Waspada Isu SARA

Waspada Isu SARA
Mendengungkan isu SARA (Suku, Agama, Ras, Aliran) mulai menjadi ramai dan banyak dimanfaatkan oleh sejumlah pihak dalam ajang Pilkada. Padahal, ada Undang Undang (UU) Pilkada jelas melarang hal tersebut. Dalam pasal UU Pilkada No 10/2016 pasal 69 menyebutkan, dalam melaksanakan kampanye Pilkada dilarang melakukan penghinaan kepada seseorang, agama, suku, ras dan golongan terhadap calon kepala daerah. 
Tidak hanya itu. Dalam kampanye juga dilarang menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat. Ketentuan pidana terhadap praktik penghinaan tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penghinaan dipidana penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama 18 bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600.000 dan paling banyak Rp 6.000.000. 
Kita harusnya ingat kata kunci dari praktik penggunaan SARA ada pada kata "penghinaan". Yang dimaksud dengan penghinaan adalah perbuatan, baik lisan atau tulisan, yang ditujukan untuk menistakan atau melakukan pencemaran nama baik terhadap calon kepala daerah.
Dalam konteks Pilkada, praktik SARA adalah perbuatan yang dilakukan untuk menistakan calon kepala daerah dengan menggunakan latar belakang agama, suku, ras dan antargolongan. Artinya bagaimana agama, suku, ras dan antargolongan digunakan untuk menistakan calon atau pasangan calon dalam proses penyelenggaraan Pilkada. 
Dalam penanganan tindak pidana Pilkada, laporan penghinaan dengan latar belakang SARA ditindaklanjuti oleh lembaga pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama dengan Kepolisian yang tergabung dalam sentra penegakkan hukum terpadu.
Khusus untuk munculnya praktik isu SARA terutama melalui media sosial, polisi harus mampu melakukan pengawasan terhadap segala bentuk pelanggaran yang muncul di Pilkada terutama di media sosial. Pencegahan segala unsur pelanggaran hukum harus ditindak tanpa terkecuali.
"Apakah dia menzolimi dirinya sendiri atau bentuk lain namun yang masuk konten di media sosial melanggar kepatutan harus ditelusuri," ujar anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu, di kompleks parlemen, Jakarta, belum lama ini. 
Meski dampak pengaruh isu SARA kecil di Jakarta, polisi tetap harus bertindak tegas bagi pelaku penyebaran isu tersebut. Apalagi saat ini banyak media sosial yang menggunakan akun palsu sehingga sulit terdeteksi. Polisi jangan terlambat mendeteksi  akun-akun anonim. Bahkan belakangan ini, banyak muncul menjual jasa follower (pengikut).
Bagaimanapun, maraknya penggunaan media sosial seperti Whatsap, Facebook, Twitter dan lainnya, untuk menyerang pihak lawan secara membabi buta, polisi harus cepat menindak tegas siapapun yang menyebarkan isu negatif terutama soal SARA. 
Selain UU Pilkada, penyebar isu SARA juga dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Contoh kasus Buni Yani, tersangka penyebaran video Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki T. Purnama (Ahok). Penyidik Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menggunakan UU ITE.  
Polisi menyebut penetapan Buni sebagai tersangka bukan masalah penyebaran video Ahok saat berdialog dengan warga Kepulauan Seribu. Akan tetapi, postingan di status Facebooknya itu, Buni yang dinilai telah menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan.
Penyidik menjerat Buni dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal pertama dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Waspada lah bermain-main dengan isu SARA!

Mendengungkan isu SARA (Suku, Agama, Ras, Aliran) kini mulai menjadi ramai dan banyak dimanfaatkan oleh sejumlah pihak dalam ajang Pilkada. Padahal, ada Undang Undang (UU) Pilkada jelas melarang hal tersebut. Dalam pasal UU Pilkada No 10/2016 pasal 69 menyebutkan, dalam melaksanakan kampanye Pilkada dilarang melakukan penghinaan kepada seseorang, agama, suku, ras dan golongan terhadap calon kepala daerah. 

Tidak hanya itu. Dalam kampanye juga dilarang menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat. Ketentuan pidana terhadap praktik penghinaan tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan penghinaan dipidana penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama 18 bulan dan atau denda paling sedikit Rp 600.000 dan paling banyak Rp 6.000.000. 

Kita harusnya ingat kata kunci dari praktik penggunaan SARA ada pada kata "penghinaan". Yang dimaksud dengan penghinaan adalah perbuatan, baik lisan atau tulisan, yang ditujukan untuk menistakan atau melakukan pencemaran nama baik terhadap calon kepala daerah.

Dalam konteks Pilkada, praktik SARA adalah perbuatan yang dilakukan untuk menistakan calon kepala daerah dengan menggunakan latar belakang agama, suku, ras dan antargolongan. Artinya bagaimana agama, suku, ras dan antargolongan digunakan untuk menistakan calon atau pasangan calon dalam proses penyelenggaraan Pilkada. 

Dalam penanganan tindak pidana Pilkada, laporan penghinaan dengan latar belakang SARA ditindaklanjuti oleh lembaga pengawas Pemilu (Bawaslu) bersama dengan Kepolisian yang tergabung dalam sentra penegakkan hukum terpadu.

Khusus untuk munculnya praktik isu SARA terutama melalui media sosial, polisi harus mampu melakukan pengawasan terhadap segala bentuk pelanggaran yang muncul di Pilkada terutama di media sosial. Pencegahan segala unsur pelanggaran hukum harus ditindak tanpa terkecuali.

"Apakah dia menzolimi dirinya sendiri atau bentuk lain namun yang masuk konten di media sosial melanggar kepatutan harus ditelusuri," ujar anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu, di kompleks parlemen, Jakarta, belum lama ini. 

Meski dampak pengaruh isu SARA kecil di Jakarta, polisi tetap harus bertindak tegas bagi pelaku penyebaran isu tersebut. Apalagi saat ini banyak media sosial yang menggunakan akun palsu sehingga sulit terdeteksi. Polisi jangan terlambat mendeteksi  akun-akun anonim. Bahkan belakangan ini, banyak muncul menjual jasa follower (pengikut).

Bagaimanapun, maraknya penggunaan media sosial seperti Whatsap, Facebook, Twitter dan lainnya, untuk menyerang pihak lawan secara membabi buta, polisi harus cepat menindak tegas siapapun yang menyebarkan isu negatif terutama soal SARA. 

Selain UU Pilkada, penyebar isu SARA juga dijerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Contoh kasus Buni Yani, tersangka penyebaran video Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki T. Purnama (Ahok). Penyidik Subdit Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE.  

Polisi menyebut penetapan Buni sebagai tersangka bukan masalah penyebaran video Ahok saat berdialog dengan warga Kepulauan Seribu. Akan tetapi, postingan di status Facebooknya itu, Buni yang dinilai telah menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan.

Penyidik menjerat Buni dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal pertama dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.

Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Waspada lah bermain-main dengan isu SARA!

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…