Mengubah Aset Jadi Nilai

Oleh: Fauzi Aziz

Pemerhati Sosial, Ekonomi dan Industri

 

Tema ini harus diangkat kembali karena dalam perjalanan waktu, pemahaman tentang konsep pembangunan mengalami bias akibat pendekatan pragmatisme secara kuat mewarnai dalam proses dan implementasinya. Banyak pandangan yang menyampaikan bahwa pembangunan di Indonesia selama ini terlalu memfokuskan pada pertumbuhan yang mengandalkan investasi besar, namun kurang mengikut sertakan rakyat kecil sebagai subyek dan bagian utama dari pembangunan.

Pembangunan sosial atau investasi manusia masih dipandang sebelah mata dan hanya dianggap sebagai sesuatu yang bersifat residual. Padahal, di negara-negara Asia Timur, pembangunan sosial sudah menjadi bagian integral dari pembangunan ekonomi, dan kedua elemen ini saling mendukung. Pemikiran ini banyak disampaikan oleh ahli ekonomi yang menggaungkan konsep pembangunan inklusif.

Pada masa Orde Baru, kita dikenalkan dengan konsep pembangunan manusia seutuhnya. Dan jika kita baca pada UUD 1945 yang sudah di amandemen 4 kali, Bab XIV di beri judul "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial", maka  secara konstitusional, pembangunan ekonomi di Indonesia dibimbing harus terintegrasi dengan pembangunan sosial yang terbingkai dalam sistem yang inheren.

Oleh sebab itu, dalam konteks  konsep pembangunan yang bermakna melakukan perubahan aset menjadi nilai, maka konten nilai yang terbentuk bisa berdimensi nilai ekonomi maupun nilai sosial, atau dilihat dari dimensi economic outcome, pembangunan harus berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial. Ini yang terlupakan selama ini, sehingga problem kesenjangan muncul sebagai isu kebijakan pembangunan yang dinilai gagal karena tidak membuahkan kesejahteraan yang merata dan keadilan sosial.

Kesenjangan harus dibayar mahal karena ongkos sosialnya tidak bisa sepenuhnya dipikul oleh APBN. Pemerintah bisa saja membebankan ongkos sosial ini kepada korporasi melalui progam CSR, namun tetap saja belum bisa dimaksimalkan akibat dana yang disisihkan jumlahnya terbatas, dan hanya perusahaan beromzet besar saja yang sanggup menyelenggarakan progam CSR.

Nilai yang terbentuk, dewasa ini menyangkut juga yang bermanfaat bagi lingkungan hidup, dimana seiring pertumbuhan ekonomi berlangsung, pada saat bersamaan masalah kerusakan lingkungan muncul diberbagai belahan dunia,ter masuk di Indonesia. Jadi, pembangunan yang dimaknai dengan perubahan aset menjadi nilai berarti output dan outcome-nya harus mendatangkan manfaat/benefit bagi kehidupan ekonomi, sosial,dan lingkungan hidup dalam kondisi yang selaras, serasi dan seimbang.

Ketimpangan/kesenjangan terjadi akibat para pengelola kebijakan tidak selalu berhasil menciptakan titik keseimbangan tersebut. Para pembuat kebijakan umumnya terobsesi oleh pentingnya capaian kinerja yang lebih bernilai material karena secara kasat mata gampang dilihat.

BERITA TERKAIT

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…

BERITA LAINNYA DI

Tantangan APBN Usai Pemilu

   Oleh: Marwanto Harjowiryono Widyaiswara Ahli Utama, Pemerhati Kebijakan Fiskal   Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta DPR, DPD…

Kolaborasi Hadapi Tantangan Ekonomi

Oleh: Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan Proses transisi energi yang adil dan terjangkau cukup kompleks. Untuk mencapai transisi energi tersebut,…

Dunia Kepelautan Filipina

  Oleh: Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin)   Dunia kepelautan Filipina Tengah “berguncang”. Awal ceritanya dimulai dari…