Harmonisasi Kabinet Kerja

 

Harmonisasi Kinerja Menteri
Menurut laporan Bank Dunia (2015), indeks gini rasio naik signifikan sejak awal milenium 2000. Pasalnya, pertumbuhan tingkat ketimpangan antarkelompok pendapatan kita bahkan yang paling cepat di antara negara-negara kawasan Asia Timur, dari yang semula tercatat 30 poin terus melonjak menjadi 41 poin dalam 15 tahun terakhir.  
Tak hanya itu. Data Bappenas (2016) mengungkapkan, Indeks Williamson kita sudah mencapai angka 0,7, yang berarti tingkat kesenjangan antarwilayah cukup memprihatinkan. Penyebabnya beragam, bisa ditengarai karena timpangnya fasilitas pengembangan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan), tidak meratanya pembangunan investasi dan infrastruktur, serta pendapatan dari sektor pertanian yang nilai riilnya semakin menurun. 
Bila menyimak pengalaman Brazil telah berhasil menurunkan indeks gini sebesar 14 poin. Salah satu kunci keberhasilannya yakni melalui kebijakan fiskal yang progresif dalam percepatan pembangunan angkatan kerja berkeahlian (skilled labor ) dan efisiensi investasi melalui perbaikan lingkungan usaha. Secara empiris kita bisa belajar dari beberapa kajian, termasuk dari ungkapan guru besar ekonomi Prof. Suahasil Nazara, bahwa kualitas belanja yang buruk pada pemerintah daerah menyebabkan ketimpangan wilayah yang semakin melebar. 
Untuk mengatasi kondisi demikian, perlu kebijakan fiskal yang tegas serta harmonisasi belanja antartingkatan pemerintah vertikal dan horizontal akan membantu semakin efektifnya kebijakan fiskal pemerintah. Kedua, Indonesia tengah mengalami fase pengelolaan keuangan negara yang cukup berat. Masalah terbesarnya tentu pada ketersediaan anggaran untuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur. 
Pemerintah kini menghadapi pilihan sulit dalam menjaga harmoni antara pilihan menjaga program pemerintah tetap jalan sesuai jadwal atau mengurangi belanja, khususnya jika pundi-pundi penerimaan negara tidak sesuai harapan. Berdasarkan UU Keuangan Negara,  defisit anggaran tidak boleh melampaui 3% dari produk domestik bruto (PDB). 
Karena itu, wajar jika Presiden Jokowi meminta Menkeu untuk fokus pada kebijakan amnesti pajak agar berhasil dan menjadi dasar yang lebih baik untuk merancang penerimaan negara di tahun fiskal berikutnya. Ketiga, kita juga tengah mengalami masalah yang cukup pelik di lingkungan sektor riil. Kita sudah telanjur memasang cita-cita tinggi terkait pembangunan sektor riil. Kenyataan yang terjadi, ekspor kita terus melemah, baik karena rontoknya harga komoditas maupun belum pulihnya pasar yang menekan permintaan. 
Sementara di dalam negeri, di mana mayoritas penduduk masih bergelut di sektor pertanian, ketersediaan lahan pertanian kalah bersaing dan semakin terdesak dengan kebutuhan perumahan dan industri. John W Mellor(1995) menyatakan, pembangunan yang berfokus pada pertanian cenderung lebih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita memang sudah memasuki era transformasi struktural dari era pertanian menuju tahap industrialisasi dan jasa,  walau saat ini hasilnya tidak terlalu menggembirakan.  
Apalagi, pilihan jenis-jenis industri yang dikembangkan relatif tidak terkoneksi dengan endowment factor yang dikuasai Indonesia. Akibatnya, industri di Indonesia mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku dan bahan penolong, serta sering terombang ambing dengan kondisi perekonomian eksternal. Dan, muaranya, sektor industri tidak begitu kuat untuk dijadikan tulang punggung perekonomian Indonesia dalam upaya peningkatan nilai tambah dan sebagai ladang penyerapan tenaga kerja. 
Keempat, kita masih menghadapi persoalan pada pembangunan berbagai jenis infrastruktur strategis yang masih belum menemukan pola idealnya. Keterbatasan sumber daya keuangan dan perencanaan banyak menghambat daya dukung infrastruktur terhadap peningkatan daya saing nasional. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, satu-satunya indikator yang relatif meyakinkan untuk urusan daya saing kinerja infrastruktur hanya muncul dari sisi kelistrikan yang menempatkan Indonesia di urutan terbaik kedua di ASEAN. 
Sedangkan indikator kinerja logistik, Indonesia masih menempati urutan kelima ASEAN; dari segi produktivitas berada di posisi keempat; dan dari segi daya saing global kita masih tercecer di urutan keempat di antara negara-negara ASEAN.
Nah, perombakan kabinet kali ini banyak mendapat apresiasi positif oleh berbagai pengamat dan pelaku ekonomi. Indikasinya dapat terlihat salah satunya dari respons pasar keuangan dan modal yang sangat sensitif dengan kebijakan ekonomi politik. IHSG menguat pada hari yang sama dengan pengumuman reshuffle. Perdagangan di bursa sangat ramai sehingga nilai transaksi mencapai Rp10 triliun. 
Kurs rupiah terhadap dolar AS juga terdampak positif dengan penguatan 0,3% menjadi Rp13.131 pada hari yang sama. Masuknya Sri Mulyani betul-betul dianggap sebagai ”Dewi Fortuna” yang diharapkan menjadi garansi tersendiri bagi aktivitas investasi di Indonesia yang menawarkan prospek ekonomi yang lebih menarik. Citra positif Sri Mulyani juga disinyalir dapat memperlancar kesuksesan program amnesti pajak yang ditargetkan mampu merepatriasi kekayaan wajib pajak di Indonesia yang tersebar di luar negeri. 
Kehadiran Sri Mulyani bersama Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro diharapkan turut memperbaiki persepsi dan ekspektasi dari wajib pajak tersebut, terutama yang terkait pengelolaan dana repatriasi. Selain itu, harapan berikutnya yang dianggap sebagai ”keberuntungan” bagi pemerintah sekarang adalah modal sosial yang besar. Karena keduanya memiliki berbagai kesamaan latar belakang seperti pendidikan, almamater baik di tingkat sarjana maupun doktoral, serta pernah menjadi ketua dan anggota Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal (TADF) Kemenkeu. Semoga!

