Telanjang di Pertarungan Global

 

 

Oleh: Dhenny Yuartha Junifta

Asisten Peneliti INDEF

 

Sektor pertanian kembali mengadapi ujian pelik. Indonesia kalah dalam sengketa perdagangan yang di perkarakan oleh Amerika Serikat dan Selandia Baru. WTO sepakat bahwa 18 restriksi impor daging sapi dan holtikultura dari kedua negara tersebut tidak sejalan dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Artinya, Indonesia harus mencabut restriksi tersebut dan bersiap menghadapi serbuan produk holtikultura dan daging sapi yang lebih berkualitas dan lebih murah dibandingkan produk lokal. Tentu, hal ini semakin menekan Indonesia yang sedang bersusah payah memajukan sektor pertanian. Kasus ini semakin jelas menunjukkan ketidakseriusan Pemerintah dalam memperjuangkan kepentingan sektor pertanian. Ketidakseriusan tersebut dapat dilacak pada dua ranah yaitu, kebijakan domestik di sektor pertanian yang belum tuntas dan lemahnya daya tawar di ranah pertarungan global.

Di ranah kebijakan domestik, dana sudah besar digelontorkan untuk sektor pertanian, sekitar Rp30 trilliun untuk biaya subsidi pupuk, belum lagi alokasi dana untuk pencetakan sawah, sehingga total sekitar Rp50 trilliun. Namun tetap saja hasil produksi pangan tidak sepadan dengan jumlah anggaran yang besar tersebut. Selain itu, dukungan finansial terhadap sektor produksi pertanian juga sangat minim. Sekitar 67,31% realisasi KUR habis terserap untuk sektor perdagangan bebas dan eceran.

Sedangkan sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan hanya mendapat bagian 16,36%. Belum lagi pembukaan kran impor dari daging kerbau sampai daging jeroan tetap belum mampu menurunkan harga daging di tingkat konsumen. Parahnya, harga yang tinggi di tingkat pasaran ternyata tidak dapat dinikmati oleh peternak. Konsumen menjerit namun produsen justru tertekan.

 Sedangkan di ranah global, Indonesia masih sangat liberal bahkan dibanding dengan negara penganut liberalisme sekalipun, seperti Amerika Serikat. Data dari WTO, Amerika Serikat dan Selandia Baru yang memenangkan perkara tersebut masing-masing memiliki jumlah hambatan perdagangan non-tariff sebesar 4.847 jenis dan 720 jenis. Sedangkan Indonesia hanya memiliki 270 jenis hambatan non-tariff. Kondisi ini diperburuk dengan rendahnya daya tawar Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan pertaniannya di WTO.

Lemahnya juru runding dan dukungan ahli Indonesia di berbagai bidang membuat Indonesia sering mengalami kekalahan dalam sengketa dagang. Tentu kondisi ini sangat tidak menguntungkan bagi kepentingan pertanian Indonesia. Analoginya, kita sedang bertarung, namun tanpa memakai pakaian dan senjata yang kuat untuk menghadapi pertarungan global. Pakaian adalah kebijakan dalam negeri, dan senjatanya adalah politik luar negeri yang kuat. 

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…