan negara dari ekspor atau biasa dikenal dengan DSR (Debt to Service Ratio). Faktanya DSR cukup mengkhawatirkan. Kinerja ekspor yang sempat tertolong kenaikan harga minyak diawal tahun 2017 diprediksi bisa berbalik arah. Harga komoditas minyak telah turun 17% sejak pertengahan April lalu. Kalau kinerja ekspor tak bisa diandalkan lalu bagaimana cara membayar cicilan pokok dan bunga utang tahun berikutnya? Ini pertanyaan sederhana yang harus dijawab oleh Pemerintah sebelum kembali agresif menerbitkan utang.  

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…