Membaca laporan Bank Dunia (2015), indeks gini rasio naik signifikan sejak awal milenium 2000. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tingkat ketimpangan antarkelompok pendapatan kita bahkan yang paling cepat di antara negara-negara kawasan Asia Timur, dari yang semula tercatat 30 poin terus melonjak menjadi 41 poin dalam 15 tahun terakhir.  

Tak hanya itu. Data Bappenas (2016) mengungkapkan, Indeks Williamson kita sudah mencapai angka 0,7, yang berarti tingkat kesenjangan antarwilayah cukup memprihatinkan. Penyebabnya beragam, bisa ditengarai karena timpangnya fasilitas pengembangan sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan), tidak meratanya pembangunan investasi dan infrastruktur, serta pendapatan dari sektor pertanian yang nilai riilnya semakin menurun. 

Bila menyimak pengalaman Brazil telah berhasil menurunkan indeks gini sebesar 14 poin. Salah satu kunci keberhasilannya yakni melalui kebijakan fiskal yang progresif dalam percepatan pembangunan angkatan kerja berkeahlian (skilled labor ) dan efisiensi investasi melalui perbaikan lingkungan usaha. Secara empiris kita bisa belajar dari beberapa kajian, termasuk dari ungkapan guru besar ekonomi Prof. Suahasil Nazara, bahwa kualitas belanja yang buruk pada pemerintah daerah menyebabkan ketimpangan wilayah yang semakin melebar. 

Untuk mengatasi kondisi demikian, perlu kebijakan fiskal yang tegas serta harmonisasi belanja antartingkatan pemerintah vertikal dan horizontal akan membantu semakin efektifnya kebijakan fiskal pemerintah. Kedua, Indonesia tengah mengalami fase pengelolaan keuangan negara yang cukup berat. Masalah terbesarnya tentu pada ketersediaan anggaran untuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur. 

Pemerintah kini menghadapi pilihan sulit dalam menjaga harmoni antara pilihan menjaga program pemerintah tetap jalan sesuai jadwal atau mengurangi belanja, khususnya jika pundi-pundi penerimaan negara tidak sesuai harapan. Berdasarkan UU Keuangan Negara,  defisit anggaran tidak boleh melampaui 3% dari produk domestik bruto (PDB). 

Karena itu, wajar jika Presiden Jokowi meminta Menkeu untuk fokus pada kebijakan amnesti pajak agar berhasil dan menjadi dasar yang lebih baik untuk merancang penerimaan negara di tahun fiskal berikutnya. Ketiga, kita juga tengah mengalami masalah yang cukup pelik di lingkungan sektor riil. Kita sudah telanjur memasang cita-cita tinggi terkait pembangunan sektor riil. Kenyataan yang terjadi, ekspor kita terus melemah, baik karena rontoknya harga komoditas maupun belum pulihnya pasar yang menekan permintaan. 

Sementara di dalam negeri, di mana mayoritas penduduk masih bergelut di sektor pertanian, ketersediaan lahan pertanian kalah bersaing dan semakin terdesak dengan kebutuhan perumahan dan industri. John W Mellor(1995) menyatakan, pembangunan yang berfokus pada pertanian cenderung lebih berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi. Kita memang sudah memasuki era transformasi struktural dari era pertanian menuju tahap industrialisasi dan jasa,  walau saat ini hasilnya tidak terlalu menggembirakan.  

Apalagi, pilihan jenis-jenis industri yang dikembangkan relatif tidak terkoneksi dengan endowment factor yang dikuasai Indonesia. Akibatnya, industri di Indonesia mengalami ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku dan bahan penolong, serta sering terombang ambing dengan kondisi perekonomian eksternal. Dan, muaranya, sektor industri tidak begitu kuat untuk dijadikan tulang punggung perekonomian Indonesia dalam upaya peningkatan nilai tambah dan sebagai ladang penyerapan tenaga kerja. 

Keempat, kita masih menghadapi persoalan pada pembangunan berbagai jenis infrastruktur strategis yang masih belum menemukan pola idealnya. Keterbatasan sumber daya keuangan dan perencanaan banyak menghambat daya dukung infrastruktur terhadap peningkatan daya saing nasional. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, satu-satunya indikator yang relatif meyakinkan untuk urusan daya saing kinerja infrastruktur hanya muncul dari sisi kelistrikan yang menempatkan Indonesia di urutan terbaik kedua di ASEAN. 

Sedangkan indikator kinerja logistik, Indonesia masih menempati urutan kelima ASEAN; dari segi produktivitas berada di posisi keempat; dan dari segi daya saing global kita masih tercecer di urutan keempat di antara negara-negara ASEAN.

Nah, perombakan kabinet kali ini banyak mendapat apresiasi positif oleh berbagai pengamat dan pelaku ekonomi. Indikasinya dapat terlihat salah satunya dari respon pasar keuangan dan modal yang sangat sensitif dengan kebijakan ekonomi politik. IHSG menguat pada hari yang sama dengan pengumuman reshuffle. Perdagangan di bursa sangat ramai sehingga nilai transaksi mencapai Rp10 triliun. 

Meski kurs rupiah terhadap dolar AS masih berfluktuasi di level kisaran Rp 13.000-Rp 14.000 per US$. Masuknya Ignasius Jonan sebagai Menteri ESDM baru diharapkan betul-betul mampu membenahi sektor energi di negeri ini, yang setidaknya mampu memberikan garansi tersendiri bagi aktivitas investasi energi di Indonesia yang menawarkan prospek ekonomi yang lebih menarik. Citra positif Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra diharapkan dapat memperlancar kesuksesan program investasi di bidang sumber daya alam yang ditargetkan mampu meningkatkan penerimaan negara dari sisi energi. 

Kehadiran duet Jonan-Arcandra juga diharapkan turut memperbaiki persepsi dan ekspektasi dari iklim investasi tambang dan energi, terutama yang terkait pengelolaan dana cost recovery. Selain itu, harapan berikutnya yang dianggap sebagai ”keberuntungan” bagi pemerintah sekarang adalah modal sosial yang besar. Karena keduanya memiliki berbagai pengalaman, keberanian dan keras kepala dalam memimpin organisasi besar setingkat kementerian. Semoga!

BERITA TERKAIT

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…

BERITA LAINNYA DI Editorial

Wujudkan Budaya Toleransi

Pelaksanaan sidang MK sudah selesai dan Keputusan KPU telah menetapkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wapres 2024-2029. Masyarakat telah menjalankan gelaran…

Cegah Dampak El Nino

Ancaman El Nino di negeri belakangan ini semakin kentara, apalagi data BPS mengungkapkan sektor pertanian saat ini hanya berkontribusi sekitar…

Permendag Tak Akomodatif

  Meski aturan pembatasan jenis dan jumlah barang kiriman pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dicabut, penumpang pesawat dari luar negeri…