Peringkat Utang vs Iklim Investasi

Ketika lembaga pemeringkat Moody’s Investor Service (Moody’s) belum lama ini memperbaiki outlook sovereign credit rating Indonesia dari stable menjadi positif, ini sekaligus mengafirmasi peringkat pada layak investasi (investment grade). Tentu saja ini membuat banyak pihak bergembira karena berasumsi bahwa ini merupakan pertanda bahwa ekonomi Indonesia akan menjadi lebih baik ke depannya di mata internasional.

Kemudian sejumlah petinggi ekonomi negeri ini menganggap, peningkatan prospek utang Indonesia yang dilakukan pemeringkat utang internasional seperti Moody’s tersebut sebagai pengakuan atas keberhasilan Indonesia dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Padahal, kita semua tahu bahwa dalam lima tahun belakangan ini perekonomian mengalami gonjang-ganjing yang luar biasa. Pada tahun 2012 pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) berada di angka 6,0%, lalu terus terus merosot hingga pada 2016 menjadi 5,02%.

Tidak hanya itu, beberapa indikator perekonomian yang lain juga mengalami kemerosotan. Defisit fiskal mencapai rekor tertinggi sejak 10 tahun terakhir pada 2015 yang berada di angka 2,53% dari PDB. Sementara realisasi defisit fiskal pada 2016 sebesar 2,46% dari PDB. Begitu juga dengan neraca transaksi berjalan yang juga mengalami defisit sejak lima tahun silam. Pada tahun 2016 neraca transaksi berjalan Indonesia masih mengalami defisit sebesar 1,8% dari PDB.

Pada saat perekonomian nasional sedang mengalami kemerosotan seperti ini, peningkatan peringkat utang ini menjadi sangat “mengherankan” karena kebanyakan masyarakat berpikir bahwa hal ini mengindikasikan perekonomian nasional akan membaik.

Padahal, sebenarnya peringkat utang dari Moody's  itu hanya menunjukkan tingkat kemampuan membayar terhadap utang-utang yang telah diterbitkan yang berpengaruh terhadap suku bunga pinjaman. Jadi, peringkat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kondisi ekonomi saat ini atau pun dengan pertumbuhan ekonomi ke depannya.

Moody’s secara eksplisit dalam website resminya mengumumkan, bahwa peringkat utang bukan merupakan rekomendasi untuk berinvestasi atau membeli, melainkan lebih mengindikasikan tingkat kemampuan membayar utang; “To provide investors with a simple system of gradation by which future relative creditworthiness of securities may be gauged.” “ ratings are not to be construed as recommendations, nor are they intended to be a sole basis fo investment decision.”

Yang dimaksud dengan investment decision adalah keputusan berinvestasi pada surat utang atau dalam hal ini surat utang negara, bukan keputusan berinvestasi pada sektor riil ataupun sektor lainnya. Jadi, peringkat utang sama sekali tidak ada hubungannya dengan prospek ekonomi ke depannya.

Coba kalau kita perhatikan secara seksama, sebenarnya sudah pantas sekali Indonesia mendapatkan kenaikan peringkat karena rasio utang pemerintah terhadap PDB hanya 27%, sehingga termasuk kategori sehat sekali. Bahkan Spanyol yang tingkat Government Debt to PDB sebesar 99,2%, tingkat pertumbuhan ekonomi atau PDB sebesar secara annual 3% dan tingkat pengangguran mencapai 18,63% bisa mendapatkan peringkat utang Baa2 dengan prospek “stabil” dari Moody’s. peringkat itu satu peringkat di atas Indonesia. Ironisnya, meskipun hingga saat ini krisis ekonomi di kawasan Eropa belum juga menemui titik terang, peringkat utang Spanyol masih berada di atas Indonesia.

Negara lainnya seperti Malaysia yang mendapatkan peringkat A3 dengan prospek stabil dari Moody’s. Peringkat Malaysia ini tiga tingkat di atas Indonesia. Padahal, Malaysia memiliki Government Debt to GDP Ratio sebesar 53,2% dan tren pertumbuhan ekonomi yang menurun dari 6,3% (Q-1 2014) menjadi sebesar 4,3% (Q-4 2016).

Kesimpulannya, jadi sebenarnya sudah layak bagi Indonesia untuk mendapatkan kenaikan peringkat utang dan hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan prospek perekonomian nasional, mengingat Spanyol dan Malaysia saja yang memiliki indikator perekonomian yang tidak lebih baik dari Indonesia, baik dari sisi pertumbuhan PDB dan memiliki Government Debt to GDP ratio yang lebih tinggi dari Indonesia, tapi mendapatkan peringkat utang yang berada di atas peringkat utang Indonesia.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan pemerintah, adalah membuat suasana kondusif iklim investasi di dalam negeri. Bagaimanapun, sebagian investor asing sekarang bersikap wait and see melihat kondisi stabilitas ekonomi politik, yang setiap saat riskan bergejolak akibat dampak turbulensi ekonomi global.

 

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…