Oleh: Bhima Yudhistira Adhinegara
Peneliti INDEF
Aneka program bantuan pertanian yang dikeluarkan oleh Pemerintah perlu dikaji ulang. Jumlah anggaran yang cukup besar nyatanya belum berdampak terhadap peningkatan daya saing dan kesejahteraan petani. Keluhan ini kemudian justru disuarakan oleh Menko Perekonomian saat rakornas Kadin. Bantuan untuk pupuk yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah sebesar Rp30 triliun per tahun pun dinilai kurang efektif dalam memacu produktivitas pertanian. Angka itu belum ditambah anggaran pencetakan sawah dan irigasi sehingga total keseluruhan mencapai Rp50 triliun per tahun.
Kuat dugaan skema penyaluran subsidi pupuk tidak dinikmati oleh petani. Selama ini subsidi pupuk dilakukan melalui skema tidak langsung yaitu alokasi pupuk subsidi yang diajukan oleh pemda kemudian ditetapkan oleh Pemerintah pusat dan dilanjutkan dengan pengiriman dari produsen ke distributor hingga pengecer. Dengan skema tersebut, muncul praktik-praktik rente yang justru membuat harga di level petani menjadi sangat mahal. Kondisi ini erat kaitannya dengan rantai pasokan yang cukup panjang. Oleh karena itu seharusnya subsidi pupuk bersifat langsung ke end user alias petani. Bentuk subsidi langsung cukup beragam salah satunya melalui kartu subsidi pupuk yang terintegrasi secara elektronik.
Peliknya masalah program bantuan pertanian selain pupuk juga dihadapi oleh penyaluran KUR petani. Dari total realisasi KUR, sebanyak 67,31% terserap di sektor perdagangan besar dan eceran. Sedangkan sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan hanya menyerap 16,36%. Realisasi KUR pertanian diproyeksikan tahun ini mencapai Rp.85 triliun. Sebesar Rp65 triliun disalurkan ke pendanaan mikro. Dari total tersebut hanya 18% yang masuk ke level produksi. Sebagian besar mengalir ke sektor perdagangan pangan. Bantuan kredit murah Pemerintah nampaknya sudah melenceng jauh dari sasaran.
Kondisi ini diperparah dengan mudahnya Pemerintah membuka tutup keran impor yang justru kontraproduktif terhadap pemberdayaan petani dan peternak lokal. Masih teringat jelas di saat hari raya idul fitri lalu, harga daging yang melambung tinggi direspon dengan dibukanya impor daging dan disusul oleh impor jeroan. Kebijakan tersebut dikeluhkan oleh asosiasi peternak lokal karena justru memukul harga di level produsen lokal. Akibat salah kelola pertanian ini sungguh fatal, peternak kini memilih menahan pasokan sapi sampai menjelang hari raya qurban tahun depan.
Sementara itu di sektor pertanian lain seperti beras, kejadian yang hampir mirip terus menerus berulang. Periode Januari hingga September 2016 jumlah beras impor yang masuk sebanyak 1,14 juta ton. Pertentangan kemudian timbul terkait masalah akurasi data antara BPS dan Menteri Pertanian. Apapun alasan yang dikemukakan oleh Menteri Pertanian, tetap bertolak belakang dengan jargon swasembada pangan yang dikumandangkan dihadapan para petani. Jadi baik program bantuan maupun kebijakan sama-sama tidak menguntungkan petani.
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…
Oleh: Eko S.A. Cahyanto Sekretaris Jenderal Kemenperin Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menggelar kegiatan Business Matching untuk mempertemukan pelaku industri selaku…
Oleh: Dr. Edy Purwo Saputro, MSi Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Ada pemandangan aneh ketika kemarin rakyat rela…
Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal Risiko dapat dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang…
Oleh: Eko S.A. Cahyanto Sekretaris Jenderal Kemenperin Kementerian Perindustrian (Kemenperin) kembali menggelar kegiatan Business Matching untuk mempertemukan pelaku industri selaku